Tepatnya di negara Iran, hiduplah sebuah keluarga kecil yang tinggal di gubuk tua dekat daerah dataran tinggi. Konon katanya, keluarga itu dikaruniai tiga anak laki-laki. Setelah lama, akhirnya ketiga anaknya sukses dalam karir mereka. Kecuali, si bungsu yang hidupnya berpedoman pada kesederhanaan, layaknya kedua orang tuanya.
Usai bertahun-tahun, kedua orang tua mereka nampak tua dengan tubuh yang kurus sebab penyakit yang menggerogoti. Akhirnya kewajiban menjaga keduanya menjadi tanggung jawab putra pertama. Namun, setelah dua tahun keduanya belum sembuh. Si Sulung kesal dan mengajak kedua adiknya untuk bersepakat tentang kewajiban asuh orang tua mereka.
“Barang siapa yang siap merawat pakbuk pasti kecipratan warisan,” ujarnya. Tak berpikir panjang hal itu disetujui oleh putra kedua. Kecuali, si bungsu yang enggan dengan ajakan itu.
Selanjutnya kewajiban mengasuh bapak ibunya menjadi beban putra kedua. Namun, belum genap setahun, dia juga tidak betah. Tanpa menunggu esok, akhirnya dia bersepakat dengan keputusan yang sama layaknya kakaknya.
Alhasil si bungsulah yang berkenan mengasuh bapak ibunya dengan niat tulus dan ikhlas. Meskipun ekonomi keluarganya kurang berkecukupan, tapi dia sangat bersyukur sebab diberi kesempatan mengasuh pakbuknya.
Sesampainya di rumah, istrinya marah dengan perkataan yang sangat membakar hati. Bahkan hampir saja ia berpisah karena tidak tahan dengan suaminya. “Sudahlah Bu, tak usah mengeluh dengan keadaan kita. Mungkin sebab kita merawat pakbuk, rezeki kita jadi lancar. Kapan lagi kita bisa membalas jasa orang tua kita kalau tidak sekarang?” kata si suami sambil mengelus pundak istrinya yang menangis geram.
Hampir lima tahun berjalan, si bungsu dan istrinya berhasil melewati semua rintangan. Kini tugas mereka telah purna, Sang Khalik memanggil kedua orang tuanya, juga tak lupa ia mengabari kedua kakak sulungnya. Anehnya, kedua kakaknya hanya bersikap biasa saat mendengarnya kabar duka itu.
Setelah prosesi pemakaman selesai, anak pertama dan kedua langsung ngobrol harta warisan yang menjadi kesepakatan mereka. Si bungsu dengan tekadnya tetap enggan menerima warisan itu. Sebenarnya meski kedua orang tua mereka sederhana, namun keduanya punya pekarangan tanah yang sangat luas. Halnya saja kedua orang tua mereka berniat mendidik putranya untuk bekerja keras, bukan hanya sekedar meminta ini itu dari orang tua mereka.
Tanpa peduli hal itu si bungsu langsung pulang. Sesampainya, ia sempat bercerita kepada istrinya perihal warisan yang jadi rebutan. Otomatis istrinya mencerewetinya. Dengan sabar ia menenangkan pikiran dan hatinya. Ia menuturkan bahwa jasa kedua orang tua itu tak bisa diperhitungkan, contoh kecilnya ASI yang tak mungkin seorang anak bisa membalas dari beberapa teguk yang diminumnya. Akhirnya si istri memahami maksud suaminya.
Esoknya, suaminya bercerita tentang mimpinya bertemu dengan sesepuh dan mengabarkan ada uang seribu dinar yang harus diambil. Tapi, ketika ia bertanya, “Apakah uang itu berkah?” “Tidak,” jawab sesepuh itu. Lantas, istrinya sangat bahagia dan mengajak mengambil seribu dinar itu. Sayangnya, suaminya tetap kukuh tidak mengambilnya. Sebab ia takut sesuatu yang tidak memberi berkah. Tak selang berapa lama, istrinya naik pitam dan mencereweti suaminya.
Usai berdamai, si suami bercerita lagi bahwa mengalami mimpi yang sama. Hanya saja kini jumlah dinarnya tinggal seratus, esoknya lagi tinggal sepuluh dan sama sekali belum berkah. Lagi- lagi istrinya mencerewetinya.
Untuk keempat kalinya si suami yang tidak kapok bercerita tentang mimpinya, “Tenang saja Bu.. Kali ini benar-benar ada satu dinar di pojok timur yang sudah berkah,” sambil kegirangan dia menjelaskannya. “Halah, ibu ini capek dengan tingkahmu. Toh, jelas-jelas enak dulu saat jumlahnya besar. Sekarang tinggal satu, kok malah seneng ndak karuan. Kalau bapak mau, gali saja sendiri,” sambil masuk ke dalam rumah.
Ditariknya nafas dalam demi menjadi suami sabar yang menghadapi istri cerewet. Dan pergilah dia mengambil cangkul dan menggalinya. Astaga, sebuah dinar itu benar-benar ada. Sayangnya kalau dia pulang, pasti istrinya akan marah. Dia putuskan untuk membelanjakannya di pasar. Hal itu mungkin bisa membuat istrinya tersenyum.
Sesampainya di pasar terlihat para pedagang yang ramai memenuhi jalan. Ia masih saja bingung dengan apa yang ditukar dengan satu dinar. Tak lama ia putuskan membeli sepasang ikan emas besar. Dan dimasaknya dengan niat meminta maaf kepada istrinya.
Kala itu istrinya sedang termenung. Dibawalah ikan yang masak itu kepada istrinya. Dengan sedikit basa-basi, ia bercerita bahwa ikan itu dibeli dengan satu dinar yang ia dapat dari mimpinya kala itu. Ia pun bercerita bahwa telah menemukan sepasang permata unik dari kedua perut ikan itu. Dengan cerewet yang sama, istrinya penasaran, “Ah, masak iya ada sepasang batu yang sama dari perut ikan yang berbeda?” “Kalau tidak percaya, tak ambilkan ya…”
Awalnya istrinya tak percaya. Namun, akhirnya keduanya memutuskan pergi ke tukang emas di pasar. Sesampainya, tukang emas juga bingung sebab tidak mungkin ia mampu membelinya, kecuali sang raja yang berada di kerajaan sebelah. Namun, mereka juga harus memastikan bahwa harus ada sepasang lagi, lantaran kedua permata itu adalah liontin milik seorang ratu di kerajaan besar.
Dengan senyum istrinya yang bahagia, si suami pun menurutinya untuk pergi ke kerajaan sebelah. Sesampainya disana, mereka langsung diperbolehkan masuk oleh pengawal kerajaan sebab membawa bukti liontin itu. Raja sangat bahagia, akhirnya liontin sang ratu bisa ditemukan, meskipun dari sepasang perut ikan.
Raja sendiri bersedia menukar liontin itu dengan berjuta karung dinar. Meskipun pada dasarnya si suami menolak akhirnya dia pun manut kepada istrinya, karena raja mengabarkan keberkahan di dalamnya.
Akhir dari kisah ini, ketika perjalanan pulang, suaminya masih menuturkan bahwa rezeki yang mereka peroleh adalah atas keikhlasan merawat kedua orang tuanya yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Konon, rezeki yang mereka dapat itu pun tidak akan habis meskipun akan dimakan oleh tujuh turunan.
Kisah tersebut dituturkan oleh ustad saya, Ustad Mudhofar saat pengajian kitab Bulughul Maram tentang Kitab Jenazah. []