Bercanda merupakan suatu hal yang umum dilakukan oleh semua manusia, bercanda atau bersenda gurau disini tidak dimaksudkan untuk menyakiti sang lawan bicara. Dari sini, kita sudah dapat membedakan antara bercanda, olok-olok dan ejekan.
Bercanda dalam keseharian bangsa Arab merupakan sebuah corak cinta antara sesama mereka, bahkan bercanda sudah menjadi perekat kebersamaan di antara mereka sejak dahulu kala.
Begitu juga dengan Nabi Muhammad Saw, Sang panutan dan junjungan kita sebagai umat Islam, beliau adalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi ini. Perkataan, perilaku, sifat dan sikap beliau menjadi tuntunan dan jalan bagi kita atau yang sering disebut dengan kata sunnah.
Tidak semua sunnah boleh kita amalkan, akan tetapi ada sebagian sunnah yang menjadi khosois (kekhususan) yang hanya boleh dilakukan oleh Sang Baginda Nabi Muhammad Saw sebagai perintah langsung dari Allah SWT.
Allah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dan di antara sifat-sifat Nabi Muhammad Saw adalah sifat beliau dalam bercanda kepada para sahabatnya. Hal tersebut beliau lakukan dengan maksud agar para sahabat mampu menerima semua aspek ajaran Nabi Muhammad Saw.
Karena Nabi Muhammad sendiri, beliau mempunyai wibawa yang sangat agung, dan tidak ada wibawa makhluk yang setara dengan wibawanya. Maka dari itu agar para sahabat mampu untuk menerima semua ajaran yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah Saw, beliau menyelinginya dengan gurauan yang hak, sehingga para sahabat mampu menerima apa yang disampaikan oleh sang Baginda Rasulullah Saw.
Hal ini senada dengan perkataan para salaf tentang bercanda ala Rasulullah Saw, mereka berkata:
كان له مهابة، فلذا كان ينبسط مع الناس بالمداعبة والطلاقة والبشاشة.
“Rasulullah mempunyai wibawa yang agung, maka dari itu beliau bergaul kepada manusia (para shohabat) dengan senda gurau, kegembiraan dan keceriaan.”
Akan tetapi, dalam senda gurau Rasulullah Saw, kita harus memahami bahwa di dalamnya tidak ada unsur kebohongan, semua perkataan dan candaan yang beliau ucapkan adalah sebuah perkataan dan candaan yang haq tanpa ada sedikit pun kebohongan di dalamnya. Candaan Rasulullah Saw juga mengandung makna yang terselip didalamnya dan tidak semua orang dapat memahami akan makna itu.
Tertulis dalam sebuah riwayat dari Sayyidah Aisyah ra. Menjelaskan bahwasanya Rasulullah Saw juga pernah bercanda, dan Rasulullah Saw bersabda :
إن الله لا يؤاخذ المزاح الصادق في مزاحه.
“Sesungguhnya Allah tidak menghukum orang humoris yang benar dalam humornya”.
Dari hadits ini kita bisa memahami bahwasanya bercanda itu boleh, akan tetapi ada batasnya, yaitu benar tidak bohong, tidak merusak kehormatan orang lain dan tidak menjadi rutinitas yang sering dilakukan setiap saat. Karena banyak bercanda juga akan menyebabkan kerasnya hati dan memalingkan jiwa dari berdzikir kepada Allah. Hal ini juga yang dikatakan oleh Imam Bajuri dalam penjelasan beliau terhadap kitab Syama’il Muhammadiyah karya Imam Tirmidzi.
Dan dari contoh bercanda ala Rasulullah Saw, kita bisa temukan banyak rekaman jejak bercanda beliau kepada para sahabat, salah satunya kepada sahabat Anas bin Malik ra. Seperti yang dituliskan Imam Tirmizi dalam Syama’ilnya :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له : ((يا ذا الأذنين)) قال محمود : قال أسامة : يعني يمازحه.
Dari Sahabat Anas bin Malik Ra. Bahwasanya Nabi Muhammad saw. Berkata kepadanya : ((Wahai yang mempunyai dua telinga)) berkata Mahmud (Ibnu Ghoilan guru dari sang musonnif) berkata Abu Usamah (guru dari Syeikh Mahmud) yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah: Nabi bermaksud menggurainya.
Imam Ibrohim al-Bajuri beliau menjelaskan akan hadits ini yang dimaksud Rasulullah Saw. saat itu adalah pujian kepada sahabat Anas atas kecerdasan dan keintelektualnya dalam berfikir .
Imam Bajuri juga menjelaskan dalam kalimat (wahai yang mempunyai dua telinga) yaitu yang mempunyai telinga yang tajam, siaga dan ketat dalam pendengaranya, Rasulullah menyifatinya karena pujian beliau atas kecerdasan dan kepintaran yang dimiliki oleh Sahabat Anas bin Malik.
Dalam konteks hadits ini, kita juga bisa memahami bahwa Rasulullah Saw juga pernah bercanda dan bercandanya beliau itu benar, karena dalam pelafalan (wahai orang yang mempunyai dua telinga) adalah sebuah gurauan kasih sayang yang jujur, di mana Rasulullah Saw memanggil sahabat Anas dengan tidak memakai namanya, melainkan dengan menyebutkan kata yang itu benar dan dimiliki olehnya. Maka ini adalah salah satu bentuk contoh akhlak yang mulia dalam candaan Baginda Rasulullah Saw.
Semoga dengan sedikit coretan ini kita bisa mencontoh akhlak-akhlak mulia Baginda Rasulullah Saw dengan terus belajar mengenal dan mencintai beliau dari berbagai uraian hadits-hadits yang ada, beserta rekam jejak sejarahnya yang telah dituliskan oleh para ulama kita terdahulu sehingga dapat menambah kecintaan dan kerinduan kita kepada Baginda Rasulullah Saw. Aamiin