Mau Pidato apa Tahlilan?

Jika mengingat kisah sewaktu nyantri di pondok, rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Kegiatan-kegiatan positif  yang sangat beragam dan kompetisi dalam meraih prestasi juga tidak kalah kompleksnya. Salah satunya bisa kita lihat saat acara rutin tahunan, yaitu acara Haflatul Imtihan Akhirus sanah, sebagai tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar selama setahun. Atau juga disebut sebagai tanda kenaikan kelas pada tahun pelajaran baru berikutnya.

Haflatul Imtihan, baik Madrasah Diniyah di pondok maupun pendidikan formal di madrasah,  merupakan hari yang di tunggu-tunggu oleh para santri. Karena perhelatan akbar ini merupakan acara tahunan yang sangat mendebarkan sekaligus  mengasyikkan. Mendebarkan karena menunggu hasil nilai raport selama setahun. Mengasyikkan karena sebelum acara puncak tiba, seminggu sebelumnya biasanya akan digelar berbagai macam jenis lomba dan bazar. Dan setelah acara haflah selesai, pondok akan meliburkan santri selama kurang lebih dua mingguan.

Dua jenis  lomba yang paling saya gemari waktu itu adalah lomba pidato dan cerdas cermat. Oleh karena itu,  pada tahun 2000-an awal, ketika saya duduk di bangku Madrasah  Aliyah, saya mengajak adik sepupu sekaligus teman sekamar di kamar blok A/8 pondok pesantren  Annuqayah Lubangsa putri Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, untuk ikut serta dalam lomba pidato dan cerdas cermat untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah .  Adik sepupu saya tersebut bernama Zahrah Tamamah Wahid Nur.

Waktu itu, dia masih duduk di kelas 2 (VIII) MTs, sedangkan saya sudah duduk di kelas 1 (X) MA. Mamah, begitu ia di sapa, awalnya tidak mau mengikuti dua lomba tersebut. Namun setelah saya bujuk, akhirnya dia mau ikut lomba tapi hanya lomba pidato. Saya pun senang mendengarnya.

Baca Juga:  Salafi-Wahabi dan Label Bid’ah pada Tradisi Tahlilan

Oleh karenanya, saya menuliskan naskah pidato untuknya, dengan tema “Kewajiban Mencari  Ilmu”. Hampir setiap hari dan malam, Mamah menghafal dan berlatih pidato pada saya, sehingga lama-lama  dia pun menjadi hafal dan fasih. Karena merasa sudah di luar kepala, maka untuk beberapa hari Mamah tidak lagi mau berlatih pidatonya hingga menjelang H-3 lomba akan dilaksanakan.

Sebuah teks pidato biasanya diawali dengan ucapan salam, lalu di buka dengan tahmid dan selawat. kira-kira bunyinya seperti ini  “Alhamdu lillahi Robbil alamin wabihi nasta’inu ala umurid dun ya waddin, wasshalatu wassalamu ala asyrofil anbiya’i wal mursalin, sayyidina Muhammadin wa ‘ala  aalihi washahbihi ajma’in, amma ba’du.”

Ketika berlatih, Mamah mengucapkan kalimat-kalimat  pembuka pidato tersebut secara fasih dan lancar. Namun apa yang terjadi ketika ia naik panggung? Ketika MC memanggil namanya untuk naik panggung dan berpidato di depan ribuan santri putri dari seluruh tingkatan, bahkan di tonton pula oleh para mahasiswi, Mamah terlihat santai dan cengengesan. Saya dan teman-teman sekamar lainnya memberi semangat dengan yel-yel  tertentu.

Sesampainya di atas panggung, Mamah mengambil microphone dan memulai pidatonya dengan suara yang sangat lantang “Assalamu alaikum warahmatullahi wabaroka—tuh…!

Lalu ribuan santri  putri menjawab “waalaikum salam warahmatullahi wabarokaaa—tuh…!

Mamah melanjutkan, “bismillahirrahmaanirrahiem…Alhamdulillahi Robbil alamin…Arrahmaanir rahiem…maaliki yaumiddin…iyyaka na’budu wa iyaaka nasta’ien…ihdinas shiraathal mustaqiem…

Sambil tertawa melengking, para hadirin/ribuan santri itu melanjutkan, “shiraathal lazina an’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladh dhaallin…aamiin…gerrrrr….

Mamah yang tidak merasa bersalah sedikitpun kaget dan celingak celinguk melihat ribuan santri menertawakan dirinya. Dia kebingungan dan berhenti melanjutkan pidatonya. Panitia dan para dewan juri pun awalnya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya tertawa dan melihat Mamah hanya diam mematung. Karena audiens tidak kunjung berhenti tertawa, akhirnya dia menundukkan wajahnya. Rupanya dia mulai tersinggung. Bulir-bulir bening mulai memenuhi kelopak matanya dan dia menangis serta menjatuhkan microphone-nya di atas panggung dengan agak kasar.

Baca Juga:  Ada Baiknya Taklid

Melihat hal itu, salah satu panitia Haflatul Imtihan menaiki panggung dan menghamprinya serta menuntunnya turun ke bawah. Dengan berbisik, kakak  panitia tersebut berkata, “apidatuah napah atahlileh Buk Nyaeh? (mau pidato apa mau tahlilan  Bu Nyai?)  Wk wk wk wk….”

Sambil turun dari panggung, Mamah, yang terkadang masih ngompol di kamar itu terisak menanggung malu. Dan tidak berhenti di situ, rupanya Mamah cemberut dan marah pada saya. Dalam beberapa hari, di pondok dia tidak mau berbicara dengan saya. Dia menyalahkan saya kenapa dia diikutkan lomba pidato, padahal awalnya dia kan, tidak mau ikut lomba. Menanggapi hal itu, saya hanya diam mendengar omelannya.

Milatul Hasanah
Abdi Di PP Tarbiyatul Banat Moncek Tengah Aktif di PERGUNU Sumenep

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Humor