Obet adalah santri baru di Pondok Pesantren Hasbullah Said, sudah 2 mingguan ia mondok di sana. Suatu malam ia tertidut lelap dan mimpi junub, sehinggaia harus mandi besar. Tetapi, di saat ia mulai menengok isi dari bak mandi di kamar mandi. Air di bak mandi tersebut ternyata tidak terisi sampai penuh. Serta warnanya juga sudah berubah dan ketika ia menciumnya, ternyata air tersebut tidak berbau.

Pikiran obet terpacu untuk bernostalgia tentang pengalamannya mengaji fikih bersama Ust. Sudar. Namun tiada daya, hanya teringat mungkin aku ketiduran sambil meneteskan air liur saat Ust. Sudar menerangkan permasalah air.

Dengan percaya diri dan langkah tegas ia tetap berada di jalannya, yakni tetap mandi dan melaksanakan salat subuh tanpa mengulangi mandinya. Dan tetap berlanjut sampai salat subuh tiba.

Setelah melaksanakan salat subuh, timbul rasa waswas (keraguan) di benaknya. Tak ingin terus terbenam dalam rasa ke waswasan, ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada santri yang digandrung sakti dalam ilmu fikih. Santri tersebut bernama Al-Farabi, atau biasa dipanggil dengan sebutan Bleki.

Dengan rasa campur aduk. Antara takut karena wujudnya yang besar gagah perkasa, dan rasa penasarannya yang membara. Akhirnya, ia tetap memberanikan diri menemuinya di Asrama Ingkung (nama atau julukan bangunan) lantai dua.

Setelah mengetuk pintu, suara gu-melegar Bleki terdengar bergemuruh “masuk” Sahut Bleki menanggapi ketukan pintu di kamarnya.

Dengan rasa sungkan Obet masuk dengan perlahan dan duduk di sisi kanan Bleki.

Tak ingin suasana pasif, Bleki langsung berkata “mau apa?”

Dengan gagap ia menjawab “anu,,,, di kamar mandi itu kan warna airnya telah berubah, boleh tidak untuk mandi junub?”

Baca Juga:  Pesantren dan Kemandirian Bangsa

Sahut Bleki dengan cepat “Lha, emangnya kamu habis mimpi dengan siapa?”

“tidak tahu Mas, Saya belum kenalan,” jawab Obet dengan malu.

Dengan senyuman yang sedikit menakutkan, akhirnya Bleki mulai mengetes

“ ya….,, begini kamu tahu tidak, apa itu ma’ul mutaghayar ?”

“tidak” jawab Obet dengan mnggelengkan kepala, tanda tidak adanya pemahaman.

Kemudian Bleki mengambil posisi duduk sila tanda akan berbicara panjang lebar

“Jadi menurut istilah fikih, air yang berubah salah satu sifatnya itu disebut ma’ul mutaghayar (air yang bercampur dengan sesuatu benda yang lain). Dan yang namanya ma’ul mutaghayar itu dibagi menjadi dua macam.

Pertama, ma’ul mutaghayar mustaghniya anhu. Yaitu, air yang berubah karena susahnya untuk menjaganya, atau bisa dibilang berubah dengan sendirinya. Seperti tumbuhnya lumut di bak mandi, karena sudah beberapa hari tidak di kuras.

Kedua, ma’ul mutaghayar ghairu mustaghnia anhu. Yaitu, air yang berubah karena tercampur oleh sesuatu yang seharusnya bisa dihindari. Seperti jatuhnya sabun di bak mandi dan lain-lain.

Tak hanya ingin diam saja Obet langsung menyela “ Kemudian, bagaimana hukum dari masing-masing pembagian tadi?”.

Di awali dengan meminum kopi yang ada di sebelahnya, Bleki menanggapi “ Untuk ma’ul mutaghayar mustaghniya anhu, hukumnya suci. Tapi untuk ma’ul mutaghayar ghairu mustaghnia anhu, hukumnya itu tergantung oleh sesuatu yang mencampurinya dan bagaimana keadaan air yang tercampur tersebut”.

“Bagaimana itu”. Tanya Obet dengan penuh semangat.

Sahut Blaki. “Jika benda yang mencampurinya itu adalah benda suci dan tidak berubah seluruh sifat (berupa bau, warna, dan rasa ), maka hukum air tersebut adalah suci men-sucikan. tapi di saat benda yang mencampurinya adalah benda suci kemudian mengubah sifat aslinya, maka air tersebut hukumnya suci tapi tidak dapat untuk bersuci.”

Baca Juga:  Jadikan Wudhu Sebagai Solusi Wajah Glowing Tanpa Make up

“Bagaimana jika yang mencampurinya adalah benda najis dan bagaimana bila kita ragu dengan benda yang mencampurinya?” tanya Obet.

Dengan mengambil nafas kemudian Bleki menjawab. “ Jika sudah jelas, kalo benda yang mencampurinya adalah benda najis. Maka airnya sudah pasti najis. Tapi bila ada kewaswasan pada kondisi air tersebut, mengenai benda yang mencampurinya. Maka hukumnya tetap suci men-sucikan. Karena, kembali kepada hukum aslinya air, yakni hukumnya suci.

Itu semua bisa terjadi, bilamana air kurang dari 2 qullah (270 liter). Dan di saat air itu lebih dari 2 qullah maka, air tersebut tidak perlu untuk di permasalahkan.”

“Berarti, saya harus mandi lagi dan meng-qadha’ (mengulangi atau mengganti) salat subuh dong???” ungkap Obet.

Dengan santai Bleki menjawab “ Nggeh (benar). Sudah, cepat mandi sana!!! ”

Akhirnya dengan rasa puas, Obet kembali ke kamar untuk ganti baju. Dan bersegara mandi lagi dengan air yang suci dan mensucikan. [RZ]

*Diolah dari hasil Bahsu Al-Masail Kubro di Pondok Pesantren An-Najjah Jombang.

Rekomendasi

Cara Bapak Berbakti
Hikmah

Cara Bapak Berbakti

Setelah dua tulisan sebelumnya saya menulis tentang bagaimana seorang anak berbakti, kemudian dilanjutkan ...

Tinggalkan Komentar

More in Humor