Pada awalnya Didi Kempot boleh saja popular di kalangan orang Jawa berkat lagu-lagunya yang memang berbahasa Jawa. Namun, tak hanya sampai di situ saja nantinya. Akan ada mementum di mana lagu-lagunya dinyanyikan oleh bukan hanya orang Jawa, tetapi juga orang Indonesia.
Jika kita akan belajar darinya, ada beberapa kunci kesuksesannya. Setidaknya ini menurut saya.
Pertama, selain memang bakat dan kerja keras, tentu adalah konsistensinya dalam bermusik, khususnya lagu-lagu campursari dan keroncong yang dibawakannya. Ia bangga ke mana-mana bernyanyi menggunakan bahasa Jawa dengan sesekali memakai blangkon di kepalanya. Wajarlah jika orang Suriname, yang kebanyakan berdarah Jawa, seringkali mengundangnya konser di sana.
Hal ini berbeda dengan sebagian orang yang kadang malu menggunakan bahasa daerah. Orang-orang sekarang, terutama generasi muda, banyak yang menggunakan bahasa Indonesia karena malu menggunakan bahasa daerah. Malahan, di kota-kota, banyak yang menggunakan bahasa Inggris sebagai simbol kebanggaannya.
Kekonsistenan Didi Kempot dalam dunia yang digelutinya ini berbuah manis, seperti kata pepatah: usaha tak mengkhianati hasil. Selama bertahun-tahun semenjak 80-an berkarya dan mengalami pasang surut, ia menemukan kembali momentumnya, puncak popularitasnya. Ia diterima secara nasional meski menggunakan bahasa Jawa, sebuah bahasa yang di televisi jaman dulu, diidentikkan dengan bahasa para pembantu.
Istikamah memang luar biasa. Bersetia pada dunia yang dicintainya terbukti dahsyat efeknya. Dengan kesetiaan dan keistikamahan itulah, saya kira, Didi Kempot sedikit banyak ikut andil dalam “mengangkat” bahasa Jawa ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya, di kancah nasional.
Kedua, adalah adanya sebagian generasi muda yang mengidolakannya, dan membranding kembali dirinya. Setelah pamornya agak redup, para pemuda yang mentahbiskan diri sebagai Sobat Ambyar ini memberinya gelar: Lord Didi: The Godfather of Broken Heart. Bapak Patah Hati Nasional. Kini ia akan segera reborn, terlahir kembali.
Kemudian anak-anak muda itu membuat komunitas, membranding Lord Didi yang memang sudah lama berkarya dan banyak karyanya. Konsernya didatangi, ngobam bareng, dan videonya diedit sedemikian rupa, dan diviralkan. Seperti bola yang tepat diarahkan ke gawang, generasi milenial menangkap ini karena memang lagu-lagunya sesuai dengan kondisinya yang rentan galau. Jadilah Lord Didi sebagai idola baru bagi anak-anak muda, “melampaui” musisi-musisi muda lainnya.
Dari sini kita belajar, betapa penting melibatkan anak-anak muda dalam berbagai hal, baik dari sisi budaya, sosial, politik dan keagamaan. Tenaganya yang masih fresh dan semangatnya yang masih berapi-api menjadi kekuatan tersendiri.
Ketiga, adalah kerendahan hati dan wajah yang selalu tersenyum. Hal ini bisa kita lihat dari penambilannya yang kalem, senderhana dan hormat kepada yang lebih tua. Ketika berkunjung ke PBNU menemui KH. Said Aqil Siroj, misalnya, ia sungkem hormat, menundukkan badan kepada orang dihadapannya yang lebih tua. Bukankan ada riwayat yang mengatakan, barangsiapa yang rendah hati akan diangkat derajatnya? Dan Lord Didi sudah mempraktikkannya.
Juga wajahnya yang selalu tersenyum dalam berinteraksi sosial, merupakan hal yang tak gampang. Ya, senyum itu memang tidak gampang, apalagi di tengah hati yang ambyar. Meski ini adalah ajaran Nabi, terkadang sebagian tokoh yang bicara di mimbar pun tak hanya tak bisa senyum, namun justeru memaki-maki.
Kekuatan Lord Didi dalam menyembunyikan kegetiran hidup, kemarahan atau ketidaksukaan terhadap sesuatu dan mengonversinya menjadi sebuah senyuman dan karya, adalah hal yang tak mudah dilakukan. Sebagaimana ajarannya, daripada sakit hati mending dijogedi, memberi dampak luas bagi hati-hati orang yang patah untuk bisa menikmati kepedihan dan kegetiran diri.
Akhirnya, dari sosok Lord Didi, yang sudah ”melewati seribu kota dan seribu hati ditanyai namun tak ada yang mengerti,” kita bisa belajar banyak hal. Tak harus jadi presiden untuk menjadi terkenal. Tak harus jadi ulama untuk menjadi orang baik. Tak harus menjadi sekjend PBB untuk menjadi orang yang bermanfaat. Tetapi dengan memaksimalkan potensi diri, bersetia (istikamah), selalu ceria dan berpikir positif, ikhlas menjalani hidup, seorang anak manusia pun bisa bermanfaat untuk orang banyak. Kehadirannya disukai banyak orang, dan meninggalnya pun banyak yang merasa kehilangan.
Selamat Jalan, Lord Didi. Terima kasih, lagu-lagumu seringkali mengisi hari-hariku.