Terkadang kita sudah lupa akan adab tata krama, yang mana dahulu sering diajarkan di pesantren. Dari ngalap barokah, tidak berbicara ketika guru sedang ngendikan, tidak menatap mata guru ketika sedang dawuh, menggelarkan sajadah ketika guru sedang berjalan, membuat pagar betis ketika guru lewat dan banyak lagi yang lainya, yang apabila diingat akan membuat rindu.
Akan tetapi, yang paling penting diantara itu semua adalah “diam”.
Diam menurut para Sadah mempunyai makna yang sangat dalam dan luas. Diam adalah emas, dan menjadi emas yang gemilang apabila diam itu terjadi di depan guru, yang mana telah mengajarkan kita ilmu, apalagi kepada guru yang selalu menemani kita dalam berjalan menggapai ridho-Nya. Seperti yang sering kita dengar bahwasanya diam itu ada dua, diamnya lisan dan diamnya hati.
Sayyidi Ibnu Athaillah Assakandari berkata :
“Barangsiapa yang hatinya diam dan lisanya berbicara maka lisanya akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa yang lisanya diam dan hatinya berbicara ringanlah bebanya. Dan barangsiapa diam lisan dan hatinya, tampaklah baginya rahasianya, dan Allah berinteraksi denganya.”
Maualana Syeikh Muhanna sering berpesan, dan beliau meriwayatkan pesan ini dari guru-gurunya. Beliau berkata :
إذا جالست العلماء فاحفظ لسانك و إذا جالست الأولياء فاحفظ قلبك.
Ketika kamu duduk bersama para ulama maka jagalah lisanmu, dan ketika kamu duduk bersama para auliya’ maka jagalah hatimu.
Dari ungkapan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa diam sangatlah penting. Dengan selalu menjaga lisan kita ketika sedang berada di depan ulama’ dan fuqoha’. Menjaga hati agar tidak berfikir yang kurang baik, ketika di depan para kekasih Allah. Karena hati para kekasih Allah itu memiliki mata, yang mana tidak dimiliki oleh orang-mana yang melihat (hanya dengan mata) begitulah Imam Hallaj berkata. Dan diam di depan ulama adalah sebuah perlindungan, di mana lisan kita terlindungi apabila sewaktu-waktu berkata salah, kemudian menjadi kritikan hangat dari sang ulama. Tetapi yang terpenting ini semua adalah ajaran adab, antara murid kepada gurunya.
Imam Abu Madyan Al Ghoutsi berkata dalam Qasidahnya :
ولازم الصمت إلا إن سئلت فقل #
لا علم عندي وكن بالجهل مستترا#
Dan diamlah, (di depan guru) kecuali apabila kamu ditanya, maka katakanlah.
Saya tidak mempunyai ilmu, dan jadikanlah kebodohan penutup bagimu.
Dari penggalan bait di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa urutan adab pertama ketika sedang berada di hadapan guru adalah diam. Dan apabila kita ditanya oleh guru tentang sesuatu, langkah pertama yang harus kita lalui adalah diam dan mengatakan “maaf wahai guru, saya tidak mengetahui, atau saya tidak mempunyai ilmu akan itu” dengan penuh sikap rendah hati di depanya, selalu merasa bahwasanya tidak ada bandingnya ilmu yang kita miliki dibandingkan dengan ilmu yang telah guru kita miliki. Kemudian apabila terpaksa menjawab atau bertanya, jawablah san bertanyalah dengan sopan, dengan selalu bersikap rendah hati di depanya. Tidak merasa menggurui ketika bertutur, dan tidak mengangkat suara apabila sedang berbicara denganya.
Begitulah agama Islam yang indah selalu mengajarkan, yaitu adab dahulu sebelum ilmu. Terkadang ilmu akan menjadi hijab bagi pemiliknya. akan tetapi, adab akan selalu menjadi hiasan bagi pembawanya.