KH Bisri Syansuri; Inisiator Pendidikan Pesantren Putri

Belakangan ini wacana tentang gender seringkali mendapat sorotan lebih khalayak ramai terutama via media sosial. Banyaknya isu pelecehan yang dialami wanita & perlakuan marjinalisasi membuat wacana ini santer terdengar. Gender dalam lingkup praksis seringkali diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang melahirkan diskriminasi, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya yang dialami oleh kaum perempuan

Suara sumbang ini diiringi dengan selarasnya budaya patriarki yang masih kental di Nusantara. Perempuan yang semestinya memiliki kedudukan mulia sesuai ajran Islam, seringkali mendapat perlakuan subordinatif, marjinalisasi, stereotip, diskriminatif. Selain itu kita dapat melihat pula aturan-aturan, norma, kebiasaan hingga adat yang mengarah pada pembatasan kepada perempuan untuk berekspresi dalam medium apapun.

Dengan sedemikian melekatnya justifikasi manusia kelas dua kepada perempuan, Islam datang sebagai agama pencerah datang di tengah kehidupan jahiliah yang sangat memarjinalkan wanita. Ajaran Islam yang dibawa Nabi sama sekali tidak merendahkan harkat dan martabat perempuan juga tidak mengkungkung dan memenjarakan ruang gerak dan gagasan mereka. Islam Justru memuliakan mereka dan mendorong women participation dalam lingkup publik yang lebih luas.

Kiai Bisri dan Kesetaraan Gender

Periode masifnya gerakan Islam di Nusantara ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’. Kedua organisasi keummatan itu lahir di tengah kondidi bangsa yang masih terjajah baik secara harokah, fikroh, & siyasah. Meski begitu tak menyurutkan langkah Kiai Bisri untuk berjuang dalam konteks pendidikan pesantren.

Setelah pulang ke tanah air dan menikah dengan Nur Khadijah, Bisri diminta untuk tinggal di Tambakberas. Selama dua tahun di Tambakberas, Kiai Bisri membantu mertuanya mengurus pertanian dan pendidikan. Selepas belajar di Makkah, Bisri pulang dan menikah dengan Nur Khadijah, yang tidak lain adalah adik kandung Kiai Wahab Hasbullah. Dari, perkawinan ini Kiai Bisri dikaruniai 6 anak, diantaranya Ahmad, Muashomah, Sholihah, Muslih, Musyarofah, Sholihun, Abdul Aziz, Shokhib. Setelah Nyai Nur Khadijah wafat beliau menikah lagi dengan Maryam Mahmud. Meski demikian, perlu dicatat bahwa beliau tidak berpoligami.

Baca Juga:  Santri sebagai Identitas Abadi

Melihat kemampuan dan kecapakan Kiai Bisri, Mertuanya yakni Kiai Hasbullah memberinya sebidang tanah di daerah Denanyar, tak jauh dari Tambakberas. Saar itu, Denanyar dikenal daerah rawan kriminal, kekerasan, perampokan, dan pembunuhan akibat terkikisanya nilai-nilai moral keagamaan.

Sebagai awal mula perintisan pesantren Denanyar, beliau membangun surau untuk beribadah terlebih dahulu, kemudian berkembang menjadi tempat beajar santri. Karena santri semakin banyak, Kiai Bisri lalu mendirikan Pesantren pada tahun 1917 yang diberi nama “Mamba’ul Ma’arif” yakni bermakna sumber pengetahuan. Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan pesantren Denanyar. Pola pendekatan Kiai Bisri yang lentur dan lembut membuat masyarakat sekitar untuk datang dan belajar agama kepada Kiai Bisri.

Meski mulanya pesantren ditujukan kepada santri putra namun ketika tahun 1919 Kiai Bisri membuka kelas khusus perempuan. Mereka adalah anak tetangga sekitar yang diajar di beranda belakand rumah. Langkah ini menunjukkan perhatian Kiai Bisri terhadap kesetaraan gender dan pendidikan untuk perempuan. Langkah progresif ini langsung medapat sambutan yang baik dari guru beliau yakni Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Bahkan, menurut catatan Greg Barton, kiai Bisri adalah kiai yang pertama kali mengenalkan kelas putri ke dunia pesantren. Hal ini termasuk eksperimentasi di lingkungan pesantren unruk memberikan pendidikan yang lebih terorganisir dan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, khususnya di Jawa Timur. Bahkan secara kelembagaan pada 1927 Kiai Bisri mulai menerima secara terbuka santri putri dari pelbagai penjuru daerah hingga pada tahun 1930 didirikannya Madrasah Diniyah.

Rekam jejak Kiai Bisri terpotret dengan rinci dalam catatan KH. Aziz Masyhuri (cucu menantu Kiai Bisri). Kiai Bisri dan Isterinya Nyai Nur Khadijah terkenal sangat gigih dalam memperjuagnkan hak-hak perempuan khususnya pada bidang pendidikan. Dibukanya kelas pesantren dan diniyah menjadi bukti bahwa beliau berdua sangat peduli terhadap isu gender.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (1): Terkait Pandemi, Kiai Terbelah Jadi Tiga “Mazhab”

Tidak heran jika pesantren dan kelas madrasah bagi perempuan yang dirintis oleh Kiai Bisri dan Nyai Nur Khadijah menjadi monumen kesetaraan sosial, terutama bagi anak perempuan untuk memperoleh pendidikan, baik itu pendidikan agama maupun umum sebagaimana yang diperoleh santri putra. []

Sumber Data:
Biografi KH. Bisri Syansuri karya KH. Aziz Masyhuri
Buku GASPOL (Gagasan Agama Sosial dan Politik) Karya Bisri Syansuri Research Center

Muhammad Sabilul Aslam
Mahasiswa BSA UIN Jakarta - Santri Denanyar

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama