KitabSantri

Berdakwah Melalui Kesenian: Kita Menganggap Seni sebagai Apa? (2)

Seorang kawan pernah bertanya kepada saya, mengapa seseorang repot-repot berurusan dengan seni dan sastra dalam kehidupannya? Jika tujuannya dakwah, lha wong seni dan sastra sendiri tidak mampu memberikan banyak harapan kepada kita dalam urusan dakwah. Jika tujuannya untuk materi, berbisnis juga lebih mudah dan cepat sampai kepada tujuan daripada sekadar menggeluti kesenian. Tidak ada gunanya mencari materi melalui sesuatu yang tidak konkret dan abstrak.

Dalam perjalanan sinau di komunitas kami, Ngopi Tumpah, yang ngopeni urusan sastra dan kesenian ini, saya juga pernah bertanya kepada diri sendiri, untuk apa seseorang berkesenian? Jika kita menganggap kesenian sebagai alat dakwah, menengok eksistensinya di tengah kehidupan masyarakat, rupanya kesenian memang tidak banyak membantu dalam hal mencapai tujuan dakwah tersebut.

Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan sebelumnya, saya belum pernah mendengar ada orang yang masuk Islam atau tobat setelah membaca puisi D. Zawawi Imron, atau melihat lukisan Gus Mus, atau menyaksikan film Surga yang Tak Dirindukan, atau mendengarkan lagu-lagu religi Hadad Alwi. Ini contoh.

Lantas untuk apa berkesenian jika tidak ada gunanya untuk berdakwah? Tunggu dulu! Kesenian yang merupakan ekspresi keislaman itu setidaknya mempunyai beberapa kegunaan.

Pertama, sebagai tazkiyah, shadaqah, ibadah, tasbih, dan sebagainya bagi pencipta dan penikmat seni. Kedua, sebagai identitas golongan. Ketiga, dapat berarti syiar atau lambang kejayaan.

Kedua, kesenian sebagai tasbih; memahasucikan Allah secara individual maupun kolektif umat Islam. Seorang seniman akan pegel nganggur jika ia nekad membuat ornamen atau ukiran kaligrafi di atas menara yang sangat tinggi, yang tidak bisa dijangkau dan dilihat manusia. Mungkin karya seni seperti ini dianggap muspro. Namun, tujuan hal tersebut memang tidak untuk manusia. Akan tetapi semata itu untuk mengagungkan asma Allah. Dengan kata lain, sebagai ekspresi kecintaannya kepada Tuhannya. Ingat, ekspresi keagamaan ini menjadi dibenarkan ketika tidak menggangu kehidupan sosial.

Baca Juga:  Patung, Haramkah? #1

Ketiga, sebagai identitas individu maupun kelompok. Saleh, iman, Islam, dan takwa seseorang tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Karena hal tersebut merupakan pengalaman yang sangat private. Dengan kesenian, orang lain akan ikut merasakan pengalaman itu. Dengan kata lain, kesenian mampu membuat konkret nilai-nilai yang semula abstrak tadi.

Keempat, syiar atau lambang kejayaan. Kesenian adalah alat komunikasi yang sangat demokratis. Tidak ada paksaan untuk melihat, mendengar atau menikmatinya. Melalui kesenian, terjadilah dakwah “secara tidak sengaja”. Mungkin kampanye, demonstrasi, dan keramaian lain akan “memanaskan” suasana. Namun itu tidak terjadi dengan kesenian. Jadi kesenian ada gunanya untuk dakwah, tapi bukan sebagai alat; menjadikannya ghoyah, bukan wasilah.

Dengan menganggap kesenian sebagai alat dakwah, orang sering lupa bahwa dia sedang berkesenian. Berdakwah itu perlu “sampai”, sehingga kesenian hanya dijadikan media. Dipakai hanya sebagai alat komunikasi.

Bagi setiap Muslim, berdakwah memang diwajibkan. Namun menjadikan semuanya, termasuk kesenian, sebagai “alat” tidak pernah diperintahkan oleh agama. Agama hanya mengatakan bahwa dakwah haruslah bil hikmah; dengan bijaksana, termasuk dengan kesenian (lihat: QS. An-Nahl: 125).

Dakwah bukanlah satu-satunya kewajiban dalam beragama, namun salah satunya. Menjadikan dakwah sebagai panglima, akan mengorbankan cita-cita estetika, mengebiri kesenian dan menjadikannya mandul dan tumpul.

Hal ini juga berarti telah menciptakan adanya dikotomi antara agama dan seni, seolah-olah ada pilihan agama atau seni. Seolah-olah ada pertanyaan: akhirat atau dunia. Tentu saja orang yang mempunyai maksud baik akan memilih akhirat, karena akhirat dianggap lebih mulia daripada dunia yang fana.

Saya pikir seniman atau musikus yang berhijrah dan beralih aktivitas menjadi da’i, secara substantif peranannya dalam berdakwah bisa digantikan oleh setiap lulusan pesantren. Yang tidak bisa digantikan oleh setiap orang ialah peranannya dalam berkesenian. Wallahu a’lam.

Hanif N Isa
Pegiat Komunitas Seni, Sastra dan Budaya Ngopi Tumpah. Alumni PP. Tahfidzul Quran Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Sekarang mengabdi di PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. Setuju cak, namun saya kurang setuju di paragraf terakhir, menyebut hijrah lagi. Setiap orang punya cara tersendiri dalam memaknai hidup. Termasuk menjadi seniman atau da’i. 2 kegiatan yang sama2 mempresentasikan sesuatu, namun penguatannya dan isi beda.
      Dalam segi internal, seniman dialam imajinasi, Da’i dialam mendamaikan hati. Keduanya indah, bisa bertemu dipersimpangan… pisss

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab