Pada awal Juni yang lalu, Keputusan Menteri Agama terkait Pembatalan keberangkatan jamaah haji sempat menuai kritik dan sedikit kontroversi. Keputusan tersebut tentu berujung pada kekecewaan, terutama bagi jamaah yang telah lama daftar mengantre. Beberapa Ulama, Akademisi, dan Masyarakat secara umum menganggap pemerintah terlalu “tergesa-gesa” atau “terburu-buru” mengambil keputusan. Akan tetapi, kritik dan lontaran itu kini telah terbungkam setelah senin kemarin (22/06) Pemerintahan Arab Saudi mengumumkan bahwa Ibadah haji hanya diperkhususkan untuk warga Negara setempat dan warga asing yang telah berada di Saudi.
Upaya pemerintah merupakan langkah yang tepat sebagai bentuk tanggungjawabnya dalam merealisasikan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan bersama. Hukum Islam juga memandang bahwa seseorang yang ter-taklif atas kewajiban haji adalah ketika telah mencapai syarat istita’ah atau mampu, yaitu mempunyai kekuatan baik secara fisik, ekonomi, terjaminnya keselamatan diri, serta memungkinkan dalam perjalanan. Sedangkan dalam situasi saat ini, resiko terancamnya kesehatan jiwa sebab pandemi yang melanda dunia dapat menjadi mani’ atau penghalang atas kewajiban haji tersebut. Keputusan tersebut juga sejalan dengan salah satu prinsip maqasid asy-syari’ah berupa Hifzu an-nafs atau upaya perlindungan terhadap jiwa.
Selain itu, bukankah kita sering melontarkan prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati”?. Dalam kaidah fikih, prinsip ini berbunyi الدفع أقوى من الرفع.
Hakikatnya, Ibadah merupakan bentuk asyu’ur atau ekspresi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Walaupun saat ini, kita belum mampu berangkat Haji ke Makkah, Rasulullah sejak dahulu telah memberikan alternatif ibadah berpahala haji, sebagaimana hadis hasan yang diriwayatkan Imam Tirmizi,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ، ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ وَحَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ. رواه الترميذي
Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang menjalankan salat Subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, lalu melakukan salat sunnah dua rakaat, maka baginya mendapatkan pahala haji dan umroh”. (HR. Tirmizi)
Dari hadis diatas, seseorang dapat melakukan ibadah sebagaimana ibadah haji dengan menjalankan runtutan beberapa cara, yaitu Pertama, Salat subuh berjamaah. Kedua, duduk berzikir kepada Allah SWT, seperti dengan membaca tahmid, tasbih, dan tahlil. Ketiga, melakukan salat sunnah dua rakaat dengan khusyuk. Salat dua rakaat tersebut dinamakan dengan Salat Isyraq, dilakukan ketika matahari berjarak satu tombak selepas matahari terbit.
Perumpamaan Amalan sunnah Rasululullah diatas dengan sifat ibadah haji dan umroh tersebut diumpamakan secara sangat sempurna, bahkan Rasulullah SAW men-taukid atau menguatkannya dengan mengulang tiga kali kalimat “tammah, tammah, tammah”, yang berarti sempurna.
Selain amaliah diatas, seseorang juga mampu berpahala haji dengan banyak bersedekah kepada fakir miskin, apalagi pada situasi pandemi saat ini. Dalam kitab Irsyadu al-‘ibad ila sabili ar-rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari, terdapat kisah menarik dalam bab huququ al-jiran atau hak-hak tetangga yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak. Pada saat Ibnu al-Mubarak melaksanakan haji, beliau bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit sedang berbincang-bincang.
Salah satu malaikat bertanya “Berapa banyak jumlah orang yang haji pada tahun ini?” Malaikat yang kedua menjawab “600 ribu orang” , Malaikat pertama bertanya lagi “berapa orang yang diterima hajinya?”, Malaikat kedua menjawab lagi “tidak ada satupun yang diterima, akan tetapi ada seorang pria dari Damaskus bernama Muwaffaq yang tidak berangkat haji, akan tapi hajinya diterima. Sebab barokah orang itulah semua jamaah haji diterima”.
Dari mimpi itulah Ibnu al-Mubarok pergi ke Damaskus menemui seorang bernama Muwaffaq tadi. Ketika telah sampai di depan pintu rumahnya, Ibnu al-Mubarak bercerita lalu bertanya “kebaikan apa yang kau lakukan sehingga mendapatkan kemuliaan seperti ini?” Muwaffaq lalu bercerita bahwa pada tahun ini ia memang hendak melaksanakan haji setelah mengumpulkan 350 dirham dari usahanya sebagai tukang sol sandal. Akan tetapi suatu hari, istrinya yang hamil mencium bau masakan tetangga yang menyengat. Kemudian Muwaffaq mendatangi tetangga perempuannya dan bertanya.
Sang perempuan lalu bercerita bahwa beberapa anaknya yang yatim belum makan selama tiga hari, suatu ketika ia melihat bangkai keledai yang telah mati, karena kelaparan ia ambil beberapa potongan bangkai, lalu ia masak. Bangkai tersebut tentu haram, akan tapi menjadi halal karena pada situasinya yang darurat (terpaksa). Mendengar cerita tersebut Muwaffaq tidak tega lalu pulang, mengambil 350 dirham bekal hajinya dan menyerahkannya kepada tetangga perempuan tersebut.
Oleh sebab itulah Muwaffaq diterima hajinya meskipun tanpa berangkat ke Tanah Suci.
Dari amaliah dan kisah itulah kita dapat mengetahui bahwa masih banyak sekali kesempatan amaliah dan kebaikan yang bisa kita lakukan baik berupa ibadah ritual ataupun ibadah sosial yang keistimewaannya sebagaimana ibadah haji. Tentu saja, menjalankan amaliah tersebut bukan semata-mata hanya mencari pahala saja, tetapi untuk mendapatkan ridha-Nya.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah “Sesungguhnya Salatku, Ibadahku, Hidupku, dan Matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. Al-An’am, ayat 162).
Wallahu A’lam. [HW]
[…] Amalan di atas memang nilai pahalanya setara dengan berhaji, namun demikian amalan tersebut tidak bisa menggantikan haji sebagai rukun Islam kelima, pun tidak […]