Al-Alghaz Al Al-Fiqhiyyah

Pernahkah kita mendapatkan sebuah pertanyaan dari seseorang yang membuat kita berfikir?. Dan kita akan menjawabnya semampu kita jika kita mengerti. Namun jikalau kita tidak mengetahuinya, orang yang memberi pertanyaanlah yang menjawabnya sendiri. Hal tersebut sering kita dengar dengan istilah teka-teki.

Islam mengejawantahkan hal tersebut dengan istilah Al-Alghaz Al-Fiqhiyyah atau teka-teki fikih. Abu Nasr Al-Jauhari dalam kitabnya as-Shihah Taj al-Ghuhah wa shihah al Arabiyyah, jilid 3, h. 894. Secara bahasa Alghaz merupakan kata plural dari lughaz dan sering diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi teka-teki, tebak-tebakan, asah pikiran dan semacamnya.

Sedangkan kata al-Fiqhiyyah sendiri dalam bahasa arab disebut dengan sifat atau na’at. Ketika ada sebuah sifat, maka harus ada sesuatu yang disifati (dalam bahasa arab disebut dengan : MAUSHUF/MAN’UT) yang disandarkan kepada kata alghaz itu sendiri.

Banyak kita temukan teka-teki yang ditulis oleh para ulama khususnya yang berkaitan dengan fikih. Mereka mengambil dasar penulisannya pada suatu hadis nabi yang menceritakan sebuah kejadian yang pernah berlangsung antara Nabi SAW dengan beberapa sahabatnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dimana Rasulullah saat itu memberikan teka-teki:

“Sesungguhnya dari sekian banyak pohon, ada satu pohon yang tidak gugur daun-daunnya, dan pohon itu laksana seorang muslim, ada yang bisa memberi tahu pohon apakah itu?. Maka orang-orang mengira bahwa pohon itu adalah pohon yang tumbuh di lembah-lembah ( komentar Abdullah bin Umar disela-sela menceritakan kisahnya).

Lalu Abdullah bin Umar RA mengatakan: aku menebak bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon nakhlah (kurma), bamun aku sungkan untuk menjawabnya.

Lalu mereka berkata: pohon apakah itu wahai Rasulullah?

Nabi SAW menjawab: jawabannya adalah pohon kurma.

Abdullah bin Umar berkata: lalu aku memberi tahu kepada Umar (bahwa aku menabak pohon kurma).

Umar pun membalas: andai kau mengatakannya bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma, itu lebih aku sukai daripada ini dan ini.

Tidaklah menghalangiku untuk mengucapkannya kecuali aku tidak melihat engkau dan abu bakar berbicara, maka akupun juga segan untuk mengucapkannya”. (HR.Bukhori dan Muslim).

Baca Juga:  Childfree dalam Pandangan Istihsan

Hukum Al alghaz al fiqhiyyah

Dari hadis diatas para ulama menyimpulkan bahwa hukum melontarkan teka-teki diperbolehkan, asal ada penjelasannya dan tidak membingungkan dan sifatnya tidak rancu.

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhori jilid 1. Menjelaskan bahwa salah satu tujuan dilontarkan teka-teki adalah untuk menguji kemampuan murid-muridnya:

“Seorang ‘Alim menguji para muridnya terhadap hal-hal yang samar, disertai dengan memberikan penjelasan atas kesamaran tersebut kepada mereka jika belum paham”.

Hal ini sebagian ulama menuliskan dalam kitabnya memasukkan satu bab khusus yang membahas tentang teka-teki dari beberapa pembahasan yang dituliskannya pada sebuah kitab. Yang menjadi poinnya adalah dengan adanya fakta pada beberapa karangan tersebut, sudah cukup dijadikan jawaban bahwa menggunakan teka-teki itu hukumnya diperbolehkan. (Syafri Muhammad Noor, 2020)

Para ulama juga memberi batasan yang harus diperhatikan untuk tidak melebihi batas kewajaran, meskipun hukumnya diperbolehkan. Adapun persyaratan yang harus terpenuhi pada teka-teki pada ilmu syar’i dalam bukunya Syafri Muhammad Noor berjudul  Al-Alghaz Al Al-Fiqhiyyah Teka-Teki Fiqih diantaranya.

Pertama, adalah teka-teki yang dilontarkan harus memiliki landasan. Tidak bisa seseorang asal-asalan memberikan sebuah pertanyaan hal ini konteksnya ilmu syar’i dengan asal-asalan dan tidak berdasar apapun. Karena tujuannya adalah mengasah kemampuan berfikir seseorang.

Kedua, Teka-teki harus berkaitan dengan kasus realita, hal ini berkaitan dengan kebohongan yang mana Islam sangat melarangnya. Maka sangat tidak diperbolehkan.

Ketiga, tidak boleh sembarangan melemparkan sebuah teka-teki yang berat kepada orang awam. Apalagi seseorang yang masih tahap belajar ilmu syar’i.

Keempat, tidak berlebihan memberikan teka-teki kepada seseorang yang mana hal tersebut dapat membuatnya ragu dan bimbang.

Kelima, dijelaskan jawabannya karena hal tersebut merujuk pada hadis nabi diatas yang memberikan jawaban kepada para sahabat dan tidak meninggalkan begitu saja.

Baca Juga:  Hukum Transplantasi Organ Perspektif Qaidah Ad-Dhararu Yuzaal

Yang terakhir adalah tidak untuk pamer. Karena tujuan teka-teki fikih itu sendiri mengasah kemampuan berfikir seseorang sehingga kita mengetahui seberapa dalam dia memecahkan sebuah persoalan.

Adapun contoh tentang Al-Alghaz Al-Fiqhiyyah yang berkaitan dengan ilmu syar’i seperti ini, “Ada orang yang salat tanpa rukuk dan tanpa sujud, padahal dia sehat dan anggota tubuhnya lengkap dan status salatnya sah. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”

Jawabannya adalah Salat jenazah.

Bagaimana, tertarikkah kalian untuk memberikan sebuah teka-teki fikih kepada teman anda?, terlebih dalam hal ilmu syar’i, karena banyak hal positif juga yang dapat diambil. Selain mempertajam kemampuan berfikir kita juga dapat mengukur teman kita seberapa dalamkah kemampuannya dalam membaca sebuah persoalan yang di kemas dalam Al-Alghaz Al-Fiqhiyyah. Wallahu A’lam bis Shawab. [HW]

Muhammad Waliyuddin
Mahasiswa Hukum Pidana Islam di UIN Walisongo Semarang dan Pegiat di Komunitas Ancang Baca Semarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini