Siapa yang tidak tahu Khadijah?

seorang wanita yang suci sampai diberi gelar At-Thahirah, dermawan, cantik, dan baik hati.

Wanita yang selalu ada baik senang dan duka mendampingi nabi terakhir umat muslim,  Muhammad Saw.

Suatu ketika Khadijah terbaring dengan seribu perenungan yang menguasai laju pikirnya. Tubuhnya yang mulai renta dan tidak kuat lagi, membuatnya menyadari bahwa masanya didunia ini sudah hampir berakhir. Meski istri seorang nabi, dia tetaplah wanita biasa. Hukum Allah Swt. bagi setiap makhluk akan berlaku terhadapnya. Setiap yang datang pasti akan pergi dan setiap yang bernyawa niscaya akan merasakan kematian. Tubuh adalah sesuatu yang fana’, sedangkan roh akan kembali kepada pemiliknya, Allah Swt. Khadijah meraba masa depan yang akan dilalui, yaitu masa depannya di alam akhirat.

Namun, tiga tahun sebelum hijrah, Khadijah menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyum tergurat dibibirnya. Pada waktu itu, bertepatan dengan bulan Ramadan. Karib kerabat dan putri-putrinya yang mulia berada disampingnya, menemaninya untuk mengiringi kepergiannya. Sementara sang kekasih hati, Muhammad Rasulullah tidak sedetikpun melepas genggaman tangannya dengan penuh cinta. Kesedihan jelas tergambar di wajahnya, ketika harus melihat istri yang banyak berkorban untuk dirinya dan telah banyak membantu perjuangannya itu menapaki detik-detik terakhir dalam hidupnya. Kepadanya, sang suami tercinta, Muhammad Saw. berkata, “sungguh aku tidak suka melihatmu dalam keadaan seperti ini, Khadijah. Akan tetapi sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan dalam ketidaksukaan.” (Kanzul Ummal)

Ketika Khadijah menutup mata untuk selama-lamanya, asap kesedihan membumbung hingga setinggi angkasa dan derai air mata tercinta. Hanya kesedihan, tiada ratapan yang menjadi pengiring kepergiannya. Seluruh yang hadirpun larut dan tenggelam dalam duka mendalam atas kepergiannya. Khadijah, kehidupan yang mulia juga akan  diakhiri dengan kematian yang mulia pula. Dan di hari kematian Khadijah, di hari dirinya menghadap kepada tuhannya, turunlah ayat Allah Swt. :

Baca Juga:  Khadijah Bint Khuwailid (Radhiyallāhu 'anha)

kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridainya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaku, masuklah ke dalam surgaku.” (QS Al-Fajr : 28-30).

Selain meninggalkan kenangan indah yang tidak akan pernah terlupakan, Khadijah juga meninggalkan kesedihan yang sulit ditanggung oleh suami tercintanya. Terlebih kepergiannya hanya berselang 2 atau 3 bulan setelah kepergian sang paman, Abu Thalib. Kesedihan dan kepedihan menusuk di hati Muhammad Rasulullah. Dua peristiwa itu meninggalkan kesedihan mendalam dan akan menyuntikkan racun putus asa kedalam hati seseorang. Sekuat apapun orang itu, maka dia akan dikuasai perasaan sedih, duka, dan dirundung kepiluan yang akan membuatnya menjadi lemah. Sehingga dia tidak akan dapat berfikir hal lain, kecuali 2 peristiwa yang sangat menyedihkan itu.

Setelah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu, Muhammad Rasulullah melihat kaum Quraisy semakin keras mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang Quraisy yang bodoh mencegatnya ditengah jalan, lalu dia menaburkan tanah ke atas kepalanya. Lalu baginda pulang ke rumah dengan tanah yang masih ada diatas kepalanya. Fatimah putrinya, datang membersihkan tanah yang ada di kepala ayahnya sambil menangis. Sungguh tidak ada yang lebih sedih dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, terlebih anak perempuan. Setitik air mata kesedihannya mengalir dari kelopak mata seorang putri bagaikan sepercik api yang membakar hati dan membuatnya tenggelam dalam duka pilu. Dan karena pilunya itu, seorang ayah akan menangis penuh kesakitan. Sedangkan secercah duka yang menyelinap kedalam hati adalah rintihan jiwa yang sangat keras, mencekik leher dan tenggelam dalam air mata. Muhammad Saw. yang hanya menghadapkan hatinya kepada Allah Swt. dengan penuh iman dan hanya mengharap segala pertolongannya berkata, “Wahai anakku, janganlah kamu menangis. Allah akan senantiasa melindungi ayahmu.”

Baca Juga:  Khadijah Bint Khuwailid (Radhiyallāhu 'anha)

Khadijah, usiamu enam puluh lima tahun lamanya. Dan selama itu kemuliaan senantiasa meliputimu, karena engkau suka melakukan perbuatan mulia, menolong sesama, berderma kepada yang membutuhkan dan membantu yang memerlukan.

Enam puluh tahun itu adalah enam puluh tahun penuh keindahan, karena dipenuhi rasa cinta kepada keluarga tercinta, masyarakatnya, dan juga kaum muslimin seluruhnya.

Enam puluh tahun itu adalah enam puluh tahun penuh perjuangan, karena dipenuhi semangat membantu sesama dalam menegakkan panji la ila ha ilallah, menebarkan dakwah islamiyah dan membela agama Allah Swt.

Khadijah adalah wanita yang pantas di cemburui oleh semua wanita di dunia ini, karena kecantikan paras dan hatinya, kebaikan budinya, kemuliaan garis nasabnya, kedermawannya yang seakan-akan tiada terbatas.

Khadijah bukanlah bunga yang jatuh dari pohon, lalu menjadi layu dan keharumannya pun lenyap bersama hembusan angin. Akan tetapi, dia adalah mawar yang keharumannya akan senantiasa tercium, hingga setelah ribuan tahun berlalu. Khadijah bukanlah daun yang berguguran dari ranting, lalu ia akan layu dan mengering. Akan tetapi, dia akan senantiasa segar,hijau, bersinar ibarat bintang fajar yang bersanding mesra dengan Al-Badr, Muhammad, suaminya. [HW]

Frisca Yunita Sari
Mahasiswi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Baca Juga:  Aku Ingin Menjadi Khadijah Ra: Mawar yang Tidak Pernah Layu […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan