Masyarakat Beragama yang Dicita-Citakan Gus Dur
Sekilas tentang Gus Dur

Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang pada 4 Syaban atau 7 September 1940 di Denanyar Jombang Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakeknya dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri. Dari garis ayah, ia adalah cucu Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asyari, sedangkan dari garis ibu, ia adalah cucu KH. Bisri Syansuri. Dengan demikian, nasabnya baik dari pihak ayah maupun ibu adalah keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU) (Greg Barton: 2010).

Pendidikan Gus Dur beragam, mulai dari didikan tradisi pesantren, pendidikan Timur Tengah di Mesir dan Baghdad, dan pendidikan Barat (Baca: Eropa). Di Eropa Gus Dur tinggal di Belanda untuk mendapatkan kesempatan belajar di pascasarjana di bidang perbandingan agama. Akan tetapi, setelah keliling di Universitas Leiden dan universitas lainnya, ia tidak berhasil masuk program pascasarjana. Ijazah S1 dari Universitas Baghdad tidak diakui di Eropa. Karena merasa kecewa, Gus Dur kembali ke tanah air pada pertengahan tahun 1971.

Sepulang dari pengembaraan intelektual luar negeri, Gus Dur kembali ke dunia pesantren. Ia diminta menjadi Dekan di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyari Jombang hingga tahun 1974. Pada tahun 1976 ia banyak diminta menjadi tenaga konsultan di beberapa Departemen dan Instansi. Mulai dari Departemen Agama, Departemen Koperasi, Lembaga Penelitian, dan beberapa LSM baik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1983 ia menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1984 ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Dua tahun berikutnya, yakni pada tahun 1986, ia dipercaya menjadi Ketua Festival Film Indonesia (FFI) dan anggota Dewan Pers Nasional. Pada muktamar NU ke-19 di Krapyak, Yogyakarta, ia kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk kedua kalinya. Kemudian pada Muktamar Ke-20 di Cipasung, Tasikmalaya, pada tahun 1995 ia kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU yang ketiga kalinya setelah mengalahkan Abu Hasan yang mendapat dukungan penuh penguasa saat itu, Soeharto.

Gus Dur sering menjadi narasumber dalam berbagai forum, baik di dalam maupun luar negeri. Ia sering tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di forum internasional semacam Acford di Bangkok. Gus Dur juga sering mendapat penghargaan bergensi, seperti dinobatkan sebagai “Tokoh 1999” newsmasker oleh media massa. Pada Agustus 1993, Gus Dur bersama 4 warga Asia lainnya (Noburu Imamuru Jepang, Bano Coyaji India, Vo-Tong Xuan Vietnam, dan Brienvinido Lumberra Filipina) menerima hadiah Ramin Magsaysay di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan karena keterlibatan Gus Dur dalam upaya menumbuhakn toleransi beragama di Indonesia. Pada tahun 1994, Konferensi Sedunia Tentang Agama dan Kemanusiaan (World Conference on Religion and Peace) yang bertempat di Rivadel Garda, Italia Utara memutuskan mengangkat Gus Dur sebagai salah satu presidennya. Gus Dur juga diprediksi menjadi kingmaker untuk Indonesia masa depan oleh majalah Singapura pada tahun 1999 (Mujamil Qomar: 2010). Puncaknya, pada 20 Oktober 1999 Gus Dur dilantik menjadi Presiden Ke-4 Republik Indonesia menggantikan Presiden B.J. Habibie oleh MPR. (Abdurrahman Wahid dalam wikipedia.com diakses pada 21 Maret 2021 pukul 14.15 WIB)

Baca Juga:  Progresivitas NU (2): Gus Dur Ikon Progresivitas

Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah dirawat beberapa hari karena sakit. Gus Dur dimakamkan di Tebu Ireng Jombang satu komplek dengan kakek dan ayahnya. Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun, dengan meninggalkan satu orang istri dan empat orang putri. Kepulangan Gus Dur menyisakan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia, karena kehilngan salah satu putra terbaiknya. Ia dikenal sebagai sosok yang humoris dengan ucapannya yang sangat terkenal “gitu aja kok repot”. Kini bangsa Indonesia kehilangan sosok pemersatu dan pembela kaum minoritas. Selamat jalan, Gus Dur, damai bersama-Nya. Semoga anak bangsa mau belajar dengan ketokohanmu.

Peninggalan Gus Dur

Sebagai seorang tokoh bangsa, Gus Dur tentu banyak meninggalkan sebuah warisan. Dan, warisan yang paling berharga dari Gus Dur adalah warisan intelektualnya. Sejak muda Gus Dur dikenal produktif dalam menulis. Banyak karya tulisnya yang kemudian diedit ulang dan diterbitkan dalam bentuk buku. Selain buku, karya tulis Gus Dur juga banyak yang berupa terjemahan karya orang lain, pengantar dalam sebuah buku, dan beberapa tulisan lepas yang dimuat di berbagai media massa seperti Kompas, Media Indonesia, Prisma, Tempo, dan lain-lain. Dalam bentuk buku, karya Gus Dur antara lain adalah

  1. Bunga Rampai Pesantren (1970).
  2. Muslim Di Tengah Pergumulan (1981).
  3. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997)
  4. Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999).
  5. Cita Dan Fakta, terjemahan dari buku Sayyed Hossein Nasr.
  6. Menggerakkan Demokrasi: Esai-Esai Pesantren (2001).
  7. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (2001).
  8. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006).
  9. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007).
  10. Pengantar sebuah buku, seperti Nahdlatul Ulama, Tradisional Islam, and Modernity in Indonesia yang diedit Greg Barton dan Greg Felay. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat karya Martin van Bruinessen. Nahdlatul Ulama dan Pancasila karya Einar M. Sitompul, dan lain-lain.
  11. Tulisan Gus Dur lainnya banyak tersebar di majalah dan surat kabar, seperti: Aula, Prisma, Santri, Studia Islamika, dan (Mujamil Qomar: 2002).
Baca Juga:  Menghindari Keberislaman yang Munafik
Masyarakat Beragama yang Dicita-Citakan Gus Dur

Sebagai seorang pemimpin, cendekiawan Muslim, dan dai, pastilah Gus Dur mempunyai sebuah impian yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Terlebih kehidupan masyarakat beragama. Sebab, tidak mungkin seorang Gus Dur tidak memiliki impian tentang masyarakat beragama yang ingin diwujudkannya dalam kehidupan masyarakat beragama di Indonesia. Lalu apa sebenarnya cita-cita Gus Dur dalam hal kehidupan beragama?

Sebagaimana dikemukakan oleh Djohan Effendi, Gus Dur mendambakan kehidupan beragama yang ramah. Masing-masing umat beragama meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Saling menghormati keyakinan yang dianut orang lain, dan membiarkan mereka melaksanakannya secara bebas. (Djohan Effendi: 2010). Dengan kata lain, Gus Dur agaknya ingin melihat dalam sebuah taman yang bernama Indonesia ini, biarlah tumbuh aneka macam bunga dengan wajar tanpa diganggu dan dihalangi, apalagi dipaksa-paksa. Suatu taman akan terlihat keindahannya jika ditumbuhi oleh macam-macam warna dan jenis bunga. Karena itu, semangat untuk menjadi tunggal akan membunuh keragaman itu sendiri, dan pasti akan ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil dan dirugikan. Sebab, biasanya yang menang mereka akan memperalat penguasa, menggunakan cara yang tidak baik tanpa malu-malu, lebih-lebih mereka tidak peduli dengan yang halal dan yang haram, yang terpenting bagaimana tujuan mereka dapat dicapai.

Gus Dur tidak ingin kehidupan beragama berhenti dengan suasana status quo, dimana lembaga-lembaga keagamaan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal semacam ini akan sangat ironis bila terjadi dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu, dalam pemikiran Gus Dur, Kementrian Agama pada era Gus Dur, sebagai aparat adalah milik semua orang dan melayani semuanya (Djohan Effendi: 2010). Gus Dur meminta lembaga keagamaan bekerja secara adil dan bijaksana dengan memerhatikan semua elemen bangsa. Dalam pandangan Gus Dur semua umat beragama mempunyai kebebasan bereksistensi dan berekspresi sesuai dengan keyakinannya. Hal ini terbukti kita Gus Dur menetapkan hari raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional, sehingga Gis Dur dijuluki sebagai ‘Bapak Tionghoa Indonesia’.

Baca Juga:  Salah Kaprah Amaliah di Masyarakat

Jika ditarik benang merah antara cita-cita kehidupan beragama yang diimplikasikan Gus Dur dengan Qonun Asasi yang dibuat kakeknya, maka akan diperoleh kesamaan pandangan dan cita-cita antara keduanya, yakni penekanan pentingnya menciptakan kedamaian, persatuan, kesatuan, saling menghormati diantara anggota warga masyarakat tanpa membedakan suku, agama, asal usul keturunan, serta tolong-menolong demi terciptanya kebahagiaan bersama.

Catatan Akhir

Sebagai cendekiawan, pemimpin dan dai, Gus Dur dalam kehidupan beragama mendambakan kehidupan beragama yang damai, saling memahami, saling menghormati. Dimana setiap umat meyakini agamanya dengan ketulusan hati. Sebab, hanya dengan keberagamaan yang tulus terletak makna keberagamaan yang hakiki. []

 

Daftar Rujukan

Greg Barton, Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2010.

Mujamil Qomar, NU ‘Liberal’:dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Univeralisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Djohan Effendi, ‘Kehidupan Umat Beragama dalam Cita-cita Gus Dur’ dalam Greg Barton, Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2010.

wikipedia.com -Abdurrahman Wahid diakses pada 21 Maret 2021 pukul 14.15 WIB

Ahmad Irvan Fauzhi
Alumnus PP. Roudlotul Huda Kedungpanji Lembeyan Magetan, saat ini menempuh S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Ponorogo. Dan menghabiskan waktu untuk membaca, traveling dan menikmati kopi.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] dengan itu, pluralisme pun menjadi bagian sentral yang patut diupayakan. Sebagaimana perjuangan Gus Dur dalam melepas pasung kaum minoritas pada masa orde baru, penindasan dan perenggutan hak asasi […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini