Beberapa hari terakhir ini banyak berseliweran komentar pedas atas dikuasainya siaran televisi umum oleh dua keluarga yang sedang menjalankan rangkaian pernikahan (mas atta geledek dan mbak anem). Saya yang sok cuek namun sebenarnya peduli pada dunia selebriti ini pun akhirnya ikut mengawasi dari jauh. Melihat bagaimana komentar netizen sebenarnya. Ada yang diam dan menikmati, ada yang memprotes sambil menjelaskan pelanggaran privasi, ada yang netral menyikapi sampai tak hendak menonton, mengomentari, dan juga tak hendak mengikuti apapun perkembangan yang terjadi.

Saya sendiri sebenarnya termasuk netral, namun tak sepenuhnya diam dan tak peduli. Saya lebih suka membaca reaksi para netizen yang biasanya menyemburkan komentar mengandung banyak hal, termasuk lelucon dan kegetiran. Salah satu komentar yang menurut saya menggelitik adalah tentang banyaknya netizen yang bermimpi menjadi anak atau bagian dari para selebritis tersebut. “Andaikan jadi keluarga geledek”. Atau “ingin ikut menjadi anggota ketujuh. Jadi A seven”. Dan banyak komentar lain yang pada intinya ingin menjadi orang terkenal, dan lalu dianggap enak hidupnya.

Yang terjadi kemudian, segala keterkenalan juga kemewahan hidup ini dianggap sebagai kemuliaan hidup bagi sebagian besar orang. Sesuatu yang menurut saya kurang tepat. Karena pada hakikatnya kemewahan dan ketenaran tak selaras dengan kemuliaan.

Lalu bagaimana caranya agar hidup mulia?

Mungkin banyak jalan untuk menjadi mulia, diantaranya adalah dengan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, dan menjadi seseorang yang beriman dan berilmu. Kebermanfaatan dan keimanan ini sudah beberapa kali saya singgung ditulisan lain. Dalam tulisan kali ini saya ingin menulis tentang menjadi manusia berilmu.

Untuk menjadi seseorang yang berilmu, banyak sekali metode dan proses yang bisa dijalankan. Namun saya sangat tertarik dengan proses untuk menjadi orang yang berilmu versi bapak saya. Ketika mendengar penjelasan beliau, saya merasa betapa sederhananya proses itu. Tinggal kita saja yang memutuskan, mau melakukan atau tidak.

Baca Juga:  Perempuan Berparas Cantik dari Kedudukan Hina menjadi Mulia

Wes pokok ngaji, ko lek alim alim dewe. Wes pokok lek kulo nyekeli mawon dawuh niko: man tabahharo fi ilmin wahidin, yuhtada bihi ila saairil ulum. Wes pokok onok kitab cilik siji, dimaknani seng kebek tur bener, diharokati lengkap tur bener. Insya Allah ko moco kitab liane yo iso. Soale kitab cilik niki isine geh sami huruf hijaiyahe kaleh kitab gede niku (asalkan mau belajar mengaji, maka akan alim dengan sendirinya. Kalau saya, selalu berpegang pada maqolah: barang siapa menguasai satu keilmuan dengan mendalam, maka dia akan diberi petunjuk pada ilmu lainnya. Sudah, asalkan ada satu kitab kecil diberi makna dengan penuh dan benar, juga diberi harokat dengan benar dan penuh, insy Allah nanti baca kitab lainnya juga bisa. Karena kitab kecil ini isi tulisannya sama huruf hijaiahnya dengan kitab yang besar-besar itu)”.

Namun proses tersebut belum selesai. Bapak menambahkan ”Niku lek pengen iso moco kitab. Hla tapi lek pengen ilmune payu, niku yo bedo maneh. Niku yo kudu diriyadhohi. Kudu wira’i barang (semua tips sebelumnya itu untuk yang kepengen bisa baca kitab. Akan tetapi kalau ingin ilmunya laku, maka itu sudah beda hal. Itu ya harus diriyadhohi. Juga wira’i)”.

Wujud dari ilmu memuliakan manusia menurut beliau adalah begini ”Ilmu niku iso nutupi kekurangane menungso. Koyok wong kurang dari segi wajah e, bahkan dzohire kurang sempurno, tapi kerono apal quran, akhire malah dipilih karo wong wedok. Seng normal tur ayu. Hla niki kan ilmu nutupi kekurangane (ilmu itu sendiri akan bisa menutupi kekurangan seorang manusia. Seperti seseorang yang kurang dari segi wajahnya. Atau bahkan dalam segi badannya kurang sempurna. Akan tetapi karena dia hafal al-quran, akhirnya justru dipilih oleh wanita yang normal fisiknya dan bahkan cantik. Nah ini salah satu bukti bahwa ilmu bisa menutupi kekurangannya)”.

Baca Juga:  Sayyidah Aisyah dan Keluasan Ilmunya #3

Semua teori ini berdasarkan dawuh ”Innal hikmata taziidu asysyarifa syarafan watarfa’ul mamluuka hatta yudrika madaarikal muluk”.

Wong seng ngerti ngilmu lan diamalne, mongko bakal nambahi mulyo wongkang wes mulyo. Kados ngerti ilmune wiridan, hla kok gelem ngelakoni. Waah yo dimulyakne tenan. Hla niki biasane penyakite awake dewe, lek wes mlaku wiridane lan metu hasile, wiridane ditinggal. Niki mangke diibaratne dimar ublek dipateni, ajeng nguripi maneh uangel. Ancen lek ijeh neng pondok kon yakin yo angel. Iki sok piye lan piye (seseorang yang tahu suatu ilmu dan diamalkan, maka akan menambah kemuliaan orang yang sudah mulia. Seperti contoh tahu ilmu tentang wiridan, hla kok mau mengamalkan. Wah pasti akan dimuliakan beneran. Nah ini biasanya menjadi penyakit kita, kalau sudah jalan wiridannya dan membuahkan hasil, lalu wiridannya ditinggal. Ini diibaratkan lampu minyak yang dimatikan, ketika akan menghidupkannya kembali akan jauh lebih sulit. Tapi memang ketika masih di pondok disuruh meyakini hal seperti ini sulit. Masih selalu bertanya-tanya, nanti itu bagaimana dan bagaimana)”.

Soale kulo yo tau enom. Mikir, iki sok payu po ra. Aku melarat ngeneki. Kadang enek seng ngelokne, melarat po payu. Wes ngeten niki meneng ae. Entene wong ngelokne ngeten niki kersane awake dewe tandang (karena saya sendiri juga pernah muda, pernah berfikir nanti saya akan laku nikah apa tidak. Saya yang miskin seperti ini. Kadang memang ada juga yang menghina: ini orang miskin apa laku nikah nanti. Kalau sudah begini, diamkan saja. Adanya orang menghina seperti ini agar kita mau maju mengamalkan)”.

Lek seng ngelakoni ilmune niki wongkang faqir utowo derajate hamba sahaya, mongko bakale insya Allah munggah derajate, nemu derajat koyo derajate rojo (kalau yang mengamalkan ilmunya ini orang fakir atau sederajat dengan hamba sahaya, maka insya Allah akan dinaikkan derajatnya hingga kepada tingkatan selayak raja)”.

Baca Juga:  Menangisi Kebodohan

Dalam keterangan ini sudah jelas, bahwa bila kita ingin meningkatkan kemuliaan diri dan keluarga, maka salah satu jalan yang indah adalah dengan berilmu.

Semoga kita mampu berjuang dalam mendapatkan ilmu, dan kemudian memperjuangkannya dalam laku. (HNZ)

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah