Opini

Menangisi Kebodohan

pixabay

“Menangisi kebodohan bukanlah suatu sikap tercela, melainkan sesuatu yang terpuji sebagai wujud ketawadluan akan kesempurnaan ilmu dan kemahakuasaan Allah swt” – Rochmat Wahab

Kehidupan itu bersifat dinamis. Penuh romantika. Tumbuh berkembang mencapai puncak dan menurun sampai suatu saat akan berakhir. Kita tidak mengetahui waktunya yang tepat. Di mana dan pada posisi apapun kita saat ini, mari kita melakukan introspeksi perjalanan hidup kita yang naik turun, dengan harapan bisa menata lagi menuju kehidupan yang baik dan lebih baik.

Kita secara sejujur menyadari akan keterbatasan kita sebagai makhluk yang dzoif, berpotensi hilaf dan lupa, sehingga secara sadar atau tidak sadar kita melakukan hal-hal yang tidak baik, atau suatu kebodohan.

Mengakui kebodohan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Membutuhkan suatu kejujuran dan keikhlasam. Menghendaki hati nurani berfungsi. Mengakui kebodohan bukan sesuatu yang nista, tetapi merupakan suatu kemuliaan, sebagai sikap tawadlu, karena betapapun tingginya ilmu tidak akan pernah mengalahkan yang Maha Pemberi Ilmu. Mengakui kebodohan bisa menjadi motivasi untuk mencapai kemajuan.

Menangisi kebodohan menunjukkan penyesalan terhadap ketidakmampuan diri dalam menyelesaikan tugas sepanjang sejarah kehidupan. Menangisi kebodohan merupakan manifestasi ketidakberdayaan dalam menghadapi setiap masalah besar yang terjadi pada momentum-momentum tertentu.

Menangisi kebodohan juga berarti mengakui kekeliruan dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Menangisi kebodohan merupakan kebutuhan untuk bisa bangkit membangun masa depan yang lebih baik.

Akhirnya menangisi kebodohan adalah pengakuan terhadap keterbatasan dan ketidakmampuan sebagai konsekuensi dari sifat manusia yang tidak sempurna.

Menangisi kebodohan yang terkait dengan orangtua. Bisa berkenaan dengan kepatuhan terhadap cara penanaman nilai-nilai agama, kerajinan belajar, kedisiplinan dakam kehidupan sehari-hari, dan pelibatan diri ke dalam kegiatan sosial.

Baca Juga:  Sayyidah Aisyah dan Keluasan Ilmunya #3

Ketika dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang kadang-kadang, bahkan sering kali melakukan ketidakpatuhan kepada orangtua yang mengobsesikan anaknya menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Namun kita ternyata belum bisa memberikan sesuatu membanggakan mereka. Yang kadang kala berdoa saja lupa.

Menangisi kebodohan yang terkait dengan guru atau dosen. Bahwa selama belajar tidak pernah fokus dan tidak memiliki komitmen tugas yang baik atau tidak mampu memanaj waktu dengan baik, sehingga waktu kuliah hampir habis dan terancam DO.

Waktu belajar dan kuliah tidak pernah belajar dengan rutin di malam hari. Akibatnya tidak pernah mereviu materi pelajaran atau perkuliahan. Demikian juga tidak pernah persiapan untuk pelajaran dan kuliah besuknya. Akibatnya waktu belajar kuliah, tidak sepenuhnya bisa mengikuti perkuliahan dengan efektif. Apapun kondisi guru dan atau dosen kita telah menjadikan kita berilmu. Namun sudah kita membalas jasa-jasanya.

Menangisi kebodohan yang terkait dengan guru agama/kiai. Bahwa selama belajar agama baik ketika sekolah sampai dengan kuliah belajar agamanya pas-pasan dan tidak pernah serius.

Belajar baca Al-Quran cukup khatam Iqra’ dan belajar ilmu agama juga pas-pasan. Tidak pernah belajar dengan pengayaan untuk menambah pengetahuan agama.

Jarang membaca Al Qur-An dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga praktek ibadahnya pas-pasan. Sungguh dalam beragama masih jauh dari seharusnya. Demikian juga sebagai santri telah digembleng dan selalu di doakan di malam hari oleh ustaz dan kiai sehingga menjadi seperti ini. Sejauh mana kita ingat akan jasa-jasanya yang tak ternilai.

Menangisi kebodohan yang terkait dengan teman. Bahwa selama belajar, kuliah dan bekerja kita sempat memiliki teman akrab. Namun kadang kala lupa bahwa jasa teman itu banyak baik selama belajar maupun bekerja.

Baca Juga:  Menjadi Mulia

Kita hidup ini dan telah meraih posisi sekarang seakan-akan hasil perjuangan sendiri. Padahal tanpa teman kita mungkin mengalami kesulitan dan kegagalan. Kini ketika teman seangkatan membikin reuni, kita dingin meresponsnya. Bahkan kadang terlintas malas ikut hadir, padahal indah sekali jika kita bisa berbagi pengalaman, pengetahuan dan lain-lain.

Menangisi kebodohan yang terkait dengan nikmat. Bahwa selama ini Allah swt telah melimpahkan nikmat hidup yang tiada terhingga. Dengan badan normal, sehat dan sudah berada pada posisi sekarang. Namun tidak sedikit di antara kita yang mengkufuri, sehingga kita sempat mengucap bahwa kita tidak atau belum punya apa-apa.

Padahal kita sudah menjalani karir dan hidup normal dan lancar serta mencatat beberapa prestasi kecil. Seandainya kita itu mensyukuri nikmat dari-Nya pasti akan ditambah terus. Semoga kita menjadi ahli bersyukur.

Akhirnya bahwa hidup yang sudah kita lalui, ada yang sesuai bahkan banyak yang tidak sesuai dengan impian, cita-cita, dan rencana hidup kita sejak kecil. Hal itu terjadi disebabkan dinamika sosial yang begitu cepat dan sering kali sulit prediksi.

Namun keteguhan hati dan kemampuan beradaptasi, perjalanan hidup dapat kita lalui, tanpa hanbatan yang berarti. Walaupun demikian ada berbagai kebodohan yang kita harus akui. Tanpa berlebihan jika kita yang memiliki sisa hidup ini perlu menangisi terhadap kebodohan yang kita lalui. Semoga selanjutnya kita bisa segera bangkit dan melanjutkan perbaikan diri untuk bekal menghadap panggilannya nanti dengan husnul khaatimah. Aamiin.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini