Perjalanan keilmuan Gus Dur, kiranya cukup menjadi bahan acuan mengingat Gus Dur telah melakukan perjalanan ilmiah yang cukup menarik dikarenakan sangat luasnya keingintahuan beliau terhadap suatu ilmu. Jika dilihat dari keilmuan beliau, hadis kiranya bukan pembahasan yang dapat dianggap remeh dan hanya sekedar lalu selama proses perjalanan ilmiah beliau.

Dalam pemikiran Gus Dur, seperti yang dapat dilihat dalam berbagai tulisan beliau, hadis menempati posisi penting dalam setiap tulisannya. Kandungan dari hadis-hadis yang telah beliau pelajari dan amalkan, menjadikan hadis seperti mendarah-daging dalam setiap pembahasan. Hanya saja, jika kita melacak hadis tersebut dalam bentuk teks, maka yang ditemukan hanyalah sebagian kecil dari tulisan beliau yang memuatnya.

Pelacakan hadis dalam pemikiran Gus Dur ini difokuskan pada buku beliau yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Buku ini merupakan kumpulan dari sekian banyak artikel yang telah beliau tulis kemudian dicetak dalam edisi lengkap berbentuk buku.

Dari buku di atas, jumlah pengutipan dan pembahasan hadis yang berbentuk teks kurang lebih ada sekitar 5 tema di antara 70-an tema yang ada. Adapun tema tersebut di antaranya: Islam: Pribadi dan Masyarakat; Islam, Gerakan ataukah Kultur?; Negara Islam, adakah Konsepnya?; Islam dan Kepemimpinan wanita; NU dan Negara Islam (2).

Dalam sub Islam: Pribadi dan Masyarakat, Gus Dur mencontohkan ungkapan populer yang sering salah difahami sebagai hadis. Yakni ungkapan, “mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) keimanan (hubbu al-wathan min al-iman). (Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006)

Beliau menjelaskan bahwa statemen ini sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah pesan kenabian (hadis), padahal berdasarkan penelitian hadis tidak pernah ada sumber hadis-hadis muktabar baik dari kitab hadis sembilan (Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majjah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muwaththa’ dan Sunan ad-Darimy) ataupun selain kitab-kitab tersebut. Dianggapnya statemen di atas sebagai sebuah hadis merupakan sebuah kesalahan metodologis yang tidak bisa dibenarkan oleh rambu-rambu ulumul hadis.

Baca Juga:  Rekonstruksi Nalar Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Pembahasan ini sebenarnya mengacu pada pemaknaan khitab individu maupun universal. Jadi, dari ungkapan tersebut masih tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu. Untuk itu, menuut beliau diperlukan penjelasan dengan menggunakan akal sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan secara bersamaan.

Selanjutnya masih pada bab yang sama, terdapat hadis “Uthlub al-ilma walau bi al-shin” artinya tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke tanah Tiongkok (Cina). Beliau menambahkan keterangan terkait hadis ini, “hadis dlaif ini didiriwayatkan oleh al-Uqaili dalam al-Dlu’afa, Baihaqi dalam Sya’bu al-Imam dan Ibnu Ady dalam al-Kami (lihat Jalaluddin Suyuti: Jami’ al-Shagir).

Selanjutnya pembahasan terkait standar minimal untuk menilai apakah seseorang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak, yang terdapat dalam bab Islam, Gerakan ataukah Kultur?. Kemudian beliau menyertakan hadis karena dirasa hadis ini cukup penting, yakni “idza wussida al-amru ila ghairi ahlihi” yang artinya kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat.

Dalam keterangannya, beliau menjelaskan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Ilm lewat jalur Abu Hurairah. Statemen Nabi SAW tersebut muncul karena dialog dan pertanyaan dari seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.

Pada pembahasan NU dan Negara Islam, Gus Dur mengungkapkan sebuah diktum, “barang siapa menyeruapai sesuatu kaum ia adalahh sebagian dari mereka (man tasyabbah bi qaumin fahuqa min hum)”. Kemudian dalam footnotenya beliau menjelaskan, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan Abi Daud dari Ibnu Umar dan juga Imam Ahmad dalam musnadnya.

Sedangkan Tirmidzi dalam bab al-Isti’dzan meriwayatkan dengan redaksi “Laisa minna man tasyabbaha bighairina bil yahud wala bi an-nashara” (bukan termasuk golonganku orang yang menyerupai sebuah komunitas selain kami, janganlah kalian berlaku seperti Yahudi dan Nasrani).

Baca Juga:  Kritikan Akan Membuat Semakin Terkenal; Belajar dari Al-Ghazali

Di akhir hadis ini Imam Tirmidzi memberikan komentar pendek tentang nilai hadis ini yang sebenarnya dlaif. Penyerupaan ini bukan lagi persoalan esensi Islam yang terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.

Islam dan Kepemimpinan Wanita, merupakan salah satu pembahasan yang cukup banyak porsi penjelasan hadisnya dibanding dengan bab-bab lainnya. Adapun sebagian penjelasan Gus Dur terkait hadis kepemimpinan wanita ini, jumhur Ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual dan apa adanya.

Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.

Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuang tidak sah menjadi khalifah (lihat al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz VIII, hal. 128). Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata, bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan sehingga tidak boleh menjadi kepala negara (Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t., Juz VII hal. 298).

Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan terkait bagaimana posisi hadis dalam pemikiran Gus Dur ini, yakni dalam pemikiran Gus Dur baik itu berupa tulisan maupun wacana yang ditafsirkan orang lain terhadap beliau, posisi hadis menempati peran penting setelah al-Quran, hadis dan kandungan dari hadis-hadis Rasul SAW telah mendarah daging sehingga jika hendak menelusuri teks hadis dalam setiap tulisannya maka yang ditemukan hanya satu banding sepuluh.

Akan tetapi jika dilakukan kajian mendalam terkait posisi hadis dalam pemikiran Gus Dur ini, maka akan banyak didapati dalam setiap celah tulisannya yang memang mengacu pada kandungan hadis yang telah difahami dan diamalkan beliau.

Neny Muthiatul Awwaliyah
Dosen IAIN Salatiga (Fakultas Usuluddin Adab dan Humaniora)

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini