Tafsir Pembebasan: Pemikiran Farid Esack Melawan Apartheid

Farid Esack lahir ke dunia pada tahun 1959 di sebuah kota miskin dan kumuh di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan. Esack adalah seorang cendekiawan yang bertemu dengan pemuda yang merepotkan dan tidak menyenangkan. Dia tinggal dengan pasangan ibunya dengan enam anak di Wynberg. Ayahnya meninggalkan keluarganya, yang membatasi Esack, bersama kerabat dan ibunya, untuk hidup dalam kemiskinan di Bonteheuwel, wilayah malang yang berfungsi bagi orang kulit hitam dan minoritas. Ibu Esack kemudian, pada saat itu, berperan sebagai ibu dan ayah yang harus bertahan hidup untuk enam anaknya yang masih kecil.

Gaji ibunya sebagai pekerja kecil bukanlah untuk membantu keluarga besar, yang memaksa Esack dan kerabatnya mencari tempat sampah untuk mencari sampah tambahan. Tak jarang mereka juga meminta keringanan dari yang dimasak. Bagaimanapun, Esack tidak menghentikan gerakan merenung. Di tengah kesulitan hidup, Esack terus berlatih tanpa henti bahkan tanpa sepatu dan buku yang sah. Kondisi yang mencengangkan ini sebenarnya harus ditambah dengan kejadian yang mengenaskan dan menghebohkan, yang menggores luka-luka keluarga Esack, karena mereka harus menyaksikan menjadi korban seksual.

Di tengah-tengah kesushan yang luar biasa, Esack memiliki kesempatan dan energi untuk mencicipi dan menyelesaikan pelatihan penting dan opsionalnya di Bonteheuwel, Afrika Selatan. Sekitar saat itu, dia mendapat pelatihan sehubungan dengan sekolah umum Kristen.[1]

Dari data yang berbeda, informasi menarik diperoleh di mana Esack sejak usia 9 tahun telah terlibat dengan latihan ketat yang serius. Dia dinamis dalam Jamaah Tabligh, sebuah asosiasi yang ketat dengan organisasi di seluruh dunia dan sebuah asosiasi di Pakistan. Dalam pergaulan inilah yang terkait dengan permulaan Islam (salaf), Esack menangkap pentingnya persaudaraan (persekutuan). Dia mengakui bahwa mentor gaib telah digantikan oleh hubungan keluarga terdekat antara individu dari Jamaah Tabligh. Sembilan tahun Esack berkonsentrasi pada filsafat dan Ulum Al-Quran di Pakistan, ia kembali ke Afrika Selatan pada tahun 1982.

Bersama tiga sahabat terdekatnya, Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari College of the Western Cape, Esack membentuk asosiasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi penyelenggara publiknya. Asosiasi ini merupakan anak perusahaan dari Unified Majority rule Front (UDF), yang didirikan untuk jaringan antaragama pada tahun 1983 untuk sistem pemisahan rasial yang disetujui secara politik. Perlindungan dari sistem segregasi rasial yang didukung secara politik mencapai puncaknya selama tahun 1980-an.

Sebagai bagian sentral dari UDF, The Call of Islam mengambil peran penting dalam mempersiapkan ketabahan antaragama dan antaragama untuk mendobrak bisnis seperti biasa. Di bawah perlindungan UDF, Yudaisme, Kristen dan Islam menunjuk oposisi setia terhadap semua jenis individu.[2]

Konteks Sosial Kehidupan Farid Esack di Afrika Selatan

Pengalaman yang dialami oleh keluarga Farid Esack merupakan gambaran miniatur dari keabadian individu Afrika Selatan secara keseluruhan karena perlakuan opresif dari sistem segregasi rasial yang direstui secara politik. Orang kulit putih yang seolah-olah membentuk 1/6 persen dari populasi habis-habisan Afrika Selatan menerima 2-pertiga dari gaji publik, sementara orang-orang bodoh yang hanya merupakan persen dari populasi absolut memperoleh apa adanya. Banyak individu membosankan menjadi “budak”, sementara orang kulit putih menemukan zona publik dan kelas pekerja. Perlakuan khusus terhadap orang kulit berwarna ini digabungkan dengan 2 strategi sistem pemisahan rasial yang didukung secara politik yang selanjutnya menghilangkan individu paling kabur dari ekonomi serta masalah dan peraturan pemerintah.

Pengalaman yang dialami oleh keluarga Farid Esack merupakan gambaran miniatur dari keabadian individu Afrika Selatan secara keseluruhan karena perlakuan opresif dari sistem segregasi rasial yang direstui secara politik. Orang kulit putih yang seolah-olah membentuk 1/6 persen dari populasi habis-habisan Afrika Selatan menerima 2-pertiga dari gaji publik, sementara orang-orang bodoh yang hanya merupakan persen dari populasi absolut memperoleh apa adanya. Banyak individu membosankan menjadi “budak”, sementara orang kulit putih menemukan zona publik dan kelas pekerja.

Perlakuan khusus terhadap orang kulit berwarna ini digabungkan dengan 2 strategi sistem pemisahan rasial yang didukung secara politik yang selanjutnya menghilangkan individu paling kabur dari ekonomi serta masalah dan peraturan pemerintah. Kedua strategi tersebut merupakan pelaksanaan dari kerangka trikameralisme yang menempatkan individu kulit putih sebagai produsen strategi. Trikameralisme adalah item mapan yang dibuat oleh Komite Resmi sistem pemisahan rasial yang disetujui secara politik yang memisahkan 3 parlemen berdasarkan warna kulit individu Afrika Selatan, khususnya kulit putih, kulit bermotif, dan cokelat.

Ketiga perkumpulan ini mengendalikan usaha mereka sendiri. Setiap korelasi dan kritik antara 3 jemaat ini diselesaikan oleh panitia resmi dengan bagian yang tidak konsisten.[3] Satu pendekatan lagi adalah pelaksanaan tindakan provinsi (tindakan zona tandan) yang membuat individu berkulit coklat dihilangkan dan diminimalkan di daerah yang sangat tidak produktif di Afrika Selatan.

Mereka menganggap bahwa mereka adalah “gelandangan” di kota mereka sendiri. Ini adalah kenyataan yang keterlaluan dan jahat yang terjadi ketika sistem segregasi rasial yang didukung secara politik masih berkuasa di Afrika Selatan. Larangan daftar hitam dunia dan penolakan negara-negara global dari sistem segregasi rasial yang didukung secara politik tidak menggoyahkannya.

Baca Juga:  Progresivitas NU (1): Pemikiran Islam di Nahdlatul Ulama

Di negara yang terkenal dengan kerangka segregasi rasial yang didukung secara politik, ada pemikiran yang sangat biasa tentang agama dengan berkembangnya Maulana Farid Esack dengan asosiasi The Call of Islam yang memiliki keinginan untuk mengakui Islam di Afrika Selatan. Metodologi Esack hampir indah saat menggambarkan kegigihan ibunya, yang dianiaya oleh tiga lapisan bantuan (tiga perlakuan buruk): pemisahan ras yang didukung secara politik, masyarakat yang dikendalikan manusia dan perusahaan bebas, tentu saja menjadi umat manusia yang luar biasa di Afrika Selatan, khususnya otoritas yang telah lama digali dari kerangka segregasi rasial yang disetujui secara politik. Setting ini dimanfaatkan sebagai tempat bagi Esack untuk memaknai filsafat agama sebagai pembicaraan orang-orang yang teraniaya.

Sulit untuk disangkal, situasi Esack dengan dukungannya yang menonjol dalam menyebarkan ide-ide keras yang umum di Afrika Selatan. , gagasan tegas yang dia mulai dengan lugas mengacu pada mata air utama pelajaran Islam, khususnya Al-Qur’an, yang semakin membuatnya relevan dengan dasar disiplin Esack. Selanjutnya, penalaran Esack sebenarnya bertemu dengan pengaturan pemikiran filosofis yang sangat besar yang dalam pengaturan Islam dikemukakan oleh Asghar dengan analisisnya yang dapat diverifikasi dan sosial.[4]

Pemikiran Farid Esack

Esack adalah tipe ulama yang luar biasa di dunia Islam dalam pergaulan luasnya, baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim, dipadu dengan ketekunannya dalam mencari dan menerapkan wawasannya, menjadikan struktur Esack menjadi catatan pemikiran dan sarana pelobi. semuanya. Ia juga seorang peneliti yang memiliki landasan blended learning, khususnya pembelajaran di Pakistan (Timur) dan Inggris (Barat), yang diharapkan dapat mengevaluasi dua alam semesta Barat dan Timur, sesuai asumsi sehingga ia mengubah dirinya menjadi seorang humanis. ilmiah dengan kemampuan keterampilan dan disiplin yang berbeda. informasi bahwa ia telah dikaitkan dengan sampai saat ini.

Kecenderungan menegaskan dalam ruang praksis liberatif menjadi pasti dalam model pemikirannya. Menarik diri dari kenyataan kehidupan sosial-politik yang meliputi dirinya, ia telah berhasil mengembangkan pertimbangan-pertimbangannya agar sesuai dengan setting yang diharapkan dengan keadaannya saat ini. Inilah yang dimiliki Farid Esack dalam kemampuannya yang relatif sedikit dimiliki oleh para dalang atau aktivis yang berbeda. Hingga, bersumber pada argumentasi tersebut, Dia setelah itu menyebut kalau model pengertian yang dia merupakan model“ Tafsir Liberatif”.

Sedangkan itu, menguasai tipologi pemikiran dia secara lebih komprehensif, wajib berangkat dari kenyataan sosiologis kehidupannya. Karena kemungkinan sebuah karya pemikiran, sebagaimana dididik oleh Karel A. Steenbrink, merupakan akibat lanjutan dari interaksi korespondensi dan jalannya artikulasi pencipta dengan iklim sosialnya. Artinya, pikiran atau informasi tidak dapat dipisahkan dari basis sosial adat dan kehadiran yang melahirkan motivasi atau informasi tersebut.

Mengingat informasi berkembang secara sosial (Socially Built). Dengan demikian, pertimbangannya tidak dapat terlihat seperti yang diharapkan dan sepenuhnya tanpa melihat rumah, memperhatikan dan mendominasi rangkaian pengalaman atau kebiasaan lama yang menyertainya. Sejak saat itu, sejarah sosial-politik dibangun ke dalam struktur total sebagai alasan untuk mendominasi kualitas penalarannya.

Sementara itu, pertimbangan Esack di bidang hermeneutika Al-Qur’an merupakan hasil dari perjuangan panjangnya dalam menjelajahi liang-liang realitas sosial politik di Afrika Selatan, yang dibalut dengan ujiannya di College of Brimingham, Inggris. Esack menempatkan hermeneutika secara menyeluruh dalam dua standar, yaitu hermeneutika hipotetis khusus dan hermeneutika filosofis. Ia tidak secara gamblang menunjukkan kecenderungan model hermeneutik namun secara umum ia menunjukkan wilayah perkembangannya dalam praksis liberatif.

Praksis liberatif merupakan ciri hermeneutika inventif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Sebuah hermeneutika mencoba melihat teks dan realitas dalam siklus proyeksi, namun juga di wilayah titik aktivitas kecenderungannya di lokal Habermasian. Ketika dia menyinggung Carl Braaten, dia perlu meringkas metodologinya dalam menempatkan dirinya secara sistematis dalam pengumpulan ide-ide hermeneutiknya, ialah gimana supaya suatu kata ataupun suatu realitas peristiwa dalam waktu serta budaya dulu sekali bisa dipahami serta jadi bermakna secara ekstensial dalam situasisaat ini. Atas perihal itu, dengan bermacam kecenderungan pemikiran dia dapatdisimpulkan kalau tipologi untuk” proyek besar” pemikiran Esack merupakan “Hermeneutika Alquran liberatif”.[5]

Ialah pemikiran hermeneutika Alquran yang memposisikan sentral pengertian kepada bacaan partikular (Research).  Sehingga, dia lewat penegatahuan hermeneutik Alquran mau menciptakan kembali“ arti baru” dalam konteks partikular sosial politik AfrikaSelatan. Lewat tata cara serta perspektifinilah Alquran bagi dia hendak benar benar kontekstual kontekstual serta fungsional untuk kepentingan umat manusia. Ialah Alquran sanggup menanggapi kebutuhan kenyataan warga kontemporer dalam perihal ini merupakan warga Afrika Selatan.

Penafsiran Keadilan Farid Esack

Kesetaraan dalam Al-Qur’an ditunjukkan oleh pengulangan yang berbeda di samping pemenuhan kualitas dan implikasi yang terkandung di dalamnya. Korespondensi dalam Al-Qur’an yang digambarkan sebagai sudut pandang yang tidak memihak pada segala sesuatu, diberikan dengan nilai yang berlawanan. Dalam apresiasi lain, Al-Qur’an mengkaji sebagai sesuatu yang dimiliki bersama sebagai hakv istimewa kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk itu dan juga menggarisbawahi apa itu keadilan ilahi.

Seluruh klarifikasi dibuat masuk akal oleh beberapa pakar dalam ukuran yang masuk akal. Bagaimanapun, berbeda dengan Esack, nilai-nilai kesetaraan didalam Qur’an tidak ditingkat percakapan yang diterapkan, karna lebih menguraikan tujuan yang berguna tentang tujuan akal sehatnya. Ekuitas bukanlah masalah yang dapat ditangani dengan adil, tetapi membutuhkan klarifikasi yang membingungkan dan menyeluruh.

Baca Juga:  Rekonstruksi Nalar Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Dalam ujian Islam, keadilan diubah menjadi komponen yang memainkan peran penting di antara berbagai penelitian. Ketabahan untuk memulai diskusi tentang kesetaraan penting sebagai sikap siap untuk memahami kerumitan kualitas di dalamnya. Kualitas-kualitas ini adalah kelebihan dari kualitas yang mendalam, kerangka organisasi negara, dan aktivitas publik.[6]

Penggambaran keadilan dalam Islam dimaknai oleh Fazlur Rahman. Dia menekankan bahwa membuat permintaan yang sederhana adalah tujuan utama dari pengungkapan Al-Qur’an. Dengan cara yang dapat diverifikasi untuk menangani pengulangan Al-qur’an. Yaitu QS. Al-Ma’idah [5]: 8 dan QS. An-Nisa’ [4]: ​​135, Klarifikasi Rahman memberdayakan kita untuk memahami benar-benar bagaimana Al-Qur’an memiliki sistem yang memahami isu-isu penting diKota Mekah di sekitar saat itu dan merencanakan jawabannya.

Keadilan adalah  pertarungan yang menawan, selain apa yang dikatakan Fazlur Rahman, Abdul Wafi dan Husein Muhammad juga menyampaikannya. Seperti  QS. Al-Hujurat [49]: 13, ia memahami bahwaanya bait ini membahas kesetaraan dalam maknanya sebagai keyakinan bahwa orang-orang pada umumnya setara dalam kualitas kemanusiaan mereka, dan bahwa tidak ada perkumpulan atau individu yang lazim hanya karena ras, prinsip penciptaan, atau atas dasar keturunan tertentu. Konsekuensi dari pemahaman ini mengarah pada semacam kesetaraan melalui pemberian hak kepada orang-orang yang berhak, baik itu hak atas pelatihan, hak untuk hidup, pilihan untuk menemukan bidang pekerjaan baru.[7]

Sebagian dari pertimbangan-pertimbangan di atas tertuang dalam gagasan-gagasan mendasar dan masuk akal dalam penggambarannya tentang pemerataan. Bagaimanapun, sejumlah besar pemikiran ini saat ini berada pada tingkat yang masuk akal atau hipotetis. Artinya, dia belum mengontak dan terjun ke isu-isu substansial di lapangan, khususnya bagaimana keadilan bisa dijalankan dalam pertarungan  premis dan praksis apa yang harus ditegaskan. Farid adalah seseorang yang telah melangkah sejauh itu.

Mengingat bagaimana menafsirkan Al-Qur’an, ia menekankan aspek fungsional sehingga kesetaraan diakui benar-benar selaku ekspresi Tuhan didalam kelompok masyarakat umum yang digambarkan dengan tidakadil sebab akibatnya tidak adanya penggambaran hipotetis seperti yang digambarkan sebelumnya. Dalam show of equity as the way to hermeneutics, Esack menambahkan pada penggambaran teknik, refleksi, dan etos untuk menyampaikan pandangan logis sebagai lawan dari penggambaran hipotetis tentang pentingnya kesetaraan dalam Al-Qur’an.

Equity as the way to hermeneutics memiliki pemahaman bahwa negara-negara pertempuran sosial-politik harus memiliki opsi untuk memberikan sudut pandang lain pada teks dengan kemungkinan kesetaraan dan keadilan. Kemudian lagi, ia mengakui bahwa dalam keadaan pengkhianatan, Al-Qur’an berkali-kali digunakan sebagai alat otentisitas filosofis untuk melakukan pemberontakan. Keinginan individu-individu Afrika Selatan terhadap ekuitas finansial seringkali mengarah pada perspektif tentang ekuitas didalam Al-qur’an. Ini memiliki saran untuk ketidakcukupan.

Yang membuat menarik dari Esack adalah pandangan dunia terjemahan dalam perspektif praksis yang sepenuhnya bermaksud memperkenalkan Al-qur’an dalam praksisnya  diperjuangan. Farid dengan dasar penganiayaan pada akhirnya memutuskan setiap pemahamannya tentang topik keadilan Al-Qur’an yaitu tentang keamanan orang yang teraniaya. Dia memastikan bahwa setiap percakapan yang diselidiki dalam Al-qur’an, termasuk terkait kesetaraan, diharuskan tercapai untuk fokus dan menjaga yang disalahgunakan.

1.Keadilan Sebagai Persamaan

Semua orang lahir dari kedua orang tua yang satu (satu elemen hidup) dan dengan demikian, semua orang adalah  setara.[8] Alasan klarifikasi ini tergantung QS. An-Nisa [4]: ​​1, 58, 135, QS. Al-Hujurat [49]: 13, QS. At-Taubah [9]: 60, QS. At-Takasur [102]: 1-4 seperti yang tertulis dalam struktur gagasan pemerataan didalam Al-qur’an bagian II. Pengulangan ini dianggap selaku bagian dari adanya adil yang berkaitan dengan permintaan kepada orang-orang untuk memiliki pilihan untuk bertindak adil selama ini. Hanya ketika masalah ekuitas muncul pada pilihan tertentu, metode yang adil konsistensi peraturan normal yang tidak membutuhkan keadilan dalam pilihan mereka.[9] Esack menggarisbawahi bahwa menjadi seorang pengamat Allah harus diperangi dengan ekuitas sendiri (Surat An-Nisa [4]: ​​135).

Manusia selalu siap untuk terus sendirian untuk memiliki pilihan untuk berpartisipasi, untuk membantu antar pribadi, antar agama, antar bangsa, antar individu untuk berbagi dan melindungi yang disalahgunakan. Pluralisme dalam QS. Al-Baqarah [2]: 62 pertanyaan untuk itu. kemampuan untuk mengalahkan ujian meniadakan kompleksitas sosial yang brutal dalam mencari penangungjawab yang telah dialami, dan lalu menangani sesuatu darinya.

  1. Keadilan sebagai Keseimbangan

Pendapat esack bahwasanya permintaan atau keseimbangan alam semesta adalah bukti kesetaraan dengan menekankan para penganutnya tentu harus menonjolkan hukum alam agar membawa kesetaraan bagi semua dan khususnya bagi yang disalahgunakan. Quraish Shihab, Ibn Katsir dan At-Tabari juga menekankan bahwa Al-Qur’an dalam Surah Ar-Rahman [55]: 7-8 masuk akal tentang bukti kesetaraan Allah dengan keseimbangan alam semesta serta keteraturan untuk  keadilan.

Kata farid dengan situasi dan latar belakang tertentu, keadilan yang tampaknya belum ditentukan dari alam semesta tidak hanya sampai pada titik itu, tetapi juga merupakan permintaan bagi orang-orang untuk memiliki pilihan untuk memahami dan bergerak secara efektif. bertanggung jawab atas permintaan itu. Bagian-bagian yang membahas tentang keseimbangan alam semesta ialah  perintah Allah  bagi orang-orang untuk bertindak keadilan sehubungan dengan tanggung jawab kepada-Nya dari satu perspektif, dan peraturan yang bekerja yang diketahui umat manusia di sisi lainnya.

  1. Keadilan sebagai Pemberian Hak atas yang Berhak

Segmen ini terlacak dalam penggambaran merelasikan sosialnya didalam buku Qur’an a Client’s Aide. Sebelumnyaa, sistem ilustratif tentang  membahas premis yang membentuk ekuitas semacam ini. Itu terletak pada hak istimewa dan orang yang luar biasa dari orang-orang. Benar berarti produk dari tindakan yang telah selesai. Sementara orang tertentu dari manusia adalah penghargaannya untuk setiap pertunjukan yang telah diselesaikan, akibatnya, hal itu harus diperjuangkan untuk menjaga kesetaraan bagi setiap orang dalam masyarakat.180 Sarjana hukum Islam juga merencanakan empat kebebasan umum dasar: hak untuk hidup (Surat Al-Ma’idah: 32); hak-hak yang tegas (QS. Al-Baqarah: 256); opsi untuk mengklaim properti (terkait dengan ekuitas keuangan dan zakat); dan hak atas rasa bangga farid mengutarakan bahwa dalam hubungan persahabatan ada hak istimewa di antara orang-orang, menjadi kebebasan khusus yang harus dipenuhi dan dipertahankan oleh setiap orang.

Baca Juga:  Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Khalifah Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid (1)

Terlepas dari kebebasan individual, Al-qur’an juga menekankan bahwasanya ada ihsan didalam hubungan ini. Ihsan itu  kebaikan yang melewati komitmen. QS. Al-Baqarah [2]: 179 menekankan  bahwasanya kamu tidak dilanggar (disakiti) dan tidak disakiti (disakiti). Pengulangan ini adalah penjelasan langsung yang masuk akal bahwa kebebasan orang lain tidak boleh dilanggar dan merupakan komitmen bagi umat Islam untuk menjaga hak istimewa mereka agar mereka tetap terjaga dan tidak malu.

Dari gagasan ini, farid mengutarakan bahwasanya semua latihan persahabatan, misalnya, kepercayaan bahwa administrasi, pengaturan keuangan, organisasi pembuktian tanpa akhir di pengadilan, dan lainnya akan terjadi dengan baik.[10]

  1. Keadilan Ilahi

Jenis terakhir adalah ekuitas surgawi. Keadilan Ilahi adalah sunnatullah. Hukum alam yang berarti mengangkat gagasan tentang  keadilanya Tuhan. Seseorang ialah hewan liar yang mempunyai  kewajiban terkait besar dan buruknya pada Tuhan mereka yang Maha Esa dan pada umat manusia.

Seorang pemikir dari Afrika Selatan yaitu Farid Essack yang tumbuh di lingkungan yang keras, sehingga dia bersemangat untuk membantu agama Allah karena dia percaya bahwa Allah akan membantunya. Salah satu bentuk pendampingan adalah dengan menginisiasi penafsiran yang membebaskan yang menggunakan hermeneutika sebagai alat untuk memahaminya menurut Al-Qur’an sebagai hudan lin nas dan sholih li kulli Zaman wa Makan.

Kecenderungannya yang sangat menekankan pada wilayah praksis-liberatif menjadi karakteristik tersendiri pada model pemikirannya. Berangkat dari realitas kehidupan sosial-politik yang mengitarinya, Esack berhasil mengkonstruk pemikirannya sehingga sesuai dengan konteks yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Inilah kelebihan seorang Farid Esack yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir maupun aktivis lainnya.

Maka, berdasarkan argumentasi tersebut, Esack kemudian menyebut bahwa model penafsiran yang ia usung adalah model “tafsir liberatif” Satu lagi manfaat Esack adalah pandangan dunia dalam perspektif praksis dengan memperkenalkan Al-Qur’an dalam praksis pertempurannya. Esack dengan dasar memutuskan untuk memilih setiap ujian tentang keadilan Al-Qur’an adalah tentang jaminan orang-orang yang teraniaya. Dia mengatakan bahwa setiap percakapan yang diselidiki dalam Al-Qur’an, termasuk tentang kesetaraan, juga harus mencakup menjaga yang dianiaya. []

Referensi:

Wahono Nitiprawiro, Moh. Sholeh Isre. 2000.Teologi pembebasan: sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS).

Wijaya,Aksin. 2009. Arah Baru Ulumul Qur’an Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Esack,Farid. 1997.Quran liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, (London: One World Oxford)

Esack,Farid. 2000. Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung Budiman.. (Bandung: Mizan)

Farid Esack, The Qur’an a User’s Guide (England: Oneworld, 2005

Engineer,Asghar Ali. 2000.  Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), terutama bab I, II dan III.

Wahid, M. Abduh. Tafsir LiberatifFarid Essack. Tafsere Volume 4 Nomor 2, 2016

Taufik, Muhammad. 2013 . “Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan”, Mukaddimah¸Vol. 19,

No. 1,.

Rahman, Fazlur. 2017. Tema-Tema Pokok dalam Al-Qur’an (Bandung: Mizan)

Wahid, M. Abduh. 2016.Tafsir LiberatifFarid Essack. Tafsere Volume 4 Nomor 2.

Mustamin, Kamaruddin, and Basri Basri. 2020. “Epistemologi Penafsiran Farid Esack terhadap Ayat-Ayat Pembebasan..” Jurnal Ilmiah AL-Jauhari: Jurnal Studi Islam Dan Interdisipliner.

[1] Aksin Wijaya, Arah Baru Ulumul Qur’an Pustaka Pelajar Yogyakarta 2009), h. 195-197

[2] Farid Esack, Quran liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, (London: One World Oxford, 1997), h. 36 dan 47

[3] Ibid

[4] Lihat buku Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), terutama bab I, II dan III.

[5] Wahid, M. Abduh. Tafsir LiberatifFarid Essack. Tafsere Volume 4 Nomor 2, 2016,  hlm 6-7

[6] Muhammad Taufik, “Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan”, Mukaddimah¸Vol. 19,

No. 1, 2013.

[7] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok dalam Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2017) hlm. 54-55

[8] Farid Esack, The Qur’an a User’s Guide (England: Oneworld, 2005) hlm. 177.

[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 152

[10] Farid Esack, The Qur’an a User’s Guide, hlm. 179

Ilham Romadhon
Mahasiswa Universitas islam Negeri KH. Abdurahman Wahid (UIN Pekalongan)

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini