Jalan Terjal Dakwah Imam Syafi'i di Mesir

Mesir merupakan salah satu kota yang kaya akan sumber ilmu pengetahuan. Di tempat inilah Imam Syafi’i menimba ilmu hingga ia menjadi ulama besar. Di Mesir ia berguru pada salah seorang ulama terkemuka bernama Al-Laits ibn Sa’ad, sahabat Imam Malik.

Namun, dalam mu’jam al-Adibba’ karangan Yaqut Al-Himawi disebutkan bahwa alasan Imam Syafi’i ke Mesir tidak semata-mata untuk menuntut ilmu, tetapi karena adanya Abbas ibn Abdullah ibn Abbas ibn Musa ibn Abdullah ibn Abbas. Beliau merupakan gubernur yang juga memiliki nasab yang bersambung ke Rasulullah SAW. bisa dikatakan beliau termasuk ahlul bait, sehingga masih memiliki tali kekerabatan dengan Imam Syafi’i.

Pada mulanya, kedatangan Imam Syafi’i ke Mesir tidak begitu dihiraukan oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak ada seorang pun yang berkumpul dengannya untuk menuntut ilmu. Hingga para sahabat memerintahkannya untuk berbicara di depan umum, entah itu tentang syair, fiqih dan yang lainnya, agar orang-orang mengetahui betapa hebatnya keilmuan beliau. Namun siapa sangka, beliau menolak saran dari para sahabat dengan sangat bijak, berikut perkataannya:

أأنثر درا بين سارحة البهم         #    و أنظم منثورا لراعية الغنم

لعمري لئن ضيعت في شر بلدة    #    فلست مضيعا فيهم غرر الكلم

لئن سهل الله العزيز بلطفه         #    و صادفت أهلا للعلوم و للحكم

بثثت مفيدا واستفدت ودادهم    #     و إلا فمكنون لدي و مكتتم

و من منح الجهال علما أضاعه    #    و من منع المستوجبين

Apakah aku akan menebarkan mutiara di antara kumpulan binatang

Atau menata mutiara tersebut untuk para penggembala kambing?

Jika aku terabaikan di negeri yang paling buruk

Aku tidak akan menganggap diriku terabaikan di antara mereka hanya karena ucapan mereka

Jika Allah yang Maha Perkasa memudahkan aku dengan kelembutan-Nya

Dan aku bertemu dengan ahli ilmu dan hikmah,

Niscaya akan kusebarkan sesuatu yang bermanfaat dan akan kuraih cinta mereka

Jika tidak maka ilmu itu akan tetap kusimpan dalam diriku

Orang yang memberikan ilmunya kepada orang-orang yang bodoh, berarti ia telah menyia-nyiakannya

Dan orang yang menahan ilmunya dari orang-orang yang layak menerimanya, berarti ia telah zalim

Dari perkataan beliau, dapat ditarik kesimpulan bahwa meletakkan segala sesuatu harus sesuai dengan tempatnya, terutama dalam hal ilmu. Ilmu hendaknya disebarkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mengapa demikian? Karena jika menyebarkan ilmu kepada orang-orang ‘bodoh’ yang enggan menerima ilmu, sama saja dengan menyia-nyiakan ilmu itu sendiri.

Baca Juga:  Keilmuan Imam Syafi’i yang Diakui Para Ulama

Lambat-laun kabar mengenai Imam Syafi’i yang merupakan keturunan Rasulullah SAW. mulai menyebar di Mesir. Pada saat itu pula Imam Syafi’i kian mendapat tempat di kalangan masyarakat. Setelah itu, beliau mulai menyebarkan ilmu ushul fikih dan fikihnya, serta menyimpulkan hukum dan diperkuatnya dengan dalil-dalil. Sadar akan kedalaman ilmu beliau, banyak orang dari berbagai negara berbondong-bondong mendatanginya untuk menimba ilmu.

Lebih dari itu, Imam Syafi’i tidak hanya mahir di bidang fikih saja, ia juga mahir di bidang ilmu lainnya, seperti hadis, syair, sejarah dan kedokteran. Bisa dikatakan bahwa beliau adalah seorang dengan keilmuan yang komplit. Tak heran jika nama Imam Syafi’i semakin hari semakin masyhur, baik di kalangan ulama maupun masyarakat awam. Halaqahnya pun ramai dikunjungi orang dari berbagai disiplin ilmu.

Selama di Mesir, Imam Syafi’i merombak kembali fatwa-fatwa yang telah dibuat sebelumnya. Hal itu dikarenakan Imam Syafi’i menemukan kebiasaan dan adat-istiadat baru yang mengharuskannya untuk menarik kembali beberapa fatwanya dan mengkaji ulang. Inilah yang kemudian dikenal sebagai qaul qadim (perkataan lama) dan qaul jadid (perkataan baru).

Qaul qadim ialah fatwa-fatwa Imam Syafi’i yang ditulis dalam kitab ar-Risalah ketika ia berada di Hijaz. Sedangkan, qaul jadid ialah kumpulan fatwa Imam Syafi’i dalam bidang fikih yang dibukukan dalam satu kitab bernama al-Umm. Beliau menghimpun seluruh karyanya dalam bidang fikih dalam kitab tersebut selama di Mesir. Wallahu a’lam bishowab. []

Dinukil dari buku Dr. Tariq Suwaidan. Biografi Imam Syafi’i. Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid. h. 182-186.

Astri Liyana Nurmala Sari
Santri Pondok Pesantren Darun Nun

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama