Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 221: Nikah Beda Agama

Manusia secara kodrati memang selalu tertarik dengan manusia lainnya. Bahkan seringkali kita dengar bahwa Allah menciptakan segala hal di dunia ini untuk saling berpasang-pasangan, tak terkecuali manusia. Jatuh cinta seperti yang kebannyakan penyair katakan, tidak mengenal tempat, rupa, ras dan agama. Tetapi tidak dengan memilih pasangan hidup, dalam jenjang pernikahan.

Dalam ajaran Islam, menikah merupakan salah satu ikhtiar manusia untuk memenuhi kodratnya sebagai makhluk yang lemah di hadapan Sang Khalik yang Maha Ahad dan Ash-Shamad. Ada misi kemanusiaan yang besar di dalam pernikahan yang sering dilupakan oleh manusia itu sendiri. Selain menyatukan dua insan yang saling jatuh cinta, bagi Islam pernikahan adalah modal awal dalam pembangunan peradaban.

Tentu dalam membangun peradaban ini, umat muslim harus memiliki visi dan misi yang berorientasi ke masa depan dibandingkan di masa lalu atau sekarang. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad, kriteria untuk memilih pasangan hidup tidak boleh sembarangan. Kita boleh menikahi seseorang karena rupanya, hartanya dan keturunannya, tetapi yang paling utama adalah karena agamanya. Hal ini terkait dengan visi Nabi Muhammad yang menginginkan kelestarian ajaran agama Islam melalui keluarga muslim yang menikah.

Kemudian bagaimana hukum umat muslim yang menikahi pasangannya bukan karena agamanya? Tetapi disebabkan cintanya kepada pasangannya, meskipun mereka berbeda agama. Allah telah menjelaskan hal tersebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Baca Juga:  Penafsiran Al-Qur’an Terhadap Kasus Pembunuhan Seorang Ibu yang Dilakukan Oleh Anak Kandungnya Sendiri

Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (QS.Al-Baqarah 2: 221).

Dalam ayat di atas secara eksplisit Allah melarang umat muslim untuk menikahi wanita musyrik (beda agama) karena cenderung membawa mereka kepada jalan menuju neraka. Bahkan Allah memberikan perbandingan bahwa seorang budak yang beragama Islam jauh lebih baik untuk dinikahi meskipun wanita musyrik terlihat lebih menarik hati muslim.

Kalangan Islam liberal dalam menafsirkan ayat di atas tidak demikian. Hal ini terkait dengan asbab an-nuzul ayat di atas. Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim dan Al-Wahidi dari Muqatil, terkait dengan Ibnu Abi Murstad al-Ghawawi yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menikahi Anaq (seoranng wanita jahiliyah), yang kemudian Nabi secara tegas melarang hal tersebut karena Anaq adalah seorang wanita musyrik.

Menurut kalangan Islam Liberal dalam buku “Fikih Lintas Agama (2001)” bahwa pernikahan tersebut dilarang oleh Nabi karena waktu itu umat Islam masih minoritas dan keimanan umat muslim pada waktu itu masih lemah, sehingga ditakutkan ketika terjadi pernikahan beda agama maka umat Islam akan cenderung lemah dan tidak solid dalam ukhuwah islammiyah-nya. Sehingga menurut mereka larangan tersebut hanyalah bersifat temporer atau terbatas ruang dan waktu itu saja, dipertegas dengan riwayat Hudzaifah  bin Al-Yaman yang dimaksud “wanita musyrik” dalam ayat tersebut adalah wanita dari kalangan Majusi saja,  sehingga di zaman modern yang mana umat Islam telah kuat dan tidak ada lagi “penyembah berahala dan api“  seperti zaman itu sehingga larangan tersebut tidak berlaku.

Baca Juga:  Warisan Beda Agama dalam Nalar Ushul Fiqh

Tidak demikian dengan pandangan al-Qurtubi, Imam Asy-Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Auza’i Rasyid Ridha dan Maraghi. Yang dimaksud dengan wanita musryik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah wanita yang beragama selain Islam, baik kalangan penyembah berhala, Majusi, Nasrani maupun Yahudi. Hujjah yang diterangkan oleh Al-Qurtubi dalam ayat 221 di atas adalah kata “اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ“ mereka mengajak ke neraka adalah hal terpenting dalam menetapkan hukum “haram” menikah beda agama.

Terkait dengan maksud makna “wanita musryik” di atas Ath-Thabari menjelaskan beberapa tafsir ulama yang menyatakan bahwa ayat di atas adalah dalil pengharaman bagi setiap muslim secara menyeluruh untuk menikahi wanita beda agama, kecuali Ahlu kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi petunjuk (berbeda dengan wanita musyrik Arab Jahiliyah). Hal ini terkait dengan adanya ayat yang menasakh ayat tersebut. Tetapi para jumhur ulama sepakat bahwa kriteria ahlu kitab yang dimaksud oleh Ath-Thabari di atas saat ini sudah tidak ada lagi.

Sependapat dengan pendapat di atas, Al-Jashash mengutip pendapat Ibnu Umar yang melarang untuk menikahi wanita beda agama karena terkait akidah merupakan hal yang paling utama dalam membangun sebuah keluarga. Selain itu kekhawatiran beberapa ulama adalah adanya ketidakharmonisan dalam keluarga nikah beda agama yang disebabkan oleh perbedaan akidah dan Syariah dalam membina rumah tangga, yang pastinya akan mempersulit diri mereka sendiri ke depannya. []

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum