Sudah seharusnya kita mulai perhatian dengan ilmu yang ber-genre “Logika” karena apa coba? Ya karena ‘kecakapan seseorang ditinjau dari situ’. Saya sendiri mulai cenderung dengan hal-hal sejenis, dipungkiri atau tidak, ilmu-ilmu tersebut memang mengalami kembang-kempis dalam perjalan menuntut ilmuku.
Dari situ, aku mencoba menyodorkan sebuah teori yang nantinya berkaitan dengan ‘Hoaks’ tapi sebelumnya apa sih Hoaks itu sendiri? Dan apa yang akan aku kaitkan dengan Hoaks itu?.
Sederhananya Hoaks itu “Informasi bohong” dan di KBBI juga mengatakan demikian, bisa dibilang Hoaks itu antitesisnya ‘Fakta’ atau relaitas yang nyata dan benar.
Sedangkan teori yang coba aku kaitkan adalah “Definisi Qodiyah” -istilah nahwunya adalah ‘Kalam Tam Khobary- yaitu
قول يحتمل الصدق والكذب لذاته.
Simpel dan jelas, berarti perkatan -tentunya yang masuk di Tam Khobary- yang mengandung kebenaran dan kebohongan karena esensi perkataan itu sendiri -tanpa meninjau subjektivitas dari قول tadi. Karena defenisinya demikian maka Hoaks secara otomatis masuk dalam semua perkataan (dalam tanda kutip informasi ) yang setiap hari akan kita dengar.
Jadi adanya Hoaks itu diamini oleh undang-undang logika itu sendiri, maka siapapun harusnya lebih arif -baca Bijak bestari- dalam menyikapi dunia ini, tak usah risau dan ‘kagetan‘ toh apapun yang kita terima selama ini adalah antara dua kemungkinan tadi, bisa bohong dan juga bisa salah. Makanya dinamakan ‘Qodiyyah’ yang artinya “menghukumi” agar sesuatu itu mengandung penghukuman atas benarnya atau salahnya.
Sebenarnya aku juga punya pemikiran sendiri yaitu ingin menambahkan diksi ‘أفعال ‘ di devinisi tadi, menjadi قول وفعل يحتمل الصدق والكذب لذاته. Karena pada hakekatnya perkataan dan perbuatan itu sama saja, sama-sama produk manusia yang di dalamnya mengandung pembenaran dan kebohongan, mungkin jika berupa ‘فعل ‘ dibahasakanya ‘ benar dan bohong atau kepura-puraan ‘. Maka saya kira -kalo boleh- untuk memasukan فعل di situ sah-sah saja, sejauh perbuatan itu dilakukan oleh manusia biasa. Bisa dikatan eksistensi dari pada قول dan فعل tadi mendahului esensinya, artinya kita hanya bisa tau benar dan salah jika sudah melihat kenyatanya, ini senada dengan pemikiran J.P Sastre, filsuf eksistensialisme yang mangatakan “Eksistensi mendahului Esensi”.
Nah sekarang pertanyaanya, bagaimana memastikan kabar atau perbuatan itu benar atau salah? Ya dengan fakta di lapanganya, semisal aku membuat satu informasi bahwa telah di buka pendaftaran beasiswa Al azhar ternyata setelah dicek ke petugasnya ternyata belum dibuka, maka secara otomatis kabar itu bohong. Jadi, selama kita belum tau fakta sebenarnya, maka selama itu pula sebuah informasi masih akan di bayang-bayangi dua kemungkinan, bisa salah dan juga bisa benar.
Saya kira lewat pendekatan teori-teori yang ada dalam ilmu logika ini, bisa menjadikan seseorang -tentunya menambah kuatnya iman- menjadi lebih santai dan bijak pastinya. Dan tak terlalu berambisi nyatanya apa yang kita ucap dan perbuat nantinya hanya akan di nilai orang lain benar-salahnya. Jika sesuai dengan norma pada umumnya maka kita akan dianggap benar namun jika tidak maka sebaliknya. Ini semua menunjukan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu tersebut tapi bukan berarti menafikan ilmu yang lain, yang jelas belajar dan belajar adalah yang lebih penting. [RZ]