mengajar ngaji

Hari ibu, selalu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Perayaan hari yang tidak hanya sekedar ucapan “selamat hari ibu”, dengan kisah yang begitu mengharukan, ataupun yang lainnya. Lebih dri itu, banyak sekali kisah perjuangan yang patut kita teladani, apresiasi dengan berbagai makna.

Saya dibesarkan menjadi perempuan Madura, dengan pendidikan agama yang begitu kental. Sejak kecil, ibu dan bapak memasukkan aku ke madrasah, pengajarnya kiai kampung, langgar yang aku tempati terbuat dari  bambu, kalau bahasa Maduranya disebut “ Tabing”.

Disana saya belajar alif, ba’, ta’, hingga belajar rukun iman, dan rukun Islam. Biasanya yang mengajar bukan hanya kiai. Bunyai juga mengambil peran untuk mengajari santri perempuan. Biasanya bu nyai mengajari saya dan teman-teman di malam hari. Sebab jika siang hari, bunyai masih sibuk dengan urusan dapur, sibuk melayani tamu-tamu, kadang juga mempersiapkan makanan tamu kiai yang datang, kadangpula dibantu oleh santri perempuan untuk menyiapkan itu.

Tapi bunyai memang memiliki peran luar biasa terhadap tirakat kiai, selain membantu mengajar para santri perempuan, beliau juga dikenal akrab dengan masyarakat. Tidak heran, ibu-ibu kampung (termasuk ibu saya) selalu meminta saran dari bunyai, mulai dari masalah dapur, masalah haidh, hingga masalah pendidikan anak. Ibu-ibu di kampung saya merasa sungkan untuk curhat masalah dapur (red:pribadi) kepada kiai.  Akhirnya bunyai-lah yang mengambil peran itu.

Pernah suatu ketika ada ibu-ibu bidan datang ke desa kami, pada waktu mereka (Red:ibu bidan) melakukan sosialisasi penggunaan KB. Kata bu bidan, KB itu sangat disarankan oleh pemerintah untuk memberikan jeda kepada ibu perihal kehamilan. Dan penggunaan KB bisa menguransi resiko kematian terhada ibu. Seluruh ibu kampung dikumpulkan di musholla bersama bunyai. Kata mereka, ini produk aneh yang diberikan oleh pemerintah. “ masa iya pemerintah ngurusin rumah tangga rakyatnya” timpal Bu Marlinah yang barusaja datang dengan menggunakan topi sawahnya.

“ bennyak anak bennyak rejekkeh bu (banyak anak banyak rezeki bu)” ucap Bu Mina.

“ Manabi mateh ebektona rembi’ bu, mateh syahid dhabunah mak kaeh ( apabila meninggal; waktu melahirkan, akan mati syahid bu kata kiai)” Bu Mina menambahkan.

Akhirnya, bu-ibu bidan kelimpungan untuk menjelaskan kepada mereka perihal penggunaan KB. Bunyai yang sedari tadi diam, kemudian mengajak bu bidan untuk berbicara. Sedangkan bu-ibu kampung masih berkumpul di musholla. Akhirnya, bu bidan pamit dengan alasan ada tugas lain dari puskesmas. Lalu bunyai datang kembali berkumpul bersama bu-ibu kampung untuk membahas KB.

“ kadi ponapah nyih, tak haram enggi manabi ngangguy KB (gimana nyai, apakah tidak haram menggunakan KB)” tanya Bu Saudah kepada nyai.

Sedikit cerita, masyarakat Madura paling takut dengan haram dan tidak. Makna hitam putih melekat dalam diri untuk selalu berhati-hati melakukan sesuatu. Dalam hal ini, bunyai ataupun kiai memiliki peran penting terhadap perilaku masyarakat.  Sebab keduanya menduduki stratifikasi sosial teratas dalam lingkup masyarakat Madura.

Akhirnya, untuk persoalan KB, bunyai menyelesaikan secara musyawwarah dengan bu-ibu kampung, bunyai memperbolehkan bu-ibu untuk menggunakan KB semaunya saja. Jika ada yang mau silahkan, jika tidak juga tidak apa apa. Bu-ibu kampung juga menerima saran bunyai dengan begitu antusias. Mereka yang tidak memiliki kemampuan di bidang keagamaan selalu menuruti apa kata bunyai dalam setiap duduk perkara yang di musyawwarahkan. Kita lihat peran bunyai yang begitu luar biasa hadir di tengah-tengah masyarakat Madura, khususnya kepada ibu-ibu.

Kalau aku pinjam perspektif Emil Durkheim, nyai merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki solidaritas organik. Solidaritas organik ini pada perempuan pedesaan terlah berlangsung berabad-abad. Solidaritas ini tumbuh sebagai upaya untuk menambah pengetahuan kegamaan, sehingga dalam beberapa acara ritual dan solidaritas peremuan dikepedepankan pengajaran-pengajaran keadamaan melalui pengajian ataupun morok.

Kita bisa lihat cara nyai memberikan edukasi kepada bu-ibu kampung, atau santri perempuan yang mengaji. Ia memiliki cara berbeda dengan ustadz ataupun kiai. Sebab pendekatan yang dilakukan sangat menyentuh sekali dengan kehidupan perempuan. Dan hanya bunyailah yang bisa masuk dan menjadi bagian dari perempuan desa.

Apalagi ketika pergerakan nyai dan bu-ibu kampung dalam membentuk kebiasaan sosial keagamaan. Seperti koloman, mengaji barzanji, pengajian, ataupun yang lain. Nyai sebagai kekuatan organizer dalam kegiatan bu-ibu kampung di Madura.

*Selamat Hari Ibu untuk Perempuan” (IZ)

 

Muallifa
Mahasiswi IAIN Madura, penulis buku “ Mahasiswa Baper No! Produktif Yes!”

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini