Musafir Ilmu di Masa Pandemi

“Tidak ada yang lebih utama setelah salat wajib daripada menuntut ilmu.” (Imam Syafi’i)

Sejak covid-19 masuk ke  Indonesia pada 2 Maret 2020 dan dilanjutkan pengumuman presiden Joko Widodo pada 16 Mei 2020 tentang belajar dari rumah, wajah pendidikan Indonesia berubah total. Pasalnya, belajar yang notabene dilakukan di sekolah bertransformasi dilakukan dari rumah atau belajar jarak jauh. Kebijakan ini diambil dengan tujuan untuk memutus mata rantai Covid yang sudah berstatus pandemi.

Pada mulanya, kebijakan belajar dari rumah menimbulkan permasalahan yang tidak sederhana. Banyak keluhan muncul dari siswa bahkan dari orangtua siswa, dari mulai masalah kuota, jaringan, hingga materi pelajaran yang cenderung tidak tersampaikan dan terserap secara efektif. Keluhan ini menjadi seolah menjadi “masalah nasional” bagi dunia pendidikan.

Menghadapi situasi demikian, laku adaptif menjadi langkah logis yang dapat diambil dalam menyikapi wajah baru pendidikan Indonesia saat ini. Pada awalnya mungkin terjadi semacam “kegagapan”, tetapi seiring kebiasaan dan berjalannya waktu, belajar jarak jauh yang semula dianggap “petaka”, tentu akan berubah menjadi sesuatu yang normal. Belajar dapat dilakukan dengan baik.

Jika menengok sejarah, hambatan atau keterbatasan dalam menuntut ilmu bukanlah kisah baru. Di dunia Islam klasik, ulama-ulama yang sekarang namanya abadi juga mengalami hambatan dan cobaan dalam menuntut ilmu. Misalnya al-Bukhari. Beliau adalah potret pejuang ilmu yang menarik untuk diteladani. Pasalnya, beliau adalah sosok tangguh yang tidak takluk pada batu sandungan.

Al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, pada 810 M. Sejarah telah mencatat nama beliau sebagai ahli hadis pilih tanding. Tidak kurang dari 600 ribu hadis berhasil beliau kumpulkan, dan 7000 hadis di antaranya masuk dalam kitab Sahih Bukhari yang menjadi salah satu pedoman umat Islam seantero dunia.

Baca Juga:  Pola Asuh Santri Generasi Z
Kembara Ilmu Ulama Klasik

Menyusun sebuah “masterpiece”, terutama kitab hadis,  tentu bukanlah hal yang mudah. Al-Bukhari harus menguras tenaga dan pikiran, melakukan pengembaraan puluhan tahun, demi melakukan proses pengumpulan hadis. Hadis yang dikumpulkan itu, tidak diterima begitu saja setelah menerima dari periwayat pertama. Akan tetapi al-Bukhari harus melalukan proses verifikasi (takhrij) setiap hadis tersebut kepada orang-orang yang dianggap kredibel. Hal itu dilakukan untuk menjaga orisinalitas sanad.

Pengembaraan yang dilakukan al-Bukhari dalam proses mengumpulkan hadis tersebut membuat al-Bukhari harus melipat batas geografis. Beliau membelah Mesir hingga Khurasan dalam perjalanan panjang yang spektakuler. Al-Bukhari adalah salah satu dari pengembara ilmu terbaik yang mematahkan batas-batas ketidakmungkinan.

Selain al-Bukhari, khazanah literatur Islam juga telah mengabadikan ulama-ulama Islam yang “gandrung” akan ilmu. Sebut saja al-Ghazali, hujjatul Islam pengarang kitab Ihya’ Ulumiddin. Kitab ini begitu populer di dunia Islam, bahkan menjadi “kitab wajib” di kalangan pesantren. Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan (sekarang Iran) pada 450 H. Sedari kecil al-Ghazali menanggung hidup sebagai yatim. Praktis, al-Ghazali hidup pas-pasan bahkan cenderung kekurangan. Al-Ghazali bahkan pernah mengaku motivasi ke sekolah lantaran mendapat makanan.

Tetapi al-Ghazali memiliki semangat belajar sangat tinggi. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan luar biasa. Keterbatasan tidak lantas membuat dia berhenti belajar. Dia menjadi pengembara ilmu dari satu kota ke kota lain, serta menguasai berbagai disiplin ilmu dan menjadi ahli dalam ilmu-ilmu tersebut.

Salah satu jejak intelektualitas al-Ghazali yang memukau adalah sebuah fakta bahwa  sebelum menjadi sufi, beliau adalah seorang filosof. Beliau menulis kitab Tahafut al-Falasifa, sebuah kitab “serangan” atas pemikiran filsafat yang dianggap membahayakan teologi Islam.

Musafir Ilmu

Berkaca dari para pengembara ilmu terdahulu, menuntut ilmu membutuhkan perjuangan dan ketekunan. Hambatan pasti dan selalu ada, tetapi bukan menjadi alasan untuk berhenti belajar. Imam Syafi’i pernah berkata, “jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan

Baca Juga:  Gus Sholah; Sang Insinyur yang Kembali ke Pesantren

Ungkapan Imam Syafi’i tersebut sangat terkenal dan masih relevan di tengah situasi dunia pendidikan Indonesia yang dikepung pandemi seperti sat ini.

Pandemi di satu sisi memang “mengekang” kita agar tidak ke sekolah atau menghadiri seminar dan kajian-kajian secara tatap muka, tetapi di sisi lain situasi pandemi menawarkan media belajar dalam format baru. Yaitu mulai meriahnya  media belajar bertajuk online seperti zoominar dan lainnya. Seminar yang sebelumnya mengharuskan kita berada dalam satu tempat, di masa pandemi  bertransformasi berbentuk online yang artinya, seminar dapat diakses di mana pun.

Kepraktisan ini membuat zoom menjadi aplikasi primadona di masa pandemi sehingga banyak pihak yang menyelenggarakan. Singkatnya, seminar online tidak lagi tersekat oleh ruang, sebuah kondisi yang sulit terwujud di seminar offline.

Ini artinya, akses untuk mendapat ilmu selalu terbuka lebar bahkan di masa pandemi. Hanya dari rumah, kita dapat mengikuti seminar online dengan materi yang beragam dan menarik. Dikatakan “beragam dan menarik” karena saking banyaknya seminar online, kita disuguhkan dengan beragam tema yang melimpah dan tak jarang, kita mendapati beberapa seminar yang diselenggarakan pada hari dan waktu yang sama sekaligus.

Mungkin ini yang dinamakan “kemudahan” dalam keterbatasan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Insyirah: 5-6, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”

Jika ulama-ulama klasik mengembara puluhan tahun membelah batas geografis untuk menuntut ilmu, di masa pandemi ini, pengembaraan ilmu dapat dilakukan dengan berkelana dari satu media belajar online ke media lain, dari satu seminar online menuju seminar online lainnya. Menjadi musafir ilmu adalah langkah tepat di masa pandemi untuk menjaga obor intelektualitas tetap menyala. []

Rohman Abdullah
Koordinator KKN Mandiri dari Rumah (MDR) Layali, Institut Pesantren Mathali'ul Falah (Ipmafa), Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini