Gus Sholah; Sang Insinyur yang Kembali ke Pesantren

K.H Sholahuddin Wahid atau yang akrab dikenal masyarakat dengan panggilan Gus Sholah—telah jamak mafhum orang mengenalnya. Ia adalah putera dari pasangan K.H Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Ia cucu dari Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari. Gus Sholah juga merupakan sosok Kyai Teknokrat yang dalam perjalanan hidupnya memutuskan untuk kembali ke Pesantren. Bagaimana perjalanan beliau hingga kembali ke Pesantren? Mari kita telisik melalui tulisan ini.

Dalam mengarungi pendidikan keagamaan, Gus Sholah kecil menerima ilmu layaknya santri kota. Sejak kecil, ayahanda Gus Sholah, yakni K.H Abdul Wahid Hasyim selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Putra-putrinya—tak terkecuali Gus Sholah untuk mempelajari ilmu Al-quran beserta tajwidnya. Selain itu, kakek Gus Sholah K.H Bisri Syansuri juga turut andil dalam mendidik Gus Sholah. Ilmu Al-quran dan materi-materi kitab kuning seperti fiqih, nahwu, sharf, dll kerap beliau ajarkan kepada Gus Sholah. Ada juga beberapa guru yang sengaja didatangkan untuk membantu Gus sholah dan saudaranya dalam memahami kitab kuning. Cara belajar Gus Sholah memang tak seperti santri pada umumnya; bermukim dan menetap bertahun-tahun di pondok pesantren. Bahkan dalam kesempatan waktu, Ia hanya ngaji kilatan selama Ramadhan. Adapun jenjang pendidikan Gus Sholah dimulai dari SD, SMP, SMA, dan ITB jurusan Teknik Arsitektur. Hal itulah yang membedakan Gus Sholah dengan Gus Dur.

Sosok Gus Sholah yang jika dilihat melalui latar belakang pendidikan—tak ayal jika akan kembali ke pesantren. Moment beliau ditunjuk menjadi penerus dari Pak Ud; panggilan akrab K.H M. Yusuf Hasyim; adik ayah beliau—sebagai Pengasuh Pesantren Tebuireng adalah saat beliau dalam perjalanan dari Jombang ke Surabaya. Beliau diminta Pak Ud untuk datang ke pesantren Tebuireng. Saat telah sampai di Tebuireng, Pak Ud mengutarakan maksud, bahwa sepenuhnya Ia mengalihkan tugas sebagai Pengasuh Pondok kepada Gus Sholah. Gus Sholah dinilai lebih muda dan pas untuk posisi tersebut. Pak Ud menyampaikan—awalnya ada dua nama yang akan menjadi penerus di Tebuireng. Yaitu Gus Sholah dan Gus Dur. Dari segi keilmuan—Gus Dur dinilai lebih tepat, namun dari segi kesehatan dan kesempatan waktu untuk terus sholat di Masjid—Gus Sholah lebih mampu. Selain itu, Gus Dur juga  dinilai telah memiliki kesibukan memimpin partai PKB dan akan sulit jika harus berpindah tempat ke Tebuireng. Maka dengan penuh pertimbangan—Gus Sholah tampak lebih pas menjadi pengganti Pak Ud. Meskipun, Gus Sholah sebenarnya berat menerima tawaran tersebut, karena memang Ia telah menerima surat dari kementerian Luar Negeri untuk menjadi Duta Besar RI di Al-Jazair. Dengan penuh pertimbangan dan sebab adanya dukungan dari pihak keluarga—akhirnya Gus Sholah menerima permohonan Pak Ud untuk menggantikan posisinya menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng.

Baca Juga:  Pesantren it’s My Dream!

Tak sedikit dari alumni, keluarga dan pihak masyarakat yang meragukan kemampuan Gus Sholah sebagai Penerus Pak Ud (K.H M. Yusuf Hasyim); adik ayah beliau—untuk memimpin Pesantren Tebuireng. Banyak sebilah tanya yang menikam jantung kesadaran. Akankah Kyai Teknokrat mampu membawa Tebuireng ke arah yang lebih maju? Atau justru malah stagnan? Apa yang bisa dilakukan oleh Kyai baru dalam membangun Pesantren Tebuireng? Pertanyaan dan keraguan itu selalu menyelimuti perasaan Gus Sholah. Gus Sholah sendiri menyadari akan keraguan terhadap kemampuannya. Ia mengakui bahwa Ia memang bukanlah seorang santri yang terlahir dari rahim Pesantren; Ia juga belum pernah mengelola sebuah lembaga pendidikan.

Maka dengan segenap usaha, mula-mula sebelum diangkat menjadi Pengasuh secara resmi, Gus Sholah telah hadir dan tinggal di Tebuireng. Ia mengamati dan mengkaji berbagai problematika yang ada di lingkungan Pondok Pesantren. Ia menyadari betapa beratnya tanggung jawab yang Ia terima. Namun dengan segala kemampuan dan usaha yang telah Ia lakukan, Ia mampu membawa perubahan dari dalam maupun luar Pesantren Tebuireng. Dari segi Teknokratnya—Ia mampu menyulap Tebuireng menjadi kawasan yang lebih teratur dan rapi.  Mula-mula Ia membuat rencana pembangunan fisik komplek Pesantren, pembangunan gedung asrama, Unit Penjamin Mutu, juga membangun kembali Madrasah Muallimin sebagai jati diri Pesantren. Gus Sholah juga menata kawasan makam dengan membangun terminal Gus Dur, Makam Pahlawan Nasional dan Museum Islam Indonesia K.H Hasyim Asy’ari. Dari segala usaha yang telah berhasil Ia lakukan—secara perlahan namun pasti, Gus Sholah telah mengikis keraguan dari berbagai pihak. Tebuireng kembali menjadi Pesantren yang memiliki jati diri dan kawasan yang mampu menghidupkan perekonomian masyarakat dengan manajemen yang terstruktur. Al-Fatihah untuk Gus Sholah dan semua Ulama yang telah berjuang bagi kehidupan Pesantren. []

Tri Faizah
Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung.

    Rekomendasi

    Hikmah

    Ramadan dan Ketakwaan

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama