Sucikah Barang yang Berasal dari Nonmuslim?

Hubungan antar manusia selalu saja memantik permasalahan & pertanyaan. Hubungan antara muslim & nonmuslim pun tak luput dari permasanlahan. Seorang nonmuslim tentu saja tidak pernah mempelajari fikih najasah, sehingga mereka tidak hati-hati dalam kenajisan suatu barang. Hal ini menimbulkan kewaswasan sebagian muslim akan suci tidaknya barang yang diberikan oleh rekan mereka yang nonmuslim. Lantas, sucikah barang yang berasal dari  nonmuslim?

Ada kaidah penting dalam ilmu fikih yang apabila kita aplikasikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari, maka takkan mudah bagi kita untuk jatuh dalam rasa waswas. Kaidah  ini membahas tentang pertentangan antara hukum asal dan hukum yang zahir, sebagai disebutkan dalam kitab Fathul Muin hamisy I’anatut Thalibin (1/104):

َاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ) وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِيْ مِثْلِهِ، فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيْ الأَصْلِ وَالظَّاهِرِ أَو الغَالِبِ أَرْجَحُهُمَا أَنَّه طَاهِرٌ، عَمَلًا بِالأَصْلِ الْمُتَيَقَّنُ، لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الغَالِبِ الـمُخْتَلَفِ بِالأَحْوَالِ وَالأَزْمَانِ.

“Kaidah penting: Sesuatu yang pada dasarnya adalah suci, apabila ada dugaan kuat akan terkena najis sebab biasanya memang terkena najis, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Namun pendapat yang unggul mengatakan bahwa barang tersebut masih dihukumi suci berdasarkan hukum asal yang sudah diketahui dengan pasti. Sebab hukum asal yang didasari keyakinan ini lebih kuat daripada hukum hukum realita yang masih tak menentu sesuai keadaan dan waktu”

Pengarang kitab Fathul Muin memberikan contoh aplikasi kaidah tersebut, di antaranya; bajunya orang pembuat khamr, bajunya anak kecil, baju yang dipakai oleh orang gila, dan lain sebagainya.

Kaidah tersebut juga bisa kita aplikasikan pada kasus barang yang berasal dari nonmuslim. Jadi ada dua pendapat mengenai barang yang secara zat berstatus suci namun berasal dari nonmuslim; Pertama, barang tersebut tetap berstatus suci dengan kembali pada hukum asal. Kedua, barang tersebut berstatus mutanajjis (terkena najis) berdasarkan hukum zahir. Dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama.

Baca Juga:  Tingkatan Bersesuci Menurut Imam Al-Ghazali

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa barang yang memang secara zat berstatus suci tetap dihukumi suci, walaupun kita memiliki dugaan atas kenajisan barang tersebut berdasarkan faktor umumnya saja. Berbeda bila sudah ada keyakinan akan kenajisan barang tersebut, semisal karena kita melihat langsung barang tersebut terkena najis, maka hukumnya berubah menjadi najis. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab I’anat at-Thalibin (1/105):

إِذَا ثَبَتَ أَصْلٌ فِيْ الحِلِّ وَالْحُرُمَةِ أَوْ الطَّهَارَةِ أَوْ النَّجَاسَةِ فَلَا يَزَالُ إِلَّا بِاليَقِيْنِ

“Bila sudah tetap hukum asal dalam halal dan keharamannya, atau suci dan najisnya, maka hukum tersebut tidak akan hilang kecuali sebab keyakinan

Wallahu a’lam. [HW]

Afif Thohir Furqoni
Santri alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura

    Rekomendasi

    Bani Israel (1)
    Pustaka

    Bani Israel (1)

    Saya membaca Al-Qur’an. Saya buka surat Al-Baqarah. Isinya dibuka dengan klasifikasi tiga golongan. ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini