Konsekuensi Zina, Tak Lantas Membuat Tak Setara

Minggu malam lalu, seorang peserta di sebuah grup kajian Aswaja bertanya seputar hukum pernikahan perempuan yang hamil di luar nikah. Saya,- yang malam itu kebetulan diberi kesempatan untuk bermusyawarah bersama,- menjawab dengan apa yang pernah saya baca dalam kitab turats. Saya menjawab bahwa pernikahannya sah secara agama. Hanya saja ada perincian tersendiri seputar hukum anaknya nanti. Pernikahan si perempuan yang sudah kadung hamil tadi, baik dengan pria yang menghamilinya ataupun dengan pria lain, sah-sah saja hukumnya. Tapi status anaknya nanti, akan berbeda tergantung di usia kehamilan berapa bulan si perempuan tadi menikah. Jika pernikahan dilangsungkan di usia kehamilan ≤4 bulan, maka bayi yang lahir otomatis tersambung nasabnya dengan pria yang menikahi ibunya. Beda cerita jika perempuan tadi menikah di usia kandungan di atas 4 bulan, maka ada beberapa hukum khusus untuk anaknya. Yakni anak tersebut, nasabnya tidak tersambung pada pria yang menikahi ibunya, melainkan kepada si ibu. Dari hukum ini, lahirlah beberapa kesimpulan lain seperti nantinya si bapak tidak bisa menjadi wali atas si bayi, atau jika bapak meninggal, si bayi tidak bisa menerima warisannya, dan beberapa konsekuensi lainnya yang saya sebutkan juga dalam forum diskusi malam itu.

Besoknya, muncul satu chat panjang di grup berisi kekecewaan atas hukum fikih yang saya utarakan malam sebelumnya. Tulisan tersebut berjudul “Islam tetap memuliakan anak yang lahir di luar nikah”. Penulisnya, menganggap bahwa konsekuensi yang ditanggung oleh bayi tersebut sangatlah tidak adil. Dengan tegas penulis meminta para ulama untuk mengkaji ulang hukum ini. Saya tidak tahu penulis punya kapasitas apa di bidang fikih. Yang jelas, narasi “mengkaji ulang” sama dengan mengajak merevisi sesuatu yang salah. Sedangkan sesungguhnya, apa yang salah?

Baca Juga:  Keadilan sebagai Tugas Manusia untuk Mewujudkan Hayyat Thoyyibat

Yang lebih tak habis pikir lagi, saya menemukan kalimat “Hamil di luar nikah itu kecelakaan, tak ada walau satu orang pun yang menginginkan”. Dan kalimat-kalimat lainnya seperti “Para remaja yang mengalami kecelakaan, tidak sepenuhnya kesalahan mereka”. Sungguh pernyataan tersebut terdengar seperti sebuah pembelaan terhadap zina. Saya juga menemukan lebih dari sekali penulis mengatakan “mengerikan ya?” Pada hukum Islam yang ada.

Mana yang lebih mengerikan, konsekuensi zina, atau dosa zina itu sendiri?

Empat konsekuensi yang harus ditanggung oleh bayi yang lahir dari ibu yang hamil di luar nikah itu, dianggap sebagai ketidakadilan oleh penulis. Padahal bisa saja bayi tadi hidup normal seperti bayi-bayi lainnya. Jika ingin nasabnya tersambung dengan sang ayah, maka tinggal nikahi saja ibunya segera sebelum kandungannya berusia 4 bulan. Beres. Tidak ada lagi drama anak yang nasabnya tak tersambung dengan sang ayah.

Atau jika si ibu baru dinikahi di usia kandungan 7 bulan (misalnya), lalu si bayi sudah kadung tak tersambung nasabnya dengan ayah, hidup masih begitu adil. Penulis membuat keadaan menjadi begitu mengerikan dengan mengatakan “Jika ayahnya menjadi wali, pernikahannya tidak sah dan dianggap zina”. Padahal masalah yang terjadi sesungguhnya tidak seserius itu. Cukup dinikahkan oleh wali hakim, beres. Apa yang salah dengan dinikahkan oleh wali hakim? Bahkan orang-orang yang lahir bukan dari hasil zina, banyak yang pada proses pernikahannya dinikahkan oleh wali hakim. Di mana letak mengerikan yang digambarkan oleh penulis? Mana yang lebih mengerikan, konsekuensi zina, atau dosa zina itu sendiri?

Konsekuensi selanjutnya yang oleh penulis dianggap sebagai ketidakadilan adalah soal harta warisan si ayah yang tidak bisa diwariskan kepada anaknya yang nasabnya tak tersambung tadi. Padahal persoalan ini, sungguh mudah solusinya.

Baca Juga:  10 Akar Keadilan Pemimpin Menurut Imam Al-Ghazali

Si ayah bisa saja mewasiatkan hartanya kepada si anak. Beres. Anak bisa mendapatkan warisan jalur wasiat.

Dalam Faraidh, maksimal harta wasiat dalam warisan adalah 1/3. Jika jumlah ini dianggap kurang banyak, maka solusi selanjutnya adalah sebelum mati, si ayah bisa menghibahkan hartanya kepada anak. Berapapun. Karena hibah itu tasharruf-nya mutlak. Kini masalah yang dianggap sebagai ketidakadilan sudah beres.

Mana yang lebih mengerikan, konsekuensi zina, atau dosa zina itu sendiri?

Wallahu a’lam. Apa yang saya jelaskan adalah apa yang saya pelajari dari guru saya. Guru saya membacanya dari kitab yang ditulis oleh para ulama yang keilmuannya jangan ditanya. Hukum Islam yang dianggap mengerikan oleh seseorang tadi, adalah apa yang sudah ditulis para mushannif madzhab Syafi’i berdasarkan hasil ijtihad para Mujtahid. Perbedaan pendapat ulama selalu ada. Boleh saja seseorang membagikan pendapat ulama lain yang bisa dijadikan rujukan. Tetapi mengajak para ulama dengan narasi “mengkaji ulang”, rasanya tak pantas.

Andai penulis tahu bahwa ada hadis maudhu’ yang bunyinya:

ولد الزنا لا يدخل الجنة حتي سبعة أبناء

Nah, ini baru mengerikan.

Tapi karena hadis ini dianggap maudhu’, maka tentu tak dijadikan sumber hukum. Islam menganggap setara semua bayi. Semua bayi memang suci. Yang menganggap bayi hasil zina itu tidak suci siapa? Kata “ketidakadilan”, “diskriminatif”, “hukum yang mengerikan”, itu kan muncul dari benak penulis sendiri.

Sedangkan pada kenyataannya, bayi hasil zina tetap bisa berislam, melakukan amaliyah dan ubudiyah seperti yang lain, mereka merdeka secara pribadi dan memiliki hak yang sama baik sebagai manusia maupun sebagai hamba.

إنّ أكرمكم عند الله أتقكم

Yang paling utama diantara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa. Hukum Islam tak pernah mendiskriminasikan anak hasil zina. Konsekuensi yang ada bagi anak hasil zina pun tak lantas menjadikannya tak setara. Semua punya kesempatan meraih ridhanya dan mencapai surganya. Wallahu a’lam.

saya tutup tulisan ini dengan pendapat pribadi yang kalau setuju mangga, nggak, juga nggak papa.

Baca Juga:  Memahami Konsep Kafa’ah (Kesetaraan Kualitas dalam Pernikahan) di Tengah Era Globalisai

Bagi saya, aktifitas menulis tak cukup sekedar mengumpulkan premis dan berpikir kritis. Lebih dari itu, menulis butuh riset panjang dan Sebuah kesimpulan matang yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika hanya mengutarakan kegelisahan tanpa solusi, maka tak perlu lah mengatakan hukum Islam mendiskriminasi.

Sekali lagi, mana yang lebih mengerikan, konsekuensi zina, atau dosa zina itu sendiri?. [HW]

Farah Firyal
Founder Fikih Female, Alumnus PP Al Falah Ploso Kediri dan Pengasuh PP Al Arifah Buntet Pesantren Cirebon

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Baca Juga:  Konsekuensi Zina, Tak Lantas Membuat Tak Setara […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini