Merebaknya Covid-19 yang menjalar ke berbagai penjuru negara, termasuk Arab Saudi, menyebabkan pelaksanaan ibadah haji dibatasi. Hal ini berdampak pada calon jamaah haji – termasuk Indonesia – yang tidak jadi berangkat tahun 2020 ini karena tertunda.
Menanggapi hal ini, tokoh Jawa Tengah H. Bambang Sadono bertanya kepada KH. Achmad Chalwani: “Apa amalan yang baik dilakukan oleh kita, khususnya para jamaah yang sudah berniat, bercita-cita lama, tapi tahun ini tidak bisa berangkat?” Demikian pertanyaan yang diajukan dalam wawancara darling dan diunggah di akun YouTube Inspirasi Jawa Tengah – Bambang Sadono, Senin (20/7) lalu.
Menanggapi pertanyaan itu, Kiai Chalwani menjelaskan bahwa Rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, shalat, puasa dan haji, ibarat rumah sudah ada lambang-lambangnya sendiri. Syahadat, menurutnya, ibarat rumah adalah pondasinya. Shalat ibarat tiangnya, penyangga. Zakat ibarat pintu jendela. Puasa ibarat temboknya. Sedangkan Haji ibarat atapnya.
“Setelah pondasi selesai, kan kita bikin tiang. Shalatnya adalah tiangnya. Ada yang wajib, ada tambahan. Yang wajib ibarat tiang soko guru. Kalau ada tiangnya kan kokoh rumah itu,” terang pendiri STAI An-Nawawi Purworejo tersebut, menjelaskan.
“Tapi juga ada tiang tambahan, seperti tiang di teras rumah. Shalat-shalat sunnah, itu sudah tidak wajib, tapi rumah kalau tidak ada terasnya kan ndak indah. Maka orang yang tidak pernah shalat sunnah ini dipandang ndak indah, kurang cakep lah,” imbuhnya.
Kemudian yang ketiga, zakat. Zakat itu ibarat pintu jendela. Orang bikin rumah tapi tidak ada jendelanya atau ada tapi kecil-kecil, kata Kiai Chalwani, angin di rumah tidak pernah berganti. Ventilasi angin tidak berjalan bagus, tidak nyaman, terlalu panas dan berbau.
“Maka orang yang tidak pernah zakat, tidak pernah infaq, tidak pernah sedekah, itu baunya anyir, begitu. Ini menolong orang lain. Kan ketika kita menolong orang lain, pasti ditolong Allah SWT. Kalau ada orang ndak pernah ditolong Allah SWT, itu pertanda ndak pernah menolong orang lain,” terangnya.
Putra KH. Nawawi yang merupakan salah satu pendiri JATMAN inipun menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as – orang yang diberi mandat memanggil ibadah haji – setiap hari menyembelih sapi dan mengharapkan kedatangan tamu. Bahkan, pernah suatu ketika ada dua tamu datang malam-malam. Ia pun menyembelihkan sapi dan dimasak di malam itu untuk menghormati kedua tamunya. Kemudian kedua tamu itu menolak makan. Ternyata mereka adalah malaikat yang diperintah Allah SWT untuk menguji sang Nabi.
“Orang (yang) sering menjamu para tamu itu pertanda anak cucunya jadi orang-orang shalih,” kata malaikat kepada Nabi Ibrahim, seperti ditirukan Kiai Chalwani.
Kemudian yang keempat puasa. Puasa ini adalah ibarat tembok. “Maka Nabi mengatakan, ‘ash-shaumu junnatun,’ puasa adalah benteng. Kita butuh dibentengi oleh Allah SWT. Orang yang tidak pernah puasa itu tidak kuat bentengnya,” terang Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah ini kepada Bambang Sadono yang khusyu menyimak.
Terakhir, ibadah haji, ibarat rumah adalah atapnya. Kalau orang Islam (sudah mampu) namun belum haji, kata Kiai Chalwani, seperti rumah yang belum ada atapnya: bisa basah kuyup terkena air hujan.
Ibadah yang Pahalanya seperti Haji dan Umrah
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi itu kemudian menjelaskan amalan yang pahalanya seperti ibadah haji.
“Kalau kita belum bisa berhaji sekarang, ya kita cari amaliyah-amaliyah yang bisa mengimbangi haji,” tuturnya.
Kemudian ia mengutip Sabda Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadits.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :من صلى الفجر في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة ، تامة، تامة،تامة . رواه الترمذي
Qaala Rasuulullah saw. “Man shallal fajra fi jamaa’atin tsumma qa’ada yadzkurullaaha ta’aala hatta tatlu’as syamsyu tsumma shalla rak’ataini kaanat lahu kaajri hajjatin wa ‘umratin tammatan tammatan. Rawahu at-Tirmidzi.
Artinya, Nabi bersabda: “barangsiapa yang shalat subuh dengan berjamaah, kemudian berdzikir sampai terbitnya matahari, kemudian shalat dua rakaat, ia mendapat pahala seperti haji dan umrah yang sempurna, yang sempurna. (HR. Imam Thabrani).
“Nabi sampai (mengulangi) dua kali: ‘tammatan, tammatan’, yang sempurna, yang sempurna,” tegas Kiai Chalwani.
Menurutnya, bagus sekali jika setelah shalat subuh meneruskan berdzikir sampai terbitnya matahari, kemudian shalat dhuha. “Minimal dua rakaat. Syukur sampai empat rakaat. Delapan rakaat lebih bagus,” pungkasnya.[]