Umi Rodiyah; "Sang Pelita" di Tengah Gulitanya Kemanusiaan Kita

Namanya Umi Rodiyah. Di tengah keterbatasan penglihatannya, ia mampu melampaui batas-batas kemanusiaannya. Ia mengkhidmatkan diri untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) Santri Yatim Piatu di kediamannya, Wadungpal, Glenmore, Banyuwangi. Para santrinya ia sekolahkan secara mandiri serta dengan penuh dedikasi dan keikhlasan yang sudah dilakukannya lebih dari satu dekade yang lalu. Karena ia percaya, dengan semata mata mengharap ridha Allah Swt, semua proses kehidupan pasti akan dimudahkan.

Meskipun seorang perempuan, ia merupakan pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah. Sebagai perempuan, ia mampu mendobrak tatanan lama. Ternyata ia mampu membuktikan bahwa bukan hanya sosok Kiai yang mampu mendirikan lembaga pendidikan Islam (pesantren), seorang Nyai pun bisa. Meskipun ia seorang Nyai, tetapi ia lebih senang dipanggil “Umi”.

Umi Rodiyah lahir sekitar tahun 1946, dari pasangan Kiai Ahmad Mua’l dan Nyai Sitti Maimunah. Saat umur 6 tahun, Rodiyah kecil terkena cacar yang akhirnya menyebabkan ia mengalami turnanetra. Tetapi dengan keterbatasannya, ia tetap memiliki tekad untuk belajar ilmu agama Islam dan menjadi Hafidzhul Quran.

Ia merawat 20-an santri yang berlatar belakang yatim dan banyak pula yang Yatim piatu. Meskipun begitu, ia tidak mendirikan pesantrennya sebagai lembaga/yayasan kemanusiaan (rumah yatim). Pun ketika mendirikan lembaga, ia awalnya menolak di badan hukumkan di Kemenkumham. Akhirnya sekitar 2 tahun lalu kemudian terdapat bantuan dari simpatisan untuk membantu melegalkan lembaganya.

Umi Rodiyah seorang yang alim, sejak muda ia merupakan sosok yang terkenal kealimannya. Ia sang penjaga Al-Quran (Hafidzah) sejak kecil. Bahkan pada tahun 1976, ia telah mengikuti lomba Musabaqah Tartil Al-Quran (MTQ), di Samarinda melalui jalur Tunanetra. Ketika itu, ia menjadi primadona dalam setiap acara keagamaan di daerahnya. Ia selalu menjadi pengobat rindu akan manisnya spiritualitas kehidupan ini bagi para santrinya.

Baca Juga:  Nikmatnya Mondok (Pengalaman menjadi Santri)

Ketika masih muda, ia nyantri di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iah Sukorejo. Pesantren yang diasuh oleh salah satu panglima Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin. Selain karena memang nasabnya juga nyambung dengan keluarga pesantren Salafiyah Syafi’iah ini, Umi Rodiyah berkesempatan belajar langsung kepada Kiai As’ad dan istrinya dalam penguasaan bacaan kitab serta Qira’ahnya.

Tak heran, ketika muda ia sudah menjadi primadona dan seringkali diarak (dikonvoi oleh masyarakat) dalam beberapa moment pengajian yang dilaksanakan oleh Fatayat atau Muslimat NU. Kekuatan bacaan dan kelembutan suaranya mampu menombak hati para pendengarnya dan seringkali membuat jamaahnya menangis akan bacaan Qurannya, hingga sampai saat penulis bertemu dengannya pun ciri khas suaranya masih cukup terjaga sebagai seorang pembaca Al-Quran yang baik.

Umi Rodiyah merupakan sosok pelita bagi sekitarnya. Perempuan yang peduli terhadap pendidikan agama Islam, dan peduli terhadap nasib kaum duafa. Mungkin secara fisik ia terbatas, tapi secara hati ia melampaui kemampuan manusia yang lain di sekitarnya. Saya tidak bermaksud berlebihan, karena hal ini pun diakui oleh orang di sekitarnya.

Dalam setiap jalan hidupnya, ia selalu mendoakan dan berikhtiar yang terbaik kepada seluruh keluarga, keturunan dan santri-santrinya. Ia sangat peduli terhadap nasib orang di sekitarnya, apalagi santri yang sejak kecil sudah ditinggalkan oleh orangtuanya. Ia tidak peduli, siapapun dan dari latar belakang apapun santrinya. Ia tetap menerimanya sebagai santri, yang harus menuntut ilmu, berakhlak dan berkhidmat kepada agama, masyarakat dan bangsa.

Ia menjadi Pelita di masyarakatnya. Perempuan yang menjadi cahaya di tengah gelap gulitanya kemanusiaan kita hari ini. Keterbatasan bukan halangan, tetapi konstruksi berpikir dan keikhlasanlah yang akan membuka segala ketidakmungkinan yang ada, segalanya menjadi mungkin untuk terjadi.

Baca Juga:  Implikasi Tradisi Pondok Pesantren terhadap Pembentukan Karakter Santri

Keikhlasan dan ketawadhu’an telah diteladankan kepada lingkungannya. Baginya ilmu agama harus didalami sebagai bekal hidup dan bekal di akhirat nanti. Memandangnya seakan manusia tak berdaya, tetapi cinta kemanusiaanlah yang membawanya bisa berdaya dan mampu mengarungi hidup di tengah berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Umi Rodiyah layak menjadi teladan di tengah gersangnya rasa kemanusiaan kita hari ini, sosok yang tanpa pamrih menolong dan melindungi siapapun tanpa tedeng aling-aling, karena sejatinya kemanusiaan melampaui sekat-sekat primordial agama. [HW]

Ferdiansah
Peneliti di Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah