Al-Anbiya’: 32
وَجَعَلْنَا السَّمَاۤءَ سَقْفًا مَّحْفُوْظًاۚ وَهُمْ عَنْ اٰيٰتِهَا مُعْرِضُوْنَ
“Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain).”
Dalam ayat ini, terdapat beberapa penafsiran, di antaranya:
Pertama: Secara umum, Syaikh Muhammad Amin as-Sinqithi, dalam tafsir Adhwā` al-Bayān, membagi tiga poin inti dalam ayat ini: (a) Allah Swt menjadikan langit sebagai atap bagi bumi yang diibaratkan rumah. (b) Lalu atap tersebut terjaga. (c) Orang-orang kafir yang berpaling tentang apa-apa yang ada di langit dan disebut ayat oleh Allah Swt, mereka yang cuti nalar dan enggan mengambil pelajaran darinya.
Tentang langit yang dijadikan sebagai atap, maknanya ialah “ditinggikan”, seperti tersurat dalam ath-Thur: 1-5,
وَالطُّوْرِۙ. وَكِتٰبٍ مَّسْطُوْرٍۙ. فِيْ رَقٍّ مَّنْشُوْرٍۙ. وَّالْبَيْتِ الْمَعْمُوْرِۙ. وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوْعِۙ.
“Demi gunung (Sinai). Dan demi Kitab yang ditulis. Pada lembaran yang terbuka. Demi Baitulma‘mur (Ka‘bah). Demi atap (langit) yang ditinggikan.”
Lalu atap yang terjaga, pada ayat ini boleh jadi bermakna agar tidak runtuh dan jatuh,
…وَيُمْسِكُ السَّمَاۤءَ اَنْ تَقَعَ عَلَى الْاَرْضِ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ…
“Dan Dia menahan (benda-benda) langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya” (QS. Al-Hajj: 65)
اِنَّ اللّٰهَ يُمْسِكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ اَنْ تَزُوْلَا…
“Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap…” (QS. Fathir: 41)
Selain itu, makna atap yang terjaga adalah sempurna dan dihiasi berbagai keindahan dan manfaat bagi makhluk Allah, tanpa perlu reparasi sebagaimana kita dapati pada atap-atap lain buatan manusia. Hal ini tersirat dalam ayat berikut,
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk: 3)
اَفَلَمْ يَنْظُرُوْٓا اِلَى السَّمَاۤءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنٰهَا وَزَيَّنّٰهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوْجٍ
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya dan tidak terdapat retak-retak sedikit pun?” (QS. Qaf: 6)
Atau, bisa jadi langit terjaga dari setan yang terkutuk, di mana sebelum masa nabi Muhammad Saw mereka memiliki akses untuk mencuri informasi langit. Al-Quran menyebutkan,
وَحَفِظْنٰهَا مِنْ كُلِّ شَيْطٰنٍ رَّجِيْمٍۙ
“dan Kami menjaganya dari setiap (gangguan) setan yang terkutuk,” (QS. Al-Hijr: 17)
Imam al-Mawardi, juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan maḥfụẓā adalah terjaga dari bentuk kesyirikan dan kemaksiatan. Karena langit merupakan tempat bagi para malaikat yang tak pernah menyelingkuhi laranganNya dan selalu patuh pada tiap perintahNya.
Namun dengan semua keagungan dan ayat-ayat yang beragam tentang langit, mereka tidak merenungi dan tetap ingkar terhada Allah. Begitulah sikap orang-orang kafir yang berpaling terhadap ayat kekuasaanNya.
Kedua: Sekalipun Imam ar-Razi, pada kalimat saqfam maḥfụẓā (sebagai atap yang terpelihara), mengutip pendapat yang menyatakan bahwa ia terjaga dari pencurian informasi langit yang dilakukan setan, tapi beliau menganggap pandangan ini kurang kuat, dibanding penafsiran tentang jaminan langit tidak rontok dan mengenai bumi. Karena, menurut beliau, tafsir terakhir ini lebih bermanfaat bagi manusia.
Ketiga: Kalimat wa hum ‘an āyātihā mu’riḍụn, dimaknai keengganan mereka menjadikan dalil dan pelajaran yang terdapat di langit, dengan berbagai keistimewaan dan rahasianya, untuk mengimani kebijaksanaan dan kekuasaan Allah. Bahkan, tambah Imam asy-Sya’rawi, kata mu’riḍụn itu adalah gambaran bahwa mereka memunggungi kebenaran, tanpa ditoleh sama sekali!
Dengan demikian, mu’riḍụn bisa dimaknai sebagai,
مَنْ نَظَرَ شَيْأً وَلَمْ يَعْتَبِرْ عَنْ شَيْءٍ
“Adalah mereka yang melihat sesuatu tanpa mendapat pelajaran apapun darinya.”
Dalam ayat yang berbeda, Imam ar-Razi pernah menulis di Mafātih al-Ghaibnya, kisah tentang seorang pemuda saleh Bani Israil yang senantiasa menyembah Allah selama tiga puluh tahun, ia pun beroleh karamah dinaungi awan kemanapun kakinya melangkah. Suatu hari, ada pemuda lain yang mengagumi dan justru menyembah awan yang mengikuti pemuda saleh tersebut. Sejak detik itu juga, awan tersebut raib. Sang ibu pemuda saleh lalu bertanya perihal kesalahan yang dilakukan putera saleh tersebut. “Saya tidak mengingat satu pun kesalahan,” jawab pemuda saleh itu. Lalu sang ibu berkata, “Boleh jadi engkau pernah melihat langit, dan lalai merenunginya.” Seketika itu si pemuda tertunduk, sebagai isyarat pengakuan kelalaian yang selama ini ia lakukan.
Sekalipun ayat ini menceritakan ciri orang-orang kafir, boleh jadi sifat mu’riḍụn justru kitalah yang mengenakannya. Semoga kita bisa dilindungi dari lalai yang menyebabkan celaka.
Keempat: Dalam pembacaan Isyāri, Syaikh Najmuddin al-Kubra memaknai ayat ini demikian, “Dan Kami jadikan langit, yang dimaksud adalah langit hati, sebagai atap yang terjaga dari segala jenis gangguan dan bisikan setan, jin maupun manusia. Sementara mereka, yaitu orang-orang yang kufur nikmat, tentang ayat-ayat yang terdapat di langit, yaitu dalil-dalil, argumentasi kokoh, rahasian dan kebijaksanaan, yang bisa menjadi nafigasi untuk menuntun renungan mereka, [justru] mereka berpaling. Karena mereka telah terpengaruh oleh dunia, tersilau oleh pesona di dalamnya, yang dinikmati oleh syahwat mereka, sehingga mereka berpaling dari Allah, lalai bersyukur dan tidak lagi menunaikan hak-hak kehambaan mereka.”
Al-Anbiya’: 33
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ
wa huwallażī khalaqal-laila wan-nahāra wasy-syamsa wal-qamar, kullun fī falakiy yasbaḥụn
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Beberapa rangkuman ulasan para ahli tafsir tentang ayat ini:
Pertama: Dalam istilah Arab, kata falak bermakna sesuatu yang berpendar. Sementara kata yasbaḥụn diartikan oleh Imam Mujahid sebagai yajrụn (berjalan/ beredar); Ibn Abbas Ra mengartikannya yadurụn (berputar/ berotasi). Karenanya Imam al-Qurthubi memaknai segala sesuatu berjalan dan beredar dengan cepat seperti seorang yang berenang di air (sābih fi al-mā`i), demikian tulis Dr. Makmun Hammus dalam tafsirnya.
Imam asy-Sya’rawi menyimpulkan bahwa malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing beredar menggantikan yang lain. Pemahaman tersebut diambil dari surat al-Furqan: 62,
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً…
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti…”
Beliau juga menambahkan bahwa kata yasbaḥụn adalah sebuah terminologi al-Quran untuk suatu gerak perlahan yang lembut. Karena, seperti penjelasan Imam al-Qurthubi sebelumnya, ia terambil dari kata sabhat as-samak fi al-mā`i (gerakan ikan di air). Jadi geraknya begitu perlahan, bukan gerak lompatan seketika. Imam asy-Sya’rawi memberi analogi gerak ini seperti pertumbuhan seorang anak, di sisi orang tuanya. Sang orang tua pasti tak merasakan pertumbuhan tersebut, kecuali ketika mereka terpisah beberapa lama lalu kembali berjumpa, maka orang tuanya akan menemukan perubahan drastis dalam pertumbuhan anaknya.
Kedua: Syaikh Ibn ‘Ajibah membaca ayat ini dan menerangkan sebagian fungsinya, bahwa Allah Swt menciptakan malam agar manusia mendapatkan ketenangan, menjadikan siang sebagai waktu bekerja yang efektif, membuat matahari dan rembulan sebagai sumber cahaya manakala siang dan malam. Dan demikianlah, semuanya beredar sesuai pada jalur rotasi masing-masing. Tulis beliau dalam al-Bahr al-Madīd.
Sementara itu, Imam ar-Razi mengulas tujuan utama penciptaan alam semesta adalah pengakuan manusia akan eksistensi dan keesaan-Nya. Keluasan langit selaras dengan manfaat duniawi yang dirasakan oleh manusia, semisal penerangan dari cahaya bulan, bintang-bintang yang menjadi navigasi, kesuburan bumi karena air yang dihujani langit dan seterusnya.
Ketiga: Penggalan akhir ayat ini menyebutkan kullun fī falakiy yasbaḥụn, kata yasbaḥụn sebenarnya juga bisa diartikan sebagai “menjauh”. Maka dari sisi ini, kita bisa menghubungkan dengan temuan sains modern tentang teori “Expanding Universe” yang menyatakan bahwa alam semesta ini berkembang. Teori ini didasari dari muasal Big-Bang atau dentuman besar yang terjadi kali pertama, karenanya muncul ruang-waktu di alam. Para fisikawan menganggap ini adalah teori yang paling kuat di antara yang lain untuk menjelaskan kejadian alam semesta. Dari dentuman ini lalu alam semesta terus mengembang dan semakin meluas. Jika hal ini merupakan suatu kebenaran, maka potongan terakhir kalimat kullun fī falakiy yasbaḥụn bisa diartikan bahwa segala sesuatu yang ada di falak (semesta) ini kian meluas.
Namun penting untuk diingatkan kembali, pembacaan dengan cara seperti ini tidak menegasikan tafsir yang lain, sekalipun ia juga digantungkan pada kebenaran teori expanding universe tersebut. Jika di suatu masa nanti terbukti bahwa teori expanding universe ini keliru, maka ia tak ada hubungannya dengan al-Quran, karena antara tafsir dan al-Quran tidak sama sekalipun keduanya berhubungan. Jadi kesalahan suatu tafsir tidak membuat al-Quran keliru.
Kempat: Dalam pembacaan Isyāri, Syaikh Ibn ‘Ajibah mengartikan bahwa, “Dialah yang menciptakan malam kesulitan dan siang kemudahan, matahari pengetahuan dan bulan keesaanNya dengan dalil dan argumentasi. Semuanya berada pada tempat masing-masing tidak saling mendahului, seluruhnya memiliki lintasan dan garis edar yang diketahui dengan pasti.”
Syaikh Najmuddin al-Kubra, melihat isyarat yang berbeda, lalu beliau memaknai seperti ini, “Dialah yang menciptakan malam kegelapan bagi jiwa yang gulita, siang bagi hati yang bercahaya, matahari dari nur Allah yang dianugerahi ke dalam hati para kekasihnya, rembulan dari nur Islam yang Allah lapangkan dada seorang mukmin dengannya. Lalu dengan cahaya tersebut, jiwa seseorang menjadi suci. Semuanya, dari ahli Islam, ahli iman dan para wali, akan berjalan dan menempuh falak hati mereka masing-masing.”
Wallahu a’lam. [HW]