politisasi klepon

Alhamdulillah. Sore ini bisa makan klepon. Biarin aja gak Islami. Yang penting kenyang. Lagian, bukan hasil nyuri juga. Jadi, dijamin halal.

Imbas pandemi yang tak kunjung pergi, manusia makin aneh pola pikirnya. Mau jualan aja, harus “sambat” sama klepon. Pake bawa-bawa agama pula. Memang sejak kapan makanan punya agama?

Politisasi makanan, mulai era Islam awal hingga zaman globalisasi, memang kerap terjadi. Bisa jadi, salah satu faktornya ialah kedudukan makanan sebagai kebutuhan primer bagi manusia. Hajat kita terhadap ragam jenis pangan bukan lagi kepentingan biologis semata. Namun, telah merembet pada hasrat simbolik.

Dahulu, Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya pernah mengalami fase sulit dalam mendakwahkan Islam gara-gara makanan. Karena diblokade oleh penentangnya, kaum muslimin sempat terancam kelaparan. Masih mujur, banyak sahabat yang simpatik dengan perjuangan Nabi sehingga mereka mengirim stok makanan.

Pun sekarang, buah globalisasi yang melahirkan sindrom konsumerisme, membuat sebagian orang mempolitisir makanan demi tujuan ekonomis. Produk makanan yang tadinya netral dikemas sedemikian rupa sehingga lekat dengan label agama tertentu. Kurma, misalnya, melalui iklan “jor-joran” dari perusahaan besar, dikonstruksikan ke dalam nalar kita agar identik dengan makanan Islami. Sementara klepon yang tak berdosa, oleh agensi-agensi kapitalis lokal, mendadak diopinikan jadi makanan “kafir”.

Jadi ingat “quote” Jonathan Safran Foer, “food is not rational. Food is culture, habit, craving, and identity.” Yang artinya kurang lebih demikian, “makanan tidak rasional. Makanan adalah budaya, kebiasaan, keinginan, dan identitas.”

Karena bagian dari orang Jawa, maka saya akan bela mati-matian klepon sebagai identitas makanan lokal yang halal dan Islami. Jika perlu, siap demo berjilid-jilid di kawasan Monas. Ayo siapa yang ikut? Nanti kita bagikan klepon gratis! Hidup klepon!. [HW]

Ahmad Saefudin
Dosen UNISNU Jepara, Pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Kabupaten Jepara, Gusdurian Jepara

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. Indonesia negri yang sangat besar, terlalu naif jika tereduksi oleh dua angka 01 dan 02. sampai kapan ini berakhir? aku letih kamu letih. ketika ada issu klepon yang dibilang tidak islami, dalam hati saya sudah menduga PASTI INI ADA APA APA dan benar adanya. siapapun pasti tahu jika melihat meme klepon dengan predikat tidak islami, pasti tuduhan mengarah pada 02. nah…..medsos gaduh tak karuan. astaghfirullahaladzim. akhirnya ketemu juga siapa pembuat gaduh itu. kita ini sudah terlalu letih menghadapi covid-19 kenapa masih saja ada orang jahat seperti pembuat issu klepon itu? harusnya ini diusut tuntas karena sangat tendensius, berpotensi memecah belah ummat islam.

    2. […] Kelepon sudah berlalu, saya senang dengan tulisan sebelumnya, dilihat dari beberapa komentar, pembaca sampai pada kesimpulan yang saya harapkan; g*bl*knya (Wahabi) bukan cuma privatif, personal, individual, tapi ternyata kolektif, terstruktur, dan masif. […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini