Hai orang-orang yang beriman, yang tidak beriman tidak hai. Saya ingin menyampaikan ilmu hitung dan bukan ilmu hitung. Yang, jelas ini matematika tingkat tinggi. Oleh karena itu, siapkan kopi kental campur nalar sebelum ilmu ini akan menggoyahkan keyakinan Anda pada sekolah dan cara berpikir kuno terkait politik dan agama selama ini.

Jangan lupa, parpol dan ormas itu bukan agama, ngustadz juga manusia, apalagi ustadz pesanan simpatisan HTI, ISIS, JAD dan gerombolan intoleran, mereka butuh makan dan tepuk tangan, mungkin juga isteri muda. Kisanak, bedakan mana agama dengan keagamaan, mana cantik dengan kecantikan sebagaimana perbedaan antara putih dengan keputihan. Baiklah, Sobat warganet yang dicintai mertua, berikut contoh bukan ilmu hitung.

Pernahkah terlontar tanya dari benak Anda: mengapa honor para pesohor, sosialita, korlap demo, ustadz seleb, ulama pesanan dan tokoh agama karbitan sekali manggung belasan kali lipat melebihi gaji seorang profesor? Mengapa stasiun televisi swasta rela menggelontorkan beratus-ratus juta rupiah hanya untuk menyiarkan audisi kesenian kelas kambing dengan pamer pinggul-dada serta ribuan episode sinema elektronik (sinetron) tak bermutu tak mendidik? Kenapa sebagian televisi nasional dan portal-portal media online terpercaya justru menjadi provokator dengan disinformasi berita dan tsunami hoaks demi politik elektro, ups politik elektoral-transaksional?

Mengapa pula nafsu berkuasa para predator bisnis, para oligark politik, para perusak sumber daya (alam, sumber daya manusia dan sumber daya ideologi/Pancasila), para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum, para tengkulak isu SARA, para cecunguk pengasong khilafah nyaris sselalu dibungkus rapi dengan muslihat “bela agama”, sehingga siapapun yang menolak mereka selalu dinarasikan menolak agama? Anehnya, kawanan cuti nalar, dan gerombolan bani micin defisit ilmu, klub jidatis, jenggotis plus cingkrangis segera melahap habis gorengan busuk penuh micin dan formalin ini.

Baca Juga:  Islamisasi Jawa (Seri ke-5)

Mengapa selera bangsa ini sedemikian rendah dan picisan justru di era internet of thing? Selera politik bau kentut, selera budaya mabuk Arab gurun, selera pendidikan mabuk Barat, termasuk selera video porno dan mazhab kecantikan. Dari 150 juta pengguna internet berapa gelintir yang masih sehat nalarnya? Mari seruput kopi mumpung masih hangat, mari merentangkan pikiran dn akal sehat selagi sempat.

Matematika menyebut dua kali dua sama dengan empat, Sosiologi menjawab dua kali dua semoga dampak sosial-kapitalnya empat, sementara itu Ekonomi memprediksi dua kali dua untung-ruginya mendekati empat, tak mau ketinggalan Politik mengkampanyekan bahwa dua kali dua adalah demo berjilid-jilid dan Ijtima’ Ulama sampai empat kali, nun jauh di sana ilmu Agama menjawab dua kali dua dengan menunggu fatwa karyawan MUI dan para pengawal fatwanya yang nunggu giliran kawin hingga empat yang jika tidak ada orderan demo, langsung kanker (kantong kering) stadium empat.

Nah, kabar terbaru, dua kali dua sama dengan kabur ke luar negeri dengan alasan empat, yakni kuliah, umroh, mencari ketenangan, sembari berharap pulang akan dijemput bak Imam Khomeini. Sampai-sampai ada anggapan dari bani cuti nalar permanen bahwa kabur adalah sebagian dari iman. Kemarin di Surabaya, Malang dan Manokwari, dua kali dua sama dengan kerusuhan empat kali sejak sengketa Pilpres, dua kali dua sama dengan gorengan tengik bakar bendera, yang konon katanya, oleh empat mahasiswa Papua. Saudara masih ingat, tahun lalu ada inisiden pembakaran bendera HTI? Siapa saja yang lantang membela bendera itiu? Ya itu-itu juga yang cari makan dan kedudukan dari kerusuhan.

Tuan dan Puan, Anda tahu bahwa salah satu korlap demo settingan terkait Papua kemarin teriak-teriak: “Mana Banser dan Ansor? Mana NU yang sok menjilat Pemerintah? Kok tidak ke Papua, kok tidak bela Papua? Katanya NKRI?!”

Baca Juga:  Mengenang KH. A. Wachid Hasyim: Perjalanan Terakhir menuju Sumedang 18 April 1953

Oke, mari seruput kopi sembari menyeruak labirin-labirin akal budi, setelah Nahdlatul Ulama kian mengibarkan sarung dengan ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, tiga puluh ribu pesantren, memiliki cabang di 194 negara dengan anggota lebih dari 100 juta, tiba-tiba golongan sakit hati di Negeri ini meneriakkan dua kali dua sama dengan asal bukan NU. Ya, 2×2 = yang penting bukan NU.

Apa sebab? NU adalah ancaman terbesar bagi segala niat jahat mereka untuk merusak dan mengacak-acak NKRI, kerukunan, kebinekaan dan toleransi. Sampai di sini tahu, kan, Sayang: mengapa dua kali dua sama dengan kabur dan menjadi tren: kabur sebagian dari iman?

Saya tidak ingin mengatakan yang anti NU dan ormas moderat lainnya sama dengan anti NKRI, tetapi fakta-fakta yang mereka tunjukkan satu dekade terakhir, terutama di tahun-tahun politik kemarin, sangat benderang untuk sampai pada kesimpulan di atas. Dus, menurut sampean, dua kali dua sama dengan berapa? Kabuuur…

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini