Al-Anbiya: 28
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُوْنَۙ اِلَّا لِمَنِ ارْتَضٰى وَهُمْ مِّنْ خَشْيَتِهٖ مُشْفِقُوْنَ
“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya”
Beberapa ulasan tentang ayat ini, antara lain:
Pertama: Imam ar-Razi menjadikan ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum (Dia [Allah] mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka) sebagai sebab para malaikat bisa melaksanakan ketaatan secara utuh. Dengan kata lain, tatkala mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi tindakan lahir dan batin, hal ini memacu mereka untuk tunduk dan memicu mereka senantiasa berada di puncak penghambaan yang sempurna.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna maa baina aidiihim wa maa khalfahum, namun kesimpulannya akan berujung pada pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu. Di saat kondisi kesadaran para malaikat seperti ini, bagaimana mungkin mereka tidak mempersembahkan ibadah kepada-Nya? Mana mungkin mereka lancang dan memberi syafaat kepada orang lain tanpa izin-Nya? Karenanya lanjutan ayat berbunyi wa laa yasyfa’una illaa limanirtadhaa (dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah).
Kedua: Aliran Muktazilah menjadikan ayat wa laa yasyfa’una illaa limanirtadhaa (dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah) sebagai dasar pandangan mereka bahwa para pelaku dosa besar (murtakib al-khabair) tidak akan memperoleh syafaat. Karena orang yang mendapat syafaat adalah mereka yang diridai Allah semata. Imam ar-Razi mengkritik pandangan ini dengan pendapat Ibn Abbas Ra dan Imam adh-Dhahhak yang menafsirkan limanirtadhaa (orang yang diridai [Allah]) adalah mereka yang pernah berucap laa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Dengan demikian, simpul Imam ar-Razi, ayat ini justru argumen yang kuat untuk menetapkan bahwa syafaat juga bisa diberikan kepada pelaku dosa besar, sebab orang yang berucap laa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) berarti ia telah diridai Allah; ketika mereka mendapat rida Allah, tentu mereka juga layak memperoleh syafaat.
Ketiga: Penggalan akhir ayat ini ditutup dengan kalimat wa hum min khasy-yatihii musyfiquun (dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya). Secara bahasa, kata khasy-yatihii dan isyfaaq sama-sama berarti “takut”. Namun Syaikh Ibn Ajibah, memberi perbedaan, bahwa kata khasy-yah adalah rasa takut yang disertai takzim (pengagungan), sementara isyfaaqmerupakan rasa takut yang serius. Lebih lanjut, saat kata isyfaaq menjadi kalimat transitif dengan huruf min (مِنْ) ia bermakna “takut”, sementara jika dengan huruf ‘ala (على) ia bermakna “mengasihani/ berbelas kasih”. Jadi pada ayat ini, karena terdapat huruf min (مِنْ) pada redaksi min khasy-yatihii , kata isyfaaq memiliki makna takut yang sangat.
Al-Anbiya: 29
۞ وَمَنْ يَّقُلْ مِنْهُمْ اِنِّيْٓ اِلٰهٌ مِّنْ دُوْنِهٖ فَذٰلِكَ نَجْزِيْهِ جَهَنَّمَۗ كَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: “Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.”
Beberapa hal penting dari pandangan ahli tafsir tentang ayat ini, antara lain:
Pertama: Makna dari ayat ini bukan berarti ada malaikat yang mengaku dirinya sebagai tuhan, melainkan untuk menunjukkan betapa Allah benar-benar murka terhadap siapapun yang menyekutukannya. Bahkan, sekiranya ada makhluk semulia malaikat yang mengaku sebagai tuhan, akan Allah timpakan azab untuknya. Dengan demikian, ayat ini mirip dengan az-Zumar: 65,
لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“… Sungguh, Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Yaitu sebuah ancaman yang berat terhadap upaya dan tindak kemusyrikan.
Kedua: Imam ar-Razi menjadikan ayat ini sebagai pamungkas untuk mencerabut asumsi tentang kemustahilan Allah memiliki anak. Menurutnya, al-‘ubudiyah (status hamba) secara niscaya akan menegaskan al-wilaadah (keturunan), hal ini dibuktikan dengan hal berikut: (a) Para malaikat, ketika sampai pada puncak kepatuhan (tha’at), hingga tak berani mengucap selarik kata dan berbuat sesuatu kecuali atas perintah-Nya, tentu ini merupakan sifat seorang hamba, tidak layak bagi seorang anak. (b) Ketika Allah mengetahui segala sesuatu secara lahir-batin, sementara malaikat tak sejumput pun memiliki pengetahuan kecuali apa yang Allah ajarkan pada mereka, maka ibadah seluruh makhluk hanya layak bagi Allah, bukan diperuntukkan malaikat. Hal ini seirama dengan pengakuan nabi Isa As,
تَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ وَلَآ اَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ ۗاِنَّكَ اَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ
“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib.” QS. Al-Maidah: 116
(c) Para malaikat tak bisa memberi syafaat kecuali atas orang-orang yang diridai-Nya, bila memang mereka adalah tuhan atau anak Tuhan, tentu hal tersebut tidak akan demikian. (d) Dalam puncak ketaatan, mereka justru semakin tunduk dan takut, ciri ini jelas sekali hanya layak bagi seorang hamba. Dan (e) ketika Allah memberi peringatan kepada mereka dengan firman-Nya, wa may yaqul min-hum inii ilaahum min dunihii fa zalika najziihii jahannam, (Dan barangsiapa di antara mereka berkata, “Sungguh, aku adalah tuhan selain Allah,” maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam) hal itu menunjukkan bahwa status mereka sama seperti hamba-hamba lainnya, yang dikenai tanggung jawab (taklif), janji baik dan ancaman; hal ini sudah barang tentu menunjukkan mereka bukanlah tuhan atau anak Tuhan.
Ketiga: Al-Qhadi Abd al-Jabbar, dari sekte Muktazilah, berpendapat bahwa potongan ayat terakhir yaitu kazalika najziz-zaalimiin (Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang zalim) menunjukkan dengan pasti bahwa para pelaku dosa besar tidak mungkin diampuni oleh Allah kelak di akhirat. Imam ar-Razi membantah pendapat ini dengan jawaban sederhana: puncak dari ancaman pada ayat ini ialah untuk memberikan rasa mencekam kepada seluruh hamba, bukan berarti semua makhluk akan dikenai ancaman ini. Di lain pihak, sekalipun tidak ditujukan pada al-Qhadi Abd al-Jabbar, Syaikh Thabathaba`i menjelaskan bahwa narasi ayat ini, dalam logika, dikenal sebagai proposisi kondisional (qadhiyyah syarthiyyah) yang terdiri dari anteseden (muqaddam) dan konsekuen (taali), namun demikian proposisi ini tidak meniscayakan terjadinya anteseden. Karena itu, pandangan al-Qhadi tidak memiliki argumentasi yang kokoh dalam hal ini.
Wallahu a’lam. [HW]