Tepatnya tanggal 8 Juni, 30 tahun lalu, Djamaluddin Malik wafat di Jerman, karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Ia pernah aktif di GP Ansor Kebun Sirih, Jakarta. Kemudian jadi Ketua Umum Lesbumi pertama, sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan atas restu para ulama pada 28 Maret 1962. Lalu, ayah Camelia Malik ini, menjadi Ketua III PBNU.
Atas jasa-jasanya, pemerintah mengukuhkannya sebagai pahlawan dengan mendapatkan Bintang Mahaputra Kelas II/Adipradhana.
Perkenalan Djamaluddin Malik dan NU
Tadinya anak buah saya bermaksud, jika sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri. Lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada yang di Hizbullah (pimpinan KH Zainul Arifin) ada yang barisan pemberontakan rakyat (Pimpinan Bung Tomo) dan sebagainya.”
Itulah ungkapan Djamaludin Malik yang dikemukakan kepada KH Wachid Hasyim yang didokumentasikan KH Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren. Selain Kiai Saifuddin, hadir dalam pertemuan itu KH Fattah Yasin, laskar Hizbullah yang bergabung ke Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Menurut Kiai Saifuddin, percakapan itu terjadi di Yogyakarta, saat ibu kota pindah dari Jakarta sejak 4 Januari 1946 hingga 28 Desember 1949. Saat itu wilayah Indonesia menyempit akibat perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. Karena itulah kabinet Amir Syarifudin jatuh.
Djmaluddin Malik lahir di Padang, 3 Februari 1917. Pada masa mudanya, ia menyukai seni dalam bidang teater. Ia kemudian mendirikan Panca Warna 1942. Kelompok teater ini berkeliling hampir ke seluruh kota besar Indonesia. Tujuannya untuk membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air. Daya jelajahnya tidak hanya di pulau Jawa, melainkan Sulawesi dan Kalimantan.
Rupanya, Djmaluddin merasa tidak berjuang untuk Tanah Airnya. Ia tidak puas dengan aktivitasnya itu. Kemudian, ia bersama kelompoknya berniat menetap di Yogyakarta dan akan turut mengangkat senjata untuk terjun ke kelaskaran dan tentunya meninggalkan pentas sandiwara.
Namun, niatnya itu ditolak KH Abdul Wachid Hasyim. Ia punya pandangan lain tentang perjuangan. Menurutnya, berjuang tidak harus dengan senjata atau kelaskaran. Perlu ada yang berjuang di di berbagai lapangan dan bidang, termasuk dalam kesenian. Lagi pula, menurut Kiai Wahid, anggota kelaskaran sudah sangat banyak, sementara orang-orang yang berjuang lewat seni, khususnya sandiwara, masih sangat kurang. Padahal itu amat penting dalam perjuangan besar.
Menurut Kiai Wachid, dalam sebuah pementasan sandiwara, rakyat bisa bertemu dan berkumpul. Pada saat itu, laskar-laskar bisa menyusup. Karena itulah Kiai Wachid menyarankan supaya Djamal segera ke Jakarta yang waktu itu sudah dikuasai Belanda. Kemungkinan besar, kelompok sandiwara tidak akan dicurigai.
Pandangan kiai jenius, putra Rais Akbar NU, Hadratusyekh KH Hasyim Asyari ini diterima Djamaluddin Malik. Dia pun memantapkan diri dengan berjuang terus lewat kelompok sandiwaranya. Tak heran kemudian jika ia mendirikan Persari, sebuah perusahaan film. Tokoh NU yang lain, Usmar Ismail, mendirikan Perfini. [RZ]