Setelah mengaji, Margono ngopi dengan orang yang baru dia kenal. Perkenalan itu bermula saat mengikuti pengajian perdananya di sebuah kota, dimana rumornya yang dia dengar, ada kyai yang rasional nan filosofis.
Margono merasa terbantu dengan adanya Acul. Pemuda peka atas kondisinya yang sedang bingung, karena dia ingin menyimpan ingatannya pada sebuah catatan di buku namun tidak membawa pulpen. Acul menjulurkan dengan suka rela sebuah pulpen, Margono merespon dengan mengucapkan “Terimakasih”.
Dalam pengajian itu, Gus yang dikenal dengan gelarnya “an-Naatiq”, membahas tentang aqobah (rintangan) manusia dalam menjalani kehidupan didunia. Pada pembahasan itu gus Naatiq membaca kitab minhajul abidin yang ditulis oleh seorang yang “melaut ilmunya”, dan mashur dilingkaran kaum sarungan dengan sebutan Imam al-Ghazali.
Pada keterangan yang disampaikan gus Naatiq, “Imam al-Ghazali memberikan empat klasifikasi rintangan dalam beribadah kepada tuhan yang akan dihadapi manusia; pertama adalah rintangan yang berasal dari dunia (harta, jabatan, kehormatan). kedua adalah hambatan yang datang dari makhluk (laki-laki/perempuan). Ketiga adalah gangguan yang hadir dari bisikan setan. Dan yang terakhir atau keempat adalah godaan yang munculnya dari hawa-nafsu.”
“Rintangan-rintangan ini akan dialami semua manusia seperti kita – yang ngaku milenial ini- sebagai ujian, seberapa fokuskah pada tujuan awal, yaitu ibadah itu sendiri. Dan ini, akan menghalangi serta memperlemot pendakian spiritual dan perjalanan intelektual seseorang.
Manusia itu akan diburamkan fokusnya untuk “memandang” kuasa Tuhan, serta akan “disumbat” kecerdasannya dari memahami apa yang dia pelajari.”
“Imam al-Ghazali memberikan hierarki rintangan, godaan hambatan atau gangguan dengan beberapa level. Yang paling berat adalah godaan yang muncul dari nafsu.
Sedangkan yang paling ringan adalah bisikan dari setan. Ini diperkuat dengan dua argumentasi; nafsu tak terlihat dan nafsu sudah diklaim (nash) dalam al-Qur`an surat Yusuf ayat 33. Dan dari segi paling ringannya rintangan adalah karena setan ada liburannya saat Ramadhan, serta dari Firman Tuhan dalam surat an-Nisa’ayat 76.” Gus Natiiq menerangkan.
“Setiap manusia akan mendapati ujian dari salah satu rintangan diatas. Entah ujian itu dari makhluk, dunia, setan atau rintangan itu langsung datang dari keempat-empatnya secara bersamaan. Semisal, kalian yang masih ‘prematur’ secara mental, digoda tante-tante penggila ‘brownies’ yang ‘aduhai’, kaya, mengajak pada ‘tindakan tidak sportif’.
Ujian-ujian semacam ini sulit sekali dikendalikan oleh pemuda seperti Zanqy dan Bonobo. Walaupun sudah agak lama mengaji di sini. Karena secara naluriah, nafsu birahinya mengajak untuk bersenang-senang dengan lawan jenisnya.
Sebagaimana pernyataan Sigmund Freud bahwa, manusia itu sudah terinstal “libido” pada dirinya. Hal ini juga ditopang dengan kecantikan, kekayaan dan juga design setan untuk memoles tante itu, agar terlihat semakin ‘montok dan bergizi’.
“Hal-hal diatas hanya sebagian contoh yang belum ekstrem.” Kata gus Naatiq sambil cekikian.
“Contoh-contoh yang lain bisa dikembangkan dan bisa dimodifikasi lebih “eksotis” oleh Patemon bin Boy Coboy yang kabarnya menjadi saudara jauh Acul? Dia ahlinya ahli, intinya inti dalam membuat analogi dan segudang contoh beraroma ‘japanisme’ itu sendiri.” Penjelasan gus Naatiq sambil menanyai santrinya tentang kabar persaudaraan itu.
“Nah, apalagi Acul yang baru tahun lalu mengaji di sini. Tante itu belum menggoda, Acul pasti akan menggoda sebelum niat itu tiba. Jadi menggodanya mendahului niat itu sendiri.” Penjelasan kyai Naatiq yang disertai tawa karena sudah mengenal kecenderungan santri-santrinya.
***
Setelah selesai mengaji, akhirnya Margono memulai percakapan dengan Acul sebagai bentuk terimakasih kepadanya, dan mengajaknya untuk ngopi di warkop terdekat. Warkop itu milik Mak Duro yang letaknya dekat pengadilan. Mereka ngobrol ngalor-ngidul sekaligus ngibul sana ‘ngebul’ sini. Dalam percakapan keduanya, terselip obrolan yang ringan dan kelihatannya berbobot.
Acul bertanya pada Margono untuk mengetes nalarnya; “Kamu kepikiran nggak, kalau ujian terbesar umat manusia ternyata yang pertama adalah nafsunya sendiri. Lalu rating kedua, ketiga setelah nafsu itu apa?”
“Waduh” Margono kaget dengan sambaran pertanyaan itu.
“Berikan waktu sebentar untuk kupikirkan, soalnya itu tidak dijelaskan dikitabnya, kan ya?” Tanya Margono.
“Betul, kalau sudah dijelaskan, ngapain aku tanya kamu?” sahut Acul sembari menyeruput kopi panasnya yang sudah mereka pesan.
Sembari berpikir, Margono menyalakan rokoknya, dengan harapan bisa menemukan ide untuk menjawab pertanyaan Acul. Dia mengumpulkan serpihan-serpihan pengetahuan masa lalunya untuk dirangkai menjadi suatu jawaban. Akhirnya dia ingat beberapa hal, lalu ia berkata “Jawaban sementara dariku, urutan ratingnya adalah pertama dari Nafsu, kedua makhluk, ketiga dunia, dan yang terakhir adalah dari Setan.” Margono menjawab dengan berseri-seri.
“Apa alasannya?” Tanya Acul
“Karena Aku laki-laki!” Margono sambil menebar senyum gingsul.
“Emang kalau perempuan urutannya bisa beda?” tanya acul dengan muka penasaran.
“Jelas, jadi kalau versi perempuan pada umumnya, level ujian dalam beribadah itu; pertama dari Nafsu, lalu dunia, kemudian makhluk, dan yang terakhir adalah dari bisikan setan.”
“Bagaimana rasionalisasinya?” Tanya Acul yang masih belepotan -walaupun sudah agak senior menjadi santri di Gus Natiiq itu- dengan penggunaan istilah ilmiahnya yang diungkapkan.
“Waduh, Kamu duluan saja yang berpendapat. Bagaimana urutannya menurutmu. Aku mau merokok dulu.”
“Aku ini kan tanya padamu, masak mau dijawab sendiri? Kalau aku jawab pertanyaanku, kamu nanti malah akan minta jam ngaji privat padaku, hahaha.” kata Acul dengan gaya songongnya.
“Okay, tunggu yaa,,,” Respon Margono.