Santri

Mengapa Harus Belajar?

Mula-mula sebagai muslim tentu kita amat akrab dengan pepatah yang dijulurkan Nabi bahwa mencari ilmu itu hendaknya sampai ke Negeri China. Hal demikian dimaksud tersebab pada zaman dulu kompilasi perdagangan antara China, Arab, India dan Nusantara (Indonesia) sudah terjalin rapih. Bahkan ada yang menyebutnya 500 tahun SM hal demikian sudah eksis dan terjalin dengan hangat. Sehingga tidak nisbi bila mana Rasul menganjurkan umatnya untuk belajar sampai ke Negeri China.

Secara majazi ini dimaksudkan bahwa kita hendaknya belajar, proses pengembaraan intelektual itu sejauh mungkin dan jangan berpangku tangan di rumah, di desa atau dalam bahasa sederhana hanya cari aman saja.

Bila kita membuka ulang ingatan kita tentang peristiwa belajar atau secara sederhana pembentukan ilmu pengetahuan, tentu memori kita akan berbalik kepada peristiwa mula penciptaan Adam dan Hawa. Bukan dalam konteks perjodohan keduanya, namun terlebih bagaimana dalam prosesi pembekalan Adam untuk turun ke bumi, Tuhan lebih dulu mengkontruksi Adam dengan multiple knowledge atau interdisipliner ilmu pengetahuan.

Mempersiapkan Nabi Adam agar siap dengan segala problema dan ujian yang nantinya atau kelak akan Tuhan utuskan kepadanya, lebih dari pada itu ialah bagaimana kelak anak cucunya mengiblat kepadanya perihal persiapan menghadapi dinamika hidup yang bervarian dengan bekal mendasar yang kokoh bernama ilmu pengetahuan yang dimulai dari hal kecil bernama belajar.

Mula-mula tentu perlu kita buat pertanyaan sederhana bahwa mungkinkah Tuhan mengirimkan seluruh ilmu pengetahuan semudah mengucap kun fayakun kepada manusia tanpa perlu belajar? Atau mampukah Tuhan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada manusia hanya serupa di hembusan nafas yang keluar dari rongga dada manusia? Hal ini tentu amat mungkin bila kita berkaca pada ke-Maha Kuasa-an Tuhan yang tiada batasnya. Namun pertanyaan selanjutnya, tapi mengapa Tuhan tidak melakukan hal tersebut?

Baca Juga:  Bagaimana Muslim Milenial Mencari Guru?

Jawabannya sungguh sederhana, di balik hikmah dari peristiwa tersebut adalah Tuhan mengajarkan kepada manusia betapa pentingnya proses dalam lahirnya ilmu pengetahuan lewat hal bernama belajar. Mengapa? Lihat saja, Nabi Adam sang manusia paling dini punturut merasakan lahirnya ilmu pengetahuan dalam dirinya lewat pengajaran benda-benda sekitarnya kala itu. Ini mengindikasikan bahwa proses dalam kegiatan belajar memberikan pengalaman tersendiri bagi manusia.

Bertolak dengan Nabi Adam, mari kita tebarkan ingatan pada kisah Nabi kita Muhamad SAW, yang dalam proses belajarnya memiliki pengalaman multi, dalam arti ia tak hanya mengalami pembelajaran atau kontruksi intelektual, namun juga ia mengalami kontruksi emosional dan juga spiritual. Mengapa demikian? Ya, bila kita baca ulang sejarah kenabian bagaimana saat mula Rasul mendapat risalah pertama, ia mesti mengulang sampai tiga kali dengan perasaan kalut, gemetar, merinding bahkan gejolak batin yang mendalam tersebab tak bisa mengikuti intruksi yang Jibril berikan kala mendekap tubuhya. Namun di tak lepas dari pada itu, sang Jibril tetap kekeh mengajarkan kepada Rasul untuk mengikuti apa yang ia katakana meskipun hasilnya masih nihil Rasul tak bisa mengikuti. Barulah kemudian ketika Jibril tuntun menggunakan kalimat bermuatan penghambaan kepada Tuhan, Rasul pun mengikuti kendati dengan suara terbata-bata.

Kedua peristiwa tersebut merupakan gambaran kecil peristiwa belajar yang tentu masih banyak lagi jenisnya dan dialami oleh orang-orang yang juga dikasihi Alllah dari betapa seorang yang amat dekat dengan Tuhan pun dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan hidup, mereka terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pengetahuan berupa belajar. Hal ini dimaksud agar kelak keduanya ketika menghadapi realitas manusia yang begitu unik tidak lagi kaget.

Baca Juga:  Belajar Cara Belajar di Hari Pendidikan Nasional

Kehidupan yang terus berjalan maju akan menyajikan tantangan serta ujian yang semakin maju pula. Keterikatan ruang, zaman, waktu, tempat atau bahkan imajinasi turut member warna tersendiri dalam proses belajar. Sehingga untuk menjawab tantangan itu, harga matinya ialah siapkan ilmu sebanyak dan sedini mungkin. Mengapa? Sebab ilmu adalah rekan paling akrab umat manusia, ia tak pernah berbohong dan tak pernah selingkuh kepada empunya.

Dengan ilmu pula manusia mampu berpetualang di tengah lautan kehidupan serta menebarkan sayap setinggi bintang guna meraih kejayaan iman dan taqwa dalam hidupnya. Lebih dari itu, dengan ilmu pulalah manusia dapat berjumpa dengan Tuhannya.

Tentu kita sebagai muslim yang begitu memuji keduanya baik Nabi Adam selaku ayah umat manusia atau pun Nabi Muhammad selaku revolusioner umat manusia, mestinya dan memang dalam bahasa diri kita sendiri adalah harus membaca ulang sejarah manusia-manusia mulia seperti mereka lalu mengambil hikmah guna melangkahkan kaki lebih jauh di masa depan.

Belajar, bila kita boleh jujur, tentu itu merupakan hal yang melelahkan dan membosankan. Kerap kali sebagian kita lebih memilih berleha-leha atau menyelingkuhi kegiatan ini lalu mencari pelampiasan lain kerana tak sanggup menahan jenuhnya belajar. Padahal ujar-ujar lama yang kiranya masih cocok sepanjang yang pernah didengungkan oleh Imam Syafi’I bahwa barang siapa tidak mau merasakan payahnya belajar walau sesaat saja, niscaya ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidup. Pun bila kita mau mengimbuhi dengan perkataan Syech Syarafudin Yahya al-Imrithi beliau menuturukan bahwa idealnya pemuda harus memiliki keyakinan (dalam menuntut ilmu) yang tinggi, sebab tanpa keyakinan tentu tidak akan berguna.

Dua nasihat dari ulama dan dua contoh dari Nabi kita yang sangat masyhur itu kiranya terlampau cukup untuk menasihati diri sendiri yang sering dan kerap kali malas dan tersiksa untuk belajar. Mengapa? Sebab ilmu pengetahuan itu seluas samudera beserta kedalamannya, ia akan terus berkembang mengikuti ruang, waktu, zaman, sejarah dan juga kemajuan peradaban manusia.

Baca Juga:  Tholabul Ilmi Santri Salafiyah, Kajen: Refleksi Belajar Menggunakan Aplikasi Hingga Kitab Klasik Pesantren

Maka dari itu, tentu amat merugi bagi mereka (apalagi generasi muda) yang lebih awal mengibarkan bendera putih dengan tantangan bernama belajar dan lebih dini menarik selimut lalu pasrah pada kebodohan padahal intelektualitas perlu terus diasaah dan diasuh, emosinalitas perlu terus dididik serta spiritualitas perlu terus didadki guna menyiapkan bekal mengarungi samudera kehidupan yang tak bertepi selain menghadap sang Illahi. Wallahu A’lam Bishawab

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri