Masalah makanan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan pesantren. Memang tak semua pondok pesantren di Indonesia mempunyai dapur santri yang secara khusus disediakan untuk memasak sendiri.
Dahulu memasak menjadi barang lumrah, bahasa jawanya “nggendok, ngliwet”. Berbekal tungku dari batu bata, tak ada kayu bakar, kayu rongsokan meja pun jadi sasaran.
Ngliwet menurut hemat penulis dimana memasak nasi dengan tanpa di pindahkan di atas sarang, jadi langsung beras ditambahkan air secukupnya, kalau airnya sudah hampir habis, volume api dikecilkan sekecilnya sampai matang. Teksturnya lembut, selembut hati santri yang rela bergelut. Sangitnya asap mengepul dinding-dinding langit.
Namun biasanya tidak bertahan lama, karena kadar air masih tersimpan. Berbeda memasak dengan didang (dimasak menggunakan sarangan, prosesnya dua kali) yang kuat bertahan satu hari semalam.
Sayang, kini tak banyak santri yang berminat untuk ngeliwet. Karena kesibukan atau sudah bergaji transferan rumahan. heuheuheu. Husnudzon penulis, karena sibuk dengan deadline (katanya) sehari-hari harus dikumpulkan.
Sayang sekali, bahkan santri ada yang memesan Go food. Tidak menampik sebenarnya, bahwa kecanggihan teknologi menjadi kemudahan. Dis tidak menyalahkan, tapi tidak membenarkan jika santri COD-an di depan ndalem masyayikh.
Gak lucu kan? Jangan di bayangkan..!!hehe. Lagi-lagi sayang, kalau sisa di nampan, tidak dihabiskan.
Terlepas dengan berkurangnya santri yang memasak dan makan dalam satu nampan. Banyak fadhilah yang tersimpan. Kalau memang di budayakan. Kita lihat budaya di Yaman, para ulama’ makan dalam satu wadah bersama-sama, hingga sekarang masih dilestarikan.
Tahun lalu, berkesempatan Praktik Pengajaran Lapangan bertempat di Desa Madiredo Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Bermukim di rumah seorang yang kaya raya. Ternyata dalam keluarga besarnya kalau makan bersama tidak kok prasmanan ambil satu-satu piring, namun wadah nampan di hidangkan. Bukan kok ibunya pelit, rumahnya lantai 2 dengan kolam renang dalam.
Loyal beliau terbukti penulis dikasih uang saku gambar Bapak Proklamator, hehehe. Jadi sungkan kalau silaturrahmi kesana bolak-balik.
Dari berbagai sumber dan pengalaman pribadi beberapa fadhilah dari makan bersama dalam satu nampan diantaranya.
Pertama, menghilangkan rasa kesombongan. Bagaimana tidak, kalau kita makan sendiri apalagi prasmanan di hotel bintang lima. Seakan-akan jatuh di bulan full roti, jerry makan sepuasnya. Makan bareng-bareng taka da kamusnya makanan sisa. Berbeda makan sendiri kadang perempuan memburu gengsi dengan makan di kondangan tidak dihabiskan.
Kedua, menambah nafsu makan. Bayangkan kalau kita tidak cepat dalam gerakan seperdetik, maka lauk wa akhowatuhu sudah lenyap dari peredaran. Meskipun itu hanya terong gosong dan tempe.
Ketiga, tidak dihisab di akhirat. Untaian ini penulis dapat ketika mengikuti pengajian sunnah dhuha di ndalem induk oleh KH. Shohibul Kahfi. Memang santri, yang ketika ngaji terkadang maksiiuuut alias ketiduran, hingga maqolah hadistnya lupa. Hehe.
Pokok intinya begini ”Semua apa yang dimakan, akan di pertaggungjawabkan. Barang siapa yang makan secara bersama-sama dalam satu nampan, maka tidak akan dihisab (dipertanyakan).”
Itu yang masih teringat terngiang-ngiang hingga sekarang. Yang membuat penulis semangat dalam memasak. Jika ada salah silahkan disalahkan.
Pernah dalam kesempatan ketika masih menjadi santri kalong/nduduk/kampong atau apalah itu. Pokoknya tidak berukim di pondok.
Ikut memasak besar di salah satu pondok pesantren di Trenggalek. Acaranya tasyakuran khataman Alfiyah Ibn Malik. Bukan kitabnya, tapi hafalannya yang 1002 bait. Bergengsi memang santri yang mampu dengan tuntas melibas bait-bait asal andalus.
Masak besar diagendakan. Semua peralatan dan kebutuhan masak di beli tanpa terkecuali daging ayam menjadi masakan idaman.
Memang dasarnya pondok salafiyah, yang serba sederhana. Semua keperluan masak di tangani oleh santri putra. Mulai memperhalus bumbu sampai masakan siap saji.
Kompor tidak ada, hanya tungku menjadi sarana. Kayu bakar siap mencari di tegalan (pekarangan pondok), kayu bekas bongkaran pembangunan dan kayu bekas bangku-bangku jadi incaran.
Alhamdulillah matang pada waktunya. Sedari tadi rangkaian round down acara tasyakuran banyak sambutan dan wejangan (nasehat-nasehat) dari ustadz. acara yang ditunggu-tunggu, makan bersama di nampan.
Satu nampan berisa lima sampai enam santri langsung mengeksekusi nasi yang masih panas. Ditambah masakan kaldu ayam yang juga masih terlihat seperti fatamorgana saking panasnya. Semua panas, namun tangan-tangan santri kebal, karena sudah terlatih.
Bagaimana tidak terlaltih, kalau telat menunggu panasnya hilang, sudah tidak kenyang.
Itu sekelumit santri, dan masih banyak lagi. Percayalah, sesulit apapun sekarang, kesuksesan itu akan datang.