Negara dan Agama dalam sejarah peradaban manusia merupakan fenomena sosial yang sangat konkrit. Di mana praktik keagamaan individu turut memengaruhi bentuk dan sistem suatu negera. Begitu pula sebaliknya, bentuk dan sistem negara pun turut serta memengaruhi praktik keagamaan suatu individu. Maka, keduanya, antara agama dan negara merupakan suatu hal yang mengikat. satu di antaranya tidak dapat dipisahkan sama sekali.

Negara memiliki beragam bentuk yang mengakomodasi para warganya. Selain mengakomodasi, negara juga mengatur dan mendisiplinkan warganya sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya, di Arab Saudi yang dikenal dengan sangat totaliter dengan ketentuan cakupan agama Islam secara komprehensif. Dengan sifatnya yang demikian, Arab Saudi dengan sangat tegas melarang praktik agama selain Islam. Di sisi yang lain pun demikian, negara-negara Komunis pun menjunjung sikap totaliteriannya dengan melarang atau membatasi praktik agama tertentu.

Dari kedua ilustrasi di atas, merupakan gambaran mengenai spektrum yang memperlihatkan penempatan agama di bawah kendali negara. Di sisi lain, di spektrum yang sebaliknya, agama yang berkembang layaknya pasar bebas ditemukan di negara-negara liberal seperti Prancis, Amerika Serikat dan lain sebagainya. Namun yang perlu digaris bawahi ialah, diantara keduanya bukan realitas secara komplek melainkan hanya potret kecil mengenai representasi negara tersebut.

Maka tak heran, selain dengan potret kecil, dengan inkosistensi negara-negara tersebut mereka juga cenderung melakukan pembatasan dan pelonggaran terhadap agama atau kepercayaan lainnya. Seperti halnya, di negara-negara liberal yang membatasi bahkan melarang praktik-praktik agama tertentu. Pun, Arab Saudi yang memberlakukan madzab Hambali sebagai porosnya ternyata juga melonggarkan penganut madzhab lain dalam ibadah haji di tanah suci.

Membaca Indonesia

Indonesia secara de jure tidak mengakui agama resmi yang melekat pada negara. Namun, memaksa warganya untuk menganut salah satu agama resmi yang telah diakui. Maka tak heran, jika Indonesia disebut oleh Mark Woodward sebagai bukan negara religius dan bukan negara sekuler (ed. Risakotta, 2015).

Baca Juga:  Pentingnya Penerapan Nilai Moderasi Beragama Bagi Generasi Milenial di Era Digital

Dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan 1945, kelahiran Pancasila menuai polemik yang berkaitan dengan tiga unsur yakni agama, etnis, dan teritori. Dari ketiga unsur tersebut maka dari pihak Muslim bersikap mengalah dalam perumusan dasar negara dengan menghapus diksi ‘syariat Islam’ mengingat umat Kristiani sangat masif menduduki Indonesia bagian timur.

Kelangsungan hidup negara terus diupayakan para pendiri. Bahasa Indonesia menjadi pemersatu paling utuh di antara serpihan-serpihan pemersatu lainnya seperti agama dan etnis. Sehingga di antara agama dan etnis diperlukan penekanan secara terus menerus mengenai toleransi yang juga turut memengaruhi kelangsungan hidup bernegara.

Maka, pengelolaan agama dalam hal ini menjadi sangat penting. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia hanya mengakui lima agama resmi yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Seseorang dapat memilih di antara lima agama resmi tersebut. Hal ini berimplikasi bahwa agama Sikh, Yahudi, Jainisme dan lain sebagainya dilarang dianut oleh warga Indonesia. Pun, penghayat kepercayaan yang notabene sudah ada sebelum negara merdeka dan lahir dari rahim masyarakat Indonesia pun dilarang oleh negara.

Namun, perlu digaris bawahi bahwa untuk menjadi negara resmi di Indonesia, suatu agama dengan sangat wajib memiliki konsepsi monoteistik dan memiliki kitab suci dan nabi. Hal ini mendorong agama Budha dan Hindu untuk menafsirkan ulang ajarannya, mengingat secara mendasar kedua agama tersebut tidak tergolong agama monoteistik.

Pada dekade ke dua rezim Orde Baru memimpin, penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan diakui secara resmi oleh negara. Walaupun demikian, kelompok Islam menganggap aliran kebatinan sebagai aliran sesat karena menolak kewajiban syariat dan mengajarkan doktrin persatuan tuhan dan manusia. Sehingga polemik di antaranya membuat aliran kebatinan diposisikan di bawah garis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kementerian Agama (D. Weatherbee, 1985).

Baca Juga:  Sayyidah Aisyah Juga Cemburu

Pemerintahan Era Reformasi telah membebaskan pembatasan agama secara lebih luas. Dengan meresmikan pada Konfusianisme sebagai agama Resmi di Indonesia. Selain itu, pengelolaan agama melalui dialog antar agama dan promosi perdamaian serta peran FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) bergerak secara masif. Payung tunggal mengenai suatu agama pun telah melemah, di mana pemilihan umum pada Era Reformasi menunjukan hasil yang tidak didominasi oleh partai-partai politik agama. Sehingga struktur hegemonik pada tiap agama tidak menemui momentumnya di dalam lingkungan yang pluralistik.

Belakangan muncul pengelolaan keragaman oleh negara yang sebenarnya nilai-nilainya telah ada lama namun baru kali ini diimplementasikan oleh negara. Tak lain ialah ‘Moderasi Beragama’. Di mana nilai-nilai moderasi beragama ini salah satunya diambil dari konsepsi Islam Nusantara.

Dalam buku “Moderasi Beragama” (MB) terbitan Kementerian Agama (2019), prinsip-prinsip MB bertumpu pada karya Kamali (2015) dengan beberapa prinsip tambahan terkait politik budaya lokal dan Indonesia dalam pluralisme agama. Secara teologis, MB dalam buku ini tidak secara khusus Islam tetapi mencakup seluruh agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Budha, Hindu, Kristen/Katolik, dan Konghucu.

Dari situ diketahui bahwa MB memiliki konsentrasi yang penuh terhadap budaya lokal. Sehingga tidak hanya melakukan pelestarian an sich budaya lokal yang banyak dilupakan. Namun juga menggali nilai-nilai budaya lokal yang kini kian tergerus oleh situasi kontemporer.

Memang, negara memiliki visi yang patut diapresiasi mengenai pengelolaan keragaman agama melalui Moderasi Beragama. Namun, dalam tataran akar rumput, MB kiranya belum menyeluruh praktik-praktik moderat terhadap agama-agama yang tidak diakui negara. Belum lagi soal aliran kepercayaan yang dari orde lama hingga reformasi yang kian terus menjadi korban kekerasan-diskriminasi. Wallahu a`lamu

Referensi

Baca Juga:  Membangun Moderenisasi Beragama Melalui Media Audiovisual Bioskop

Adeney, Rissakota Bernard, 2015, Dealing With Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia, Yogyakarta: ICRS.

D. Weatherbee, 1985, Indonesia In 1984: Pancasila, Politics and Power, Asian Survey.

Kamali, MH, (2015). Jalan Tengah Moderasi dalam Islam, Prinsip Al-Qur’an Wasatiyyah, New York: Pers Universitas Oxford.

[RZ]

Satrio Dwi Haryono
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini