Saat mondok di Kajen dan di beberapa pondok setelahnya, bapak saya selalu menutup informasi tentang keadaan rumah dari saya. Bahkan berita kewafatan nenek saya, mbah kandung terakhir yang tersisa waktu itupun tidak. Saya baru tahu kalau mbah siti_ ibunya bapak_wafat beberapa bulan setelahnya, saat pulang liburan. Bapak memegang teguh prinsip: bahwa seorang santri haruslah terasing dari dunia luar kalau ingin berhasil. Sebagaimana keterangan yang tertulis dalam kitab ta’limul muta’allim.
Karena memang salah satu tujuan utama mondok adalah pengasingan diri, sebagaimana keterangan tambahan dalam kitab ta’lim juga: “Koyok njenengan kabeh niki diarani ghurbah, ngumboro. Ono seng adoh ono seng idek, tapi yo panggah. Kangge medot hubungan duniawiyah(seperti anda semua_santri_ ini disebut ghurbah, pengembara asing. Ada yang mengembara jauh, ada yang dekat. Namun semua tujuannya sama, yaitu untuk memutus hubungan duniawiyah)”.
Kedisiplinan untuk selalu mengasingkan anak yang sedang mondok ini tanggung jawab bersama antara anak, dan orang tua. Kedua pihak harus sama-sama menahan diri dari perasaan hati dan naluri manusiawi. Kini, sangat banyak terjadi kejadian dimana orang tua tak mau mengasingkan anaknya saat dipondok. Acara sekecil apapun, kejadian seremeh apapun, diceritakan dan diberitahukan semua kepada anaknya yang sedang mondok. Bahkan sering dijemput untuk diikut sertakan dalam acara apapun yang ada dirumah. Seringkali, acara tak penting pun tetap disuruh pulang.
Berbeda dengan cerita banyak santri lama yang akhirnya menjadi kiai, seperti yang diceritakan bapak suatu ketika saat ngaji selasa:”Onten kiai mondok ten termas. Terus semayan karo keluarga ojo dikabari masalah omah. Tapi panggah dikirimi surat, tapi kaleh kiai niki mboten dibukak langsung dilebokne koper(dulu ada kiai yang mondok di pondok Termas. Saat berangkat dia berpesan kepada keluarga untuk tidak mengabari kepadanya tentang keadaan rumah. Tapi ternyata tetap dikirimi surat oleh keluarga. Namun surat itu langsung dimasukkan koper, dan tidak pernah dibuka oleh sang santri)”.
“Mboso pun telung tahun terus dibukak surate: umpomo biyen tak bukak mesti muleh aku(setelah tiga tahun mondok, surat tersebut baru dibuka oleh sang santri. Dan dia berbisik: kalau dulu surat ini langsung saya buka, maka saya pasti akan pulang kerumah)”.
“Lek iso ngoten(memang seharusnya seorang santri itu seperti ini)”.
Kemudian bapak bercerita tentang pengalaman pribadi beliau:”Wong surat reno-reno. Kulo ngalami. Nembe budal pondok kok enek seng ngekeki surat. Gak tak bukak. Mung tak lebokne koper tok. Coro dibukak yo nyenengne ati(memang surat ini beraneka macam. Saya sendiri pernah mengalami. Baru berangkat mondok, lalu ada yang mengirimi surat. Namun tidak saya buka, hanya saya masukkan koper saja. Kalau seumpama dibuka, isinya sangat menyenangkan hati”.
Dalam usahanya mengasingkan diri, bapak tidak hanya menolak surat yang datang. Namun beliau juga tidak pulang kerumah selama beberapa waktu. “Kulo niku gak muleh neng omah yo tau. Seng rodok suwe kulo gak muleh, telung tahun. Mak e kulo lek pengen kepetuk yo neng pondok. Lek gak kober yo pesen wong neng deso kene. Ngekeki sangu yo wes(saya juga pernah tidak pulang kerumah. Yang agak lama, saya tidak pernah pulang selama tiga tahun. Kalau emak saya pengen ketemu ya datang kepondok. Kalau tidak memungkinkan datang, biasanya berpesan kepada lain orang untuk menemui beliau disuatu desa lain. Namun hanya sebatas ketemu, memberi uang saku, sudah. Begitu saja)”.
“Neng pondok yo ngaji sak enek e karo mudawamatil jamaah telung tahun. Bareng kaleh mboten wangsul. Kaleh bareng wiridan neng gurine kiai. Semongso kiaine kesah, kulo dadi kiai nyar ngganteni ngimami. Tapi geh kancane mboten katah. Paleng limo, nenem(saat mondok, saya ya ngaji seadanya. Ditambahi jamaah tiga tahun selalu istiqomah, bareng dengan tirakat nahun, tidak pulang kerumah. Juga selalu wiridan dibelakang kiai. Bahkan kalau kiai pergi, saya disuruh jadi kiai pengganti untuk ngimami)”.
Dan hasil dari nyantri yang terasing ini, banyak yang sukses. “Mulo songko niku, neng pondok koyok klemar-klemer. Tapi kerono ngoten niku, ngajine tenanan. Muleh yo dadi kiai(oleh karena itu, banyak santri pondok yang ketika mondok keliatan klemar-klemer. Ngaji juga seadanya, namun bersungguh-sungguh dengan mengasingkan diri dari dunia luar, ketika pulang ya jadi Kiai)”.
Semua cerita ini, mendukung teori dari bapak yang selalu beliau pesankan:”santri gelem meneng tok neng pondok ki wes enek barokahe(seorang santri mau diam saja didalam pondok, itu sudah mengandung banyak barokah)”. Karena memang walaupun dia tidak ngaji dan atau melakukan tirakat khusus, namun dengan mau mondok itu sendiri, sebenarnya sudah melakukan satu tirakat. Yaitu memutuskan hubungan dari dunia luar.
Kebarokahan mondok ini mungkin tak menjamin seorang santri jadi kiai, atau alim ilmu agama. Karena keduanya berkaitan erat dengan kesungguhan ngaji. Namun yang pasti, kebarokahan mondok ini akan mengantarkan seorang santri menjadi apapun atau siapapun yang sholeh. Yang baik dzohir-batinnya disegala posisi dan atau jabatan.
Semoga…