Relevansi Teladan Gus Dur dalam Berpolitik dan Berbangsa

Akhir-akhir ini kondisi perpolitikan di tanah air bisa dibilang bersuhu tinggi, dikarenakan pada tahun 2024 akan diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memilih Wakil Rakyat dalam Lembaga Legislatif, baik itu untuk tingkatan Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Antara kendaraan politik “Partai Politik” satu dengan yang lainnya pasti memilih calon yang diunggulkan dan mempunyai pandangan politik yang berbeda-beda. Pentingnya keteladanan Gus Dur dalam hidup berbangsa dan beragama di era disrupsi sekarang ini sangatlah penting. Hal ini dikarenakan ide-ide dan pemikiran Gus Dur selalu relevan hingga saat ini.

Saya pun menyadarinya, ketika dalam kesempitan atau tengah dihadapi permasalahan, Gus Dur dengan jenakanya berkelakar “Gitu Aja Kok Repot”. Hal ini tentunya sangat menarik dan bisa dikatakan magis, karena saya pun sadar bahwa Gus Dur banyak pembenci dan pengkritiknya, baik ketika masih menjabat sebagai Presiden maupun ketika sudah dilengserkan dari kursi Presiden. Bahkan sebelum beliau menjabat sebagai Presiden ataupun seorang Pimpinan di tubuh Nahdlatul Ulama, Gus Dur selalu penuh kontroversi dengan segala tulisannya, ide-ide pemikirannya, maupun kelakar jenakanya.

Gus Dur sebagai pribadi yang dididik dalam lingkungan pesantren yang terkesan “ndeso” berani mendobrak kalangan intelektual dan tokoh-tokoh penting negara Indonesia, bahkan mampu membuat kagum dunia internasional. Gus Dur adalah salah satu tokoh muslim yang berpengaruh di dunia, tapi dengan percaya diri mencoba akrab dengan Israel yang bagi mayoritas kalangan muslim di dunia Israel adalah musuh bersama bagi umat muslim karena konflik bersanjatanya dengan Palestina.

Gus Dur pula mendapatkan penghargaan Simon Wiesenthal Center pada tahun 2008, itu merupakan organisasi LSM di Israel yang mempunyai misi melindungi umat Yahudi di dunia. Ketika berkuliah di Baghdad-Irak pun, Gus Dur mempunyai seorang sahabat Yahudi. Walaupun sejatinya Gus Dur tidak menamatkan pendidikannya baik di Baghdad-Irak maupun di Kairo-Mesir. Di Indonesia sendiri Gus Dur dikenal dengan beberapa tokoh non-muslim. Bahkan bagi kalangan Tionghoa Gus Dur sangat dihormati, karena ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur melegalkan agama Konghuchu sebagai agama resmi dan diperbolehkan melaksanakan ritual-ritual keagamaan secara bebas.

Baca Juga:  Hukum Menjual Data Organisasi untuk Politik Praktis
Cinta, Kasih Sayang, dan Rasa Hormat ala Gus Dur

Gus Dur dianggap sebagai manusia yang memandang orang lain melalui cinta, kasih sayang, dan rasa hormat. Hal ini merupakan salah satu tanda kewalian menurut agama islam.  Hal ini bisa dibuktikan ketika pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden pada 23 Juli 2001. Dimana sangat banyak para simpatisan dan “penderek” Gus Dur yang siap pasang badan atas pelengseran Gus Dur secara sepihak melalui Sidang Istimewa MPR. Dimana hal ini membuat sakit hati para pendukung Gus Dur, terutama bagi kalangan Nahdliyin. Ribuan Kyai, Santri, dan pendukung-pendukung siap berangkat ke Gedung DPR-MPR Senayan, Tapi Gus Dur dengan santainya menemui massa yang sudah terlanjur berkumpul di depan Istana Presiden dengan memakai celana pendek dan kaos oblong. Belum lagi di daerah-daerah yang mayoritas adalah kalangan Nahdliyin juga ikut berdemonstrasi atas keputusan sepihak oleh Sidang Istimewa MPR yang mana Gus Dur difitnah agar bisa dicopot dari jabatannya sebagai Presiden.

Gus Dur paham akan situasi yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, bahkan prediksi apa yang akan terjadi ketika momen genting pelengserannya tersebut. “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Itulah yang dikatakan Gus Dur tatkala diliput oleh media massa selepas beliau keluar dari Istana Presiden. Dan seketika massa yang sudah tersulut emosi, baik yang sudah berada di Jakarta maupun di daerah-daerah seketika langsung “legowo” dan pulang kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan tenang dan ikhlas.

Gus Dur mengajarkan kita bahwasannya, menjadi manusia sejati itu bukanlah tentang jabatan ataupun kekayaan yang kita miliki. Akan tetapi dari nilai apa yang dapat kita wariskan ke generasi penerus. Selalu memandang ke depan dengan optimis, dan tidak dengan pesimis dalam menghadapi masalah. Dan ketika menemui masalah, selalu fokus ke solusinya. Gus Dur pula mengajarkan agar tidak memiliki sifat pendendam, karena dendam seperti halnya bara api yang justru akan membakar diri sendiri. Jika ingin menolong seseorang, jangan tanya apa agamanya, sukunya, dan rasnya. Karena pada dasarnya setiap manusia adalah keturunan Nabi Adam dan Ibu Hawa.  “Al-fatihah kagem Mbah Wali Gus Dur.” []

Zakaria Anton Wicaksono
IKSAB TBS 2014 Mahasiswa Pascasarjana HI Universitas Airlangga Pengurus PMII PKC Jawa Tengah Penggiat Gusdurian Universitas Wahid Hasyim Semarang zakaria.almart@gmail.com/ IG : zakaw.sastra

Rekomendasi

Refleksi satu abad NU
Opini

Refleksi Satu Abad NU

Kita menyadari bahwa sejarah merupakan hal penting, apalagi bagi sebuah organisasi keagamaan sebesar ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini