Pesantren, antara Sakralitas dan Daya Berpikir Kritis

Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan lainnya. Pesantren juga bisa diartikan sebagai pondok atau madrasah. Dikutip dari catatan Pangkalan Data Pondok Pesantren (PDPP) milik Kemenag RI jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 27.722 buah[1]–Jumlah pesantren yang secara resmi terdaftar di Kemenag RI. Pesantren termasuk Budaya Indonesia yang semestinya dilestarikan. Fase awal embrio lahirnya pesantren dimulai zaman Walisongo, sekitar abad 15-16. Sampai hari ini, pesantren masih menunjukkan eksistensinya sebagai bagian integral dari kekuatan bangsa. Terhitung, eksistensi pesantren sudah bertahan hampir lima abad.[2]

Negara turut menaungi eksistensi pesantren dengan membentuk UU Nomor 18 tahun 2019. Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik, dan kiai adalah lima elemen dasar tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut berubah statusnya menjadi pesantren.[3] Seiring berjalannya waktu pesantren juga berkembang menyelaraskan kebutuhan zaman.

Menurut pengamatan penulis, sebagian pesantren masih menganut sistem klasik dan tidak berkompromi dengan kurikulum pemerintah (baca: Kemenag); pesantren ini masuk dalam kategori pesantren tradisional. Sebagian lainnya berkompromi penuh pada aturan dan kurikulum pemerintah—termasuk mengikuti perubahan-perubahan yang disepakati pemerintah, dalam hal ini Kemenag; ini disebut dengan pesantren modern. Dan diantara keduanya, ada pesantren yang setengah tradisional atau setengah modern. Disebut setengah tradisional setengah modern karena pesantren ini mengikuti aturan dan kurikulum dari Kemenag namun tidak seluruhnya; pesantren seperti ini disebut dengan pesantren semi tradisional atau semi modern.

Pesantren tradisional didominasi oleh Organisasi Masyarakat NU. Jumlahnya makin sedikit. Biasanya adalah pesantren-pesantren tua yang besar sehingga kuat eksistensinya ditengah masyarakat dan gempuran modernisasi. Pesantren tradisional masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional seperti sorogan dan bandongan. Kurikulum dibuat berdasarkan apa yang menjadi keahlian Kiai. Jarang sekali santri-santri di pesantren tradisional mempelajari kitab-kitab kontemporer. Kitab-kitab yang digunakan merupakan kitab ulama klasik. Di pesantren tradisional, alaqah (hubungan) santri dengan Kiai sebagai gurunya begitu lekat. Adab santri terhadap Kiai dan keluarga Kiai sangat diperhatikan. Mengedepankan tirakat, gaya hidup santri mencakup tempat tinggal dan pola makan santri biasanya juga sangat sederhana. Dari itulah, santri belajar bagaimana hidup mandiri dan minimalis.

Baca Juga:  Kiai Wadud, Sosok Kiai Pendidik

Hari ini pesantren modern menjamur jumlahnya. Beberapa analisis mengatakan, pesantren tradisional yang tak kuat eksistensinya, beralih menjadi pesantren modern. Namun ada juga yang mengatakan, bahwa pesantren modern adalah wujud dari keselarasan pendidikan islam menanggapi kebutuhan zaman. Selain mengacu pada kurikulum Kemendikbud/Kemenag, pesantren modern identik dengan kemajuan sains dan iptek. Ada pendalaman keterampilan tertentu yang ditargetkan. Gedung pesantren yang kekinian dan sistem pembelajaran yang berbasis metodologi-metodologi baru serta kemajuan teknologi turut mewarnai jalannya pembelajaran disini. Di  dalam pesantren seperti ini pembelajaran kitab kuning berkurang porsinya karena santri lebih diarahkan untuk mendalami ilmu-ilmu berbasis sains dan teknologi. Adanya sistem administrasi yang komplet selaras dengan kelengkapan fasilitas yang tersedia untuk santri.

Pesantren semi tradisional atau semi modern adalah pesantren yang berusaha mendamaikan antara apa yang menjadi kekhasan pesantren tradisional dengan yang dicita-citakan pemerintah. Pesantren jenis ini juga menjadi jalan tengah bagi orang orang yang ingin mengikuti kurikulum pemerintah dengan tetap mempertahankan sistem bandongan dan sorogan sebagai ciri khas pesantren tradisional.

Menurut hemat penulis, ketiga jenis pesantren yang dipaparkan di atas memiliki kekuatan nya masing-masing. Pesantren tradisional memiliki identitas yang sangat kuat pada alaqah murid dengan guru. Seorang kyai memiliki posisi yang sangat tinggi di hati santrinya. Sebagai penuntut ilmu maka kita adalah orang yang tidak tahu. Seorang yang tidak tahu, sudah selayaknya manut pada orang yang tahu agar bisa sampai pada tujuan. Bahkan ada ungkapan bahwasanya puncak dari proses belajar adalah pengabdian pada guru. Mahabbah seorang santri pada gurunya adalah pintu dari keberkahan ilmu yang ia dapatkan. Hal ini lah yang mendorong para santri untuk sendiko dawuh terhadap perintah Kyainya. Kehormatan pada Kyai yang juga berarti menghormati keluarga yai membuat hubungan murid dan guru ini seolah terbingkai oleh kesakralan dan menyingkirkan logika akal. Guru seperti manusia tanpa cela dan salah.

Baca Juga:  Kesederhanaan KH. Marzuki Mustamar, Ketika di Kampus Mengajar

Sedangkan identitas pesantren modern ada pada sisi keilmiahan, kekuatan logika, dan hal-hal yang bersifat eksak dalam keilmuan. Imbasnya, daya kritis santri seringkali lebih terasah ketimbang ketaatan santri dan mahabbah-nya pada guru. Daya kritis kadang-kadang membuat seseorang lebih cepat sampai pada penilaian sesuatu tersebut benar atau salah. pada taraf tertentu, daya kritis dapat membuat seseorang seperti itik yang kehilangan induknya. Menggabungkan dua kekuatan identitas ini mungkin biisa menjadi alternatif polemik ini.

Setiap pesantren memiliki fokus ranah pendidikan untuk anak didiknya. Sakralitas atau daya kritis, mana yang lebih mendekatkan seseorang pada Penciptanya dan keluhuran budi pekertinya maka itulah yang semestinya ditempuh. []

 

[1]https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp

[2]https://ditpdpontren.kemenag.go.id/artikel/pesantren–dulu–kini–dan-mendatang

[3] Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Rofifatas Sajaya
Mahasantri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini