Merdeka Belajar dalam Tradisi Pendidikan Pesantren

Pendidikan berasal dari kata al-ta’lim yang bersifat penyampaian pengetahuan dan keterampilan. Kemudian disambung dengan kata al-ta’dib yang mengarah kepada pendidikan ilmu, keadilan, kearifan, kebijaksanaan serta pengasuhan yang baik dan bermuara kepada al-tarbiyah yang diartikan sebagai bentuk pembinaan manusia  bertahap melalui pembinaan akal (fiqriyah), akhlak (sulukiyah) dan fisik (asadiyah) serta konsisten (istimrar) menuju ketakwaan kepada Allah SWT.

Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat), hendaklah ia menguasai ilmu.” (HR Ahmad)

Secara umum epistemologi, Pendidikan Islam mengarah pada pendekatan Religius-Rasional, terdiri dari wahyu berbentuk teks Al-Qur’an, Hadis, serta Ilham (intuisi), kemudian indra dan  akal. Pendekatan ini bersandar pada kekuatan spiritual, yang dibangun berdasarkan kesadaran spiritual, bersumber dari Allah SWT berupa wahyu, serta rasional-empiris menjadi kesadaran ilmiah.

Kebijakan ‘Merdeka Belajar’ yang diusung oleh Mendikbud Nadiem Makarim, diharapkan menjadikan arah jelas mengenai tujuan Pendidikan Indonesia. Menjadikan Pendidikan Indonesia lebih maju, berkualitas, dan sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia serta searah dengan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Empat program pokok kebijakan pendidikan ‘Merdeka Belajar’ meliputi, “Perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan presiden dan wakil presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Surat Al-Mujadalah ayat 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Berbicara mengenai pembelajaran ada yang namanya ‘Andragogi Theory of Adult Learning’. Pembelajaran ini menegaskan belajar dengan berpikir secara dewasa. Teori ini dikemukakan oleh Care Rogers, Paulo Freire, Robert M. Gagne, Malcolm Knowles serta Jack Mezirow. Keterlibatan anak didik secara optimal menjadi kunci keberhasilan belajar. Knowles misalnya, menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar melalui kerjasama dalam merencanakan program pembelajaran, menemukan kebutuhan belajar, merumuskan tujuan dan materi yang cocok, merancang pola belajar dalam sejumlah pengalaman belajar, melaksanakan kegiatan belajar dengan menggunakan metode, teknik dan sarana belajar yang tepat dan menilai kegiatan belajar serta mendiagnosis kembali kebutuhan belajar selanjutnya.

Baca Juga:  Pesantren, NU, dan Islam Nusantara (1)

Metode pembelajaran selanjutnya ada yang namanya humanistik. Ini menekankan kepada kebebasan secara personal dalam menentukan pilihan, melatih kepekaan, dan tanggung jawab pribadi sehingga manusia bisa mengaktualisasikan dan mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan memiliki fungsi di dalam lingkungannya maupun dirinya. Ada pula pembelajaran konstruktivistik yang menekankan kepada proses pembelajaran dan kebebasan di dalam penggalian pengetahuan serta usaha mengkonstruksi pengalaman yang diperoleh. Selanjutnya ada progresivisme oleh John Dewey yang menekankan untuk terlibat aktif di dalam pembelajaran.

Selanjutnya mengenai tradisi Pendidikan Pesantren, Kiai Sahal Mahfudh berpendapat bahwa Pendidikan Pesantren tidak semata-mata berorientasi kepada perkara tafaqquh fi al-din (agama) namun juga sebagai pusat belajar hidup dan transformasi menuju tatanan masyarakat shalih dan akram, sebagaimana misi manusia sebagai khalifah fi al ardh. Kiai Sahal Mahfudh secara transformasif pengembangan tradisi Pendidikan Pesantren dengan memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai  tanggung jawab semua pemangku di lembaga pendidikan, tanpa memandang dasar pendidikan yang dianut. Mendukung pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, terutama kepada sistem pendidikannya. Memperhatikan memperhatikan watak, kondisi, dan faktor yang sesuai dengan kepribadian dan latar belakangnya, pengembangannya tidak harus pada model klasikal namun bisa menyesuaikan keadaan zaman.

Pendidik atau guru saat ini bisa berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik agar bisa berkembang dan aktif secara mandiri. Proses pendidikan tidak mengeksklusifkan pada metode yang terlalu fokus pada buku semata. Tidak menggunakan metode hafalan, karena membuat subjek didik atau peserta didik bersifat pasif atau tidak aktif. Pendidikan harus terbuka dengan kenyataan sosial artinya bersikap luwes sesuai zamannya sehingga pengetahuan pun beregenerasi. Dalam pengajaran tidak diperkenankan menggunakan hukuman fisik karena bisa menimbulkan luka fisik maupun psikis anak didik.

Baca Juga:  Respon dan Peran Pesantren dalam Mengatasi Fenomena Islamophobia

Pendidikan bertanggung jawab membina peserta didik agar dewasa, berani, dan mandiri. Nuansa pendidikan diupayakan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk selalu berpikir kritis. Dalam konteks ini, tidak sekedar memberikan pengetahuan yang bersifatnya satu arah saja namun juga mengajarkan kepada peserta didik agar memiliki kekuatan bernalar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kemerdekaan untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran dan transfer keilmuan. Dalam hal ini, peserta didik dianggap sebagai subjek utama dan bukan objek dari proses pendidikan yang merdeka. []

Muhammad Luthfin Najikh
Mahasiswa Institut Pesantren Mathali'ul Falah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini