Meninjau Ulang Batasan Aurat bagi Laki-Laki

Kata Aurat berasal dari Bahasa Arab yang bermakna celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan menyebabkan malu bila di pandang. Hal tersebut juga bisa diartikan sebagai celah dari sesuatu yang bisa menyebabkan seseorang untuk berbuat dosa. Dalam Al-Qur’an lafadz aurat disebutkan empat kali, yaitu dua kali dalam bentuk mufrad dan dua kali dalam bentuk jama’. Bentuk mufrodnya disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 13, sedangkan bentuk jama’ disebutkan dalam surat An-Nur ayat 31 dan 58.

Kata aurat dalam surat Al-Ahzab ayat 13 diartikan oleh mayoritas ulama tafsir dengan celah yang terbuka terhadap musuh atau celah yang memungkinkan orang lain (musuh) mengambil kesempatan untuk menyerang. Berbeda halnya dengan kata aurat dalam surat An-Nur ayat 31 dan 58 diartikan sebagai sesuatu dari anggota tubuh manusia yang menyebabkan malu apabila dipandang, atau dipandang buruk untuk diperlihatkan.

Dalam kaca mata ilmu fiqh, lafadz aurat yang dimaksud ialah yang memiliki muatan arti dalam ayat An-Nur yang berarti sebagian anggota tubuh manusia yang dalam pandangan umum buruk atau malu bila diperlihatkan dan bila dibiarkan terbuka mungkin bisa menimbulkan fitnah seksual. Fitnah disini artinya pesona atau potensi seseorang yang bisa menggiurkan dan menggoda orang lain. Seseorang disebut fatin dalam Bahasa arab, ketika ia penuh dengan sesuatu yang bisa memesona orang lain, terutama karena bentuk tubuhnya. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi fitnah yang menggoda dan menggiurkan bagi selainnya.

Mengenai batas anggota tubuh yang dianggap aurat, pandangan fiqh membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan:

واما السئلة الثانية: وهو حد العورة من الرجل. فذهب مالك والشافعي إلى أن حد العورة منه: ما بين السرة إلى الركبة, وكذالك قال أبو حنيفة وقال قوم: العورة هما السوأتان فقد من الرجل

Baca Juga:  PCNU Kota Malang Gelar Halaqah Fikih Peradaban dan Pengukuhan Tiga Lembaga

Ibnu Rusyd dan Asy-Syaukani mengatakan bahwa ulama fiqh berbeda pendapat mengenai batasan aurat laki-laki. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Abu Hanifah mengatakan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lutut. Dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa aurat laki-laki hanyalah qubul dan dubur.

Melihat dari beberapa uraian diatas penulis merasa bahwa perlu adanya tinjauan ulang mengenai batasan aurat laki-laki seperti yang telah ditetapkan. Bahwa di masa sekarang dada laki-laki bisa dinilai sebagai aurat. Terutama bagi kaum laki-laki yang mempunyai dada berbentuk atau sixpack. Mereka dinilai sengaja membentuk badannya sedemikian rupa agar terlihat menarik di hadapan kaum perempuan. Berangkat dari definisi yang telah disebutkan maka dada laki-laki bisa dikategorikan sebagai aurat dimana hal tersebut jika sengaja diperlihatkan bisa menimbulkan fitnah bagi selainnya. Jika demikian maka laki-laki bukan hanya diharuskan untuk menutup aurat sesuai batasan yaitu mulai pusar hingga lutut saja melainkan juga harus menutupi dada untuk menghindari fitnah bagi selainnya. []

Khusnun Nihayah
Santri Ma'had Aly pesantren Maslakul Huda

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” Ibrah dalam Ayat ini, dengan rusyd, perjalanan dipersingkat dan dimudahkan, diringankan dari berbagai penderitaan, keberhasilan yang […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum