Sampai saat ini bisa dibilang negara kita -Indonesia- sedang mengalami fase darurat kekerasan seksual. Jika mengacu pada data, memang angka kasus kekerasan seksual selalu menunjukan grafik vertikal, dalam artian selalu ada kenaikan dalam dalam setiap tahunnya. Data yang terbaru yang berhasil diinput oleh KEMENPPPA yang diinput pada tanggal 1 Januari 2022 total sebanyak 8.234 kasus di wilayah Indonesia dengan penjabaran 1.299 korban laki-laki dan 7.594 korban berasal dari perempuan (Lihat SIMFONI-PPA (kemenpppa.go.id) (21/5/22). Terlebih KEMENPPPA juga menjabarkan kekerasan seksual lebih didominasi di lingkungan lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi, sekolah, dan bahkan pesantren yang notabenenya mengajarkan nilai-nilai keagamaan. Artinya ranah pendidikan tidak menjamin adanya resistensi dalam menyikapi masalah ini.
Akan tetapi, kita mungkin bisa bernafas segar, sebab presiden Joko Widodo mensahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada tanggal 9 Mei 2020. Hal ini menjadi hadiah bagi bangsa Indonesia yang secara aplikatif sangat membutuhkan adanya eksekusi terhadap pelaku kekerasan seksual. Adanya UU ini menjadi simbol dari majunya peradaban suatu bangsa, sebab harkat dan martabat seorang warga negara haruslah dijaga seutuhnya, bukan dibiarkan dan dilepaskan begitu saja.
Jika ditinjau dari kerangka antropologi hukum, UU tersebut terasa sangat representatif dengan budaya bangsa kita yang selalu berpaku pada etika dan juga norma. Tidak hanya itu UU TPKS dinilai sangat dibutuhkan mengingat maraknya kasus kekerasan seksual yang sebelumnya tidak mempunyai payung hukum secara inklusif. Sebab itu hukum hadir sebagai upaya untuk mengentaskan problematika yang dihadapi oleh bangsa, juga tujuannya untuk menjaga ruh dari bersikap dan berperilaku dalam bermasyarakat. Kehadiran UU TPKS diharap membalikkan keadaan dengan menjadi acuan penerapan hukum seadil-adilnya, sekaligus menjadi rumus ampuh dalam rangka menghanguskan aksi-aksi kekerasan seksual.
Menengok dari data yang disajikan KEMENPPPA memang miris melihat mayoritas kekerasan seksual berada di lingkup pendidikan, terlebih lingkup pesantren sebagai wadah pengekstrak benih intelektualitas dan moralitas yang nyatanya juga terjerembab dalam kasus tersebut. Ini sangat disayangkan mengingat pesantren memiliki peran sebagai rumah kedua yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya seseorang. Dari situ pesantren menjadi ujung tombak lembaga yang menghanguskan dosa besar tersebut.
Kemunculan UU TPKS bisa dikatakan sebagai momentum untuk menghanguskan perilaku bejat tersebut khususnya di wilayah pesantren. Esensi substantif mengindikasikan adanya penutupan celah pada tindakan amoral tersebut. Pada pasal 4 (1) bisa diamati bahwa tindakan kekerasan seksual meliputi; a. Pelecehan seksual nonfisik; b. Pelecehan seksual fisik; c. Pemaksaan kontrasepsi; d. Pemaksaan sterilisasi; e. Pemaksaan perkawinan; f. Penyiksaan seksual; g. Eksploitasi seksual; h. Perbudakan seksual; i. Kekerasan seksual berbasis elektronik. Kemudian ayat selanjutnya mengemukakan bahwa kekerasan seksual juga meliputi; a. Perkosaan; b. Perbuatan cabul; c. Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak; d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; e. Pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f. Pemaksaan pelacuran; g. Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; h. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga. Semua tindakan tersebut dapat disimpulkan menjadi satu titik yaitu untuk menutup celah tindakan yang kaitannya dengan seksualitas yang amoral. Supaya harkat dan martabat manusia tetap selalu dilestarikan dan dijaga sesuai dengan fitrahnya.
Kembali Ke Khittah Pesantren
Berkaca pada kasus-kasus kekerasan seksual di lingkup pesantren, UU TPKS menjadi nafas segar bagi pesantren. Seolah UU tersebut merefleksikan diri untuk kembali ke khittah pesantren, yaitu; pertama sebagai wadah penyelenggara pendidikan agama yang terintegrasi dengan pendidikan umum. Kedua, pembentuk karakter anti terhadap tindakan amoral, dalam konteks ini jelas adalah kekerasan seksual. Ketiga, memperutuh harkat dan martabat manusia.
Pesantren sebagai penyelenggara pendidikan dapat mengimplementasikan UU TPKS kedalam kegiatan belajar pesantren. Meskipun pada tatanan basic, materi hukum Islam yang diajarkan di pesantren sudah dicekoki hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan seksualitas seperti urgensi khitan, pengenalan ciri kedewasaan (mimpi basah atau juga haid), lalu konsekuensi berhubungan secara eksklusif dengan lawan jenis, larangan masturbasi, dan lain sebagainya.[1]
Akan tetapi pendidikan seksual dalam pesantren tidak diiringi dengan konsekuensi logis, melainkan konsekuensi berbau abstrak yang hanya mengandalkan hukuman di akhirat -tidak hukum nyata di dunia-. Akhirnya karena tidak dibekali dengan pengajaran konsekuensi logis maka pelaku pelecehan seksual hanya di cap sebagai pelaku dosa besar besar saja tidak sebagai pelaku pidana yang ada hukumannya di dunia. Inilah satu diantara beberapa problematik pendidikan seksual dalam pesantren.
Sebab itu, UU TPKS sangat tepat apabila menjadi bahan referensi untuk pembelajaran sebagai upaya resistensi pendidikan seksual di pesantren. Sinergitas antara hukum Islam yang diajarkan di pesantren dengan hukum positif sebagai penguat aspek moralitas bangsa dan pemberian sanksi bagi yang melanggarnya sangat tepat menjadi role model pengajaran di dalam pesantren. Sekiranya cara ini mampu mengembalikan khittah pesantren sebagai pusat pembelajaran yang holistik. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, tujuan pesantren adalah untuk membentuk karakter individu yang unggul dalam berbagai bidang disiplin keilmuan.
Satu sisi juga, pesantren merupakan institusi untuk memperkenalkan martabat manusia. Pengenalan ini dimulai dari habit yang saling menghargai dan menghormati antara pengasuh dengan santri, dan santri dengan pengasuh. Habit ini tidak lain untuk menjaga dan memperutuh hak dan kewajiban yang ada di pesantren. Hasil dari habit ini adalah tumbuhnya rasa saling menjaga martabat antara satu dengan lainnya. Santri mempunyai kewajiban hormat pada pengasuh, begitu juga sebaliknya. Sangat apik jika UU TPKS di sosialisasi terlebih dahulu di pesantren sebab sudah ada titik temu tujuan yang digapai yaitu sama-sama untuk menghargai harkat dan martabat manusia.
Dari pemahaman diatas, akomodasi pasal UU TPKS kedalam pembelajaran sekiranya mampu mengekstraksi karakter seseorang. Pemahaman bahwa tindakan kekerasan seksual adalah dosa besar yang ada konsekuensinya secara yuridis, menjadi terobosan ultimatum untuk mencegah tindak itu. Tidak ada salahnya jika stakeholder pesantren turut aktif untuk sosialisasi UU TPKS ini, sangat baiknya jika terdapat kurikulum khusus untuk membahas perihal ini, atau hanya sekedar menyinggung UU TPKS dalam kajian kitab-kitab klasik.
Implementasi UU TPKS merupakan terobosan untuk menciptakan nuansa pesantren yang harmonis, mengingat keadaan saat ini sangat rentan dengan aktivitas pelecehan seksual. Edukasi secara keseluruhan diharapkan dapat mengkonstruksi budaya santri yang anti kekerasan seksual. Dapat dikatakan telah budaya anti kekerasan seksual, jika pemahaman sosial masyarakat tinggi tentang berbagai bentuk tindakan yang menyimpang, kemudian mampu mentransformasikan keilmuan agama dalam bentuk tindakan, dan tidak lupa kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap UU TPKS.
Tidak heran jika UU TPKS menjadi sarana untuk memblokir tindakan seksual di lingkup pesantren. Mengingat posisinya sebagai legal stucture yang memiliki daya ikat kuat pada masyarakat Indonesia, dan juga sebagai transfigurasi menuju bangsa yang egaliter, anti kekerasan seksual. Sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan seksual khususnya di wilayah pesantren. []
[1] Hal ini bisa dilihat dari referensi kitab fikih yang dipakai pesantren seperti kitab Fathul Qarib, Syarh Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq al-Zawjain, Kitab Qurrat al-Uyun, dan Risalat al-Mahidh.