akar kebencian

Kebencian adalah kondisi mental yang tidak mampu menghadapi hal-hal atau pribadi-pribadi yang dianggap mengancam. Orang yang membenci sangat mungkin adalah orang yang (dalam lubuk hati terdalam hingga tak disadarinya) mudah merasa tidak aman. Orang-orang yang mentalnya stabil, tidak mudah merasa terancam oleh apa pun dalam situasi apa pun. Stabilitas mental itu membuat orang yang bersangkutan tetap dapat berfikir, bila ada yang dirasa aneh, janggal atau tidak tidak pada tempatnya, ia akan mencari tahu hingga mengerti, sehingga ia tahu batas benar-salah, pantas-tidak pantas dst, dan berkata atau bertindak atas dasar pertimbangan pengetahuan itu. Oleh karena itu tidak semua orang dapat membenci

Tanpa kondisi mental yang stabil, orang akan selalu mencari rasa aman, berlindung dalam dalam suara dan kecenderungan kelompok yang sama, karena itu orang dengan kondisi seperti ini selalu merasa ingin diterima kelompoknya, takut berbeda pendapat dan bersikap. Demi penerimaan kelompok, ada orang-orang dalam berekspresi sampai kehilangan kontrol diri, hilang kepekaan pada soal pantas-tidak pantas dalam norma sosial komunikasi misalnya. Perasaan mudah tidak aman juga menjadi hambatan bagi yang bersangkutan untuk mencapai pengertian-pengertian yang benar tentang berbagai segi hidup. Rasa tidak aman ini membebani sehingga menyerap energi, memblok pikiran sehingg tidak tergerak untuk belajar secara jujur. Ini makin melanggengkan perasaan negatif, karena pengetahuan yang benar adalah terapi pencerahan.

Orang-orang yang batin mudah merasa tidak aman ini cenderung akan berkelompok dengan orang-orang yang memiliki kekhawatiran sama, karena dengan itu mereka dapat mengekpresikan rasa tidak amannya dalam berbagai kata-kata dan sikap tentang pihak-pihak atau keadaan yang dianggap sebagai ancaman. Satu sisi, pergunjingan itu melampiaskan ketegangan, tetapi di sisi lain dalam kumpulan orang-orang yang sama-sama khawatir itu, perasaan-perasaan negatif makin mudah berkembang makin membentuk cara pikir negatif pula terhadap pihak atau situasi di luar kelompoknya. Di sinilah kebencian dihayati sebagai sesuatu yang lumrah.
Hanya orang-orang yang masih ada pertimbangan baik-buruk, benar-salah dan mendapat dukungan lingkungan yang dapat keluar dari kelompok yang sudah memproduksi kebencian. Sayangnya tidak semua orang mendapat kesempatan memperoleh dukungan, karena jurang pemisah (atau orang biasa menyebut polarisasi atau pengkutuban) sudah makin menjadi.

Baca Juga:  Mengapa Harus Membenci, Jika Mencinta Lebih Indah?

Untuk dapat bersikap mandiri atau merdeka dalam bersikap dan dalam berpendapat selelu membutuhkan mentalitas yang stabil. Kemandirian artinya kesanggupan untuk mengontrol diri dan bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban bersama, apa pun kepentingan, hasrat dan gaya hidup yang dijalani seseorang. Dalam kondisi orang yang mudah merasa tidak aman, untuk menjadi merdeka, dukungan kultural sangat penting. Dukungan kultural untuk mendorong orang menjadi inklusif atau terbuka perlu diciptakan untuk menghadirkan perasaan aman bagi semua.

Mereka yang mentalnya merdeka, tidak mudah digiring memiliki kebencian meski ia disasar oleh kebencian orang lain. Dengan stabilitas mental, orang mampu berfikir dan bersikap kritis pada diri sendiri maupun pada pihak lain, sehingga selalu membebaskan diri dari belenggu pikiran dan pengelompokkan untuk membenci. Dengan prinsip-prinsip yang ia miliki, mudah tumbuh kepekaan bila ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip dan mudah mengkritisi siapa pun. Hanya dengan stabilitas mental yang dimiliki, dengan keterbukaan terbukaan memperkuat kemampuan berbuat adil sejak dalam pikiran.

Kondisi mentalitas yang merdekalah yang memungkinkan orang bertindak adil. Hanya orang yang mentalitas merdeka dapat hidup dengan prinsip-prinsip, yang menghindarkan dari bersikap dengan standar ganda; terhadap orang atau kelompok yang disayangai dia akan berkata dan bertindak A tapi terhadap orang yang atau kelompok yang tidak disukai untuk hal yang sama berkata atau bertindak B. Mencla-mencle, orang Jawa menyebut sikap ini. Pribadi seperti ini mampu mengambil jarak dengan subyektifitas dirinya, dan dengan prinsip-prinsip yang dimiliki itu ia mampu mengkritisi cara pikirnya sendiri maupun pihak lain, bukan karena suka atau tidak suka. Kata dan berbuatannya terkendali, sehingga tidak mudah mengeluarkan kata-kata yang pro kekerasan pada pihak yang tidak disukai atau bahkan berbuat aniaya. Mereka selalu dalam pengendalian diri untuk bersikap sesuai kepatasan yang memberi rasa aman bagi siapa pun.

Baca Juga:  Mengapa Harus Membenci, Jika Mencinta Lebih Indah?

Di media sosial karakter orang lebih mudah terlihat bagi para pengamat, karena para pengguna merasa berjarak dari lingkungan sehingga lebih spontan mengekpresikan diri. Kata-kata atau gambar-gambar yang diperlihatkan pengguna medsos mempermudah orang mengelompokkan sesiapa yang sama, baik oleh mesin maupun khalayak.

Dalam kelompok yang sama, produksi perasaan dan pikiran negatif tentang kelompok yang berbeda makin gurih. Namun suasana seru dan ini makin menghambat seseorang berfikir kritis, menghambat berani bersikap berbeda dari kelompoknya. Maka pengelompokkan pun menjadi makin liat, mengeras. Ketika perasaan tidak aman berbuah kebencian, pengelompokkan yang kuat makin mempersulit kritik diri. Kebencian dapat membuahkan kekerasan yang tak terhingga.

Akar kebencian pertama-tama ternyata bukan dari mana-mana, melainkan dari kondisi batin atau mentalitas seseorang. Kebencian dapat pupus atau sebaliknya tumbuh berkembang sangat dipegaruhi oleh faktor ingkungan. Berbakat memiliki kebencian, tetapi tumbuh dalam lingkungan yang menerima kekurangan dan kelebihan, apresiatif dan bersahabat menyulitkan tumbuhnya kebencian, sebaliknya ketika berada dalam lingkungan yang tertutup dengan pengetahuan baru, penuh persaingan apalagi dalam kultur yang homogen, tidak membantu menciptakan rasa aman untuk pertumbuhan bersama.

Kebencian yang ada dalam diri seseorang atau kelompok juga indikator kesehatan mental, yang tingkatnya dapat dilihat dari seberapa kasar ucapan-ucapan atau sikap terhadap obyek. Maka dapat di pahami mengapa dalam perbincangan keagamaan, kebencian disebut sebagai salah satu penyakit hati, kesehatan mental yang bermasalah. Dan kebencian dapat menghalangi orang bersikap adil, sementara bersikap adil sesungguhnya ada wujud ketakwaan dalam dimensi sosial.

Proses pendidikan karakter sejak dini menjadi penentu apakah dalam waktu yang panjang seseorang punya rasa aman yang cukup sehingga mampu menjadi pribadi yang merdeka dan membawakan rahmat keadilan, atau sebaliknya menjadi orang yang mudah merasa tidak aman dan pembenci yang merusak modal sosial untuk kedamaian bersama.

Baca Juga:  Mengapa Harus Membenci, Jika Mencinta Lebih Indah?

Dalam suasana Ramadan, mungkin ada baiknya sebagai pribadi maupun kelompok menghidar dari suasana yang memupuk kebencian dengan menghindari penggunaan kata-kata tertentu. Kebencian antar kelompok meluas oleh pengerasan batas pemisah satu kelompok dengan kelompok lain. Beberapa kata yang perlu dihindari dalam menjaga silaturahim kebangsaan ini, misalnya kata kadrun-domdrun, kampret-cebong, kata ‘tidak waras’ untuk melabeli kelompok dengan cara pikir tertentu. Secara umum menjalankan hukum emas ‘jangan lakukan segala yang kamu tidak ingin orang lain melakukan itu padamu’, barangkali menjadi salah satu cara mengurangi perkembangiakan kebencian antarkelompok yang dapat menguras modal sosial untuk kedamaian bersama. []

Listia Suprobo
Pendidik, Alumnus UGM & UIN Suka Yogyakarta Pegiat Pendidikan, Perkumpulan Pappirus

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini