Sikap Dikotomis Terhadap Ilmu

Syahdan, sepeninggal Rasulullah SAW, umat Islam semakin berkembang pesat. Berawal dari perluasan-perluasan wilayah, hingga perkembangan ilmu pengetahuan. Sejak zaman khalifah empat, yakni Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, budaya keilmuan umat Islam sudah cukup baik berkembang, meskipun masih cukup terbatas karena konsentrasi pemerintahan Islam di kala itu lebih tertuju pada ekspansi wilayah.

Era pesatnya perkembangan iptek pada umat Islam, peletakan dasarnya sudah dimulai di zaman dinasti Umayyah, tetapi sangat maju dan dikembangkan di zaman dinasti Abbasiyah. Pada masa dinasti Umayyah juga sudah ada seorang Masarjawaih ahli fisika beragama Yahudi yang telah menerjemahkan buku-buku kedokteran, bahkan Astrologi dan kimia juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dinasti Abbasiyah memusatkan perhatiannya kepada perkembangan peradaban umat Islam, sehingga masa dinasti ini disebut sebagai masa pembentukan dan pengembangan peradaban Islam.

Dengan bergairahnya atmosfir ilmu pengetahuan di zaman Umayyah dan Abbasiyah praktis menjadikan umat Islam menjadi umat dan bangsa yang lebih maju, bahkan sangat maju dibandingkan negara-negara lainnya di dunia saat itu. Bangsa Barat atau Eropa, saat itu masih tertutupi kegelapan. Pada saat itu keadaan bangsa Eropa sering disebut dengan The Dark Age, sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya.

Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak (ilmu pasti) seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, teknik, hingga ilmu-ilmu non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad (dari abad 6 M hingga 16 M) umat Islam menguasai kemajuan iptek dan menjadi penghulu bagi dunia saat itu.

Akan tetapi, panggung sejarah ternyata menampilkan situasi sebaliknya. Umat Islam mengalami hal tragis. Mereka kemudian jatuh terpuruk ke dalam ketertinggalan. Seolah-olah mereka seperti bangsa yang tidak pernah maju dan mengenal teknologi sama sekali. Alih-alih mempimpin dan bersaing dalam perkembangan iptek, mengikuti bahkan menggunakannya saja tidak mampu.

Baca Juga:  Ilmu Perbandingan Agama (III): Menuju Abad Modern

Banyak faktor yang disinyalir sebagai sebab terjadinya kemerosotan ini. Di sadari atau tidak, ungkapan-ungkapan para ulama atau tokoh Islam dalam menekankan prioritas ilmu yang wajib dipelajari, dan sebagian ulama lain dalam sikap dan pertentangannya terhadap ilmu filsafat, sedikit banyak berpengaruh terhadap paradigma berpikir umat Islam dalam menyikapi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu yang non-agama. Selain itu juga sebab politis yang membuat resistensi umat Islam terhadap ilmu non-agama semakin melembaga, yakni sebuah peristiwa memprihatinkan yang disebut dengan peristiwa mihnah.

Peristiwa ini sebenarnya terjadi dan dimulai sejak zaman pemerintahan khalifah Al-Ma’mun di zaman dinasti Abbasiyah. Di masa Islam dalam kejayaannya khalifah Al-Ma’mun, pemerintahan banyak didominasi oleh kaum yang berpaham mu’tazilah, bahkan khalifah Al-Ma’mun sendiri pun berpaham Mu’tazilah. Pun juga menerapkan madzhab Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut negara pada tahun 827 M.

Di masa pemerintahannya, Al-Ma’mun menerapkan Mihnah atau ujian bagi seluruh orang yang akan dan sudah terlibat dalam pemerintahan, termasuk para ulama yang banyak memberikan informasi atau fatwa kepada masyarakat. Bagi Al-Ma’mun, orang-orang yang berpaham syirik tidak boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Ironisnya Kaum mu’tazilah, termasuk juga Al-Ma’mun, dalam menyebarkan pahamnya cenderung menggunakan kekerasan. Orang-orang yang sewaktu diuji ternyata didapati berbeda atau menentang terhadap keyakinan Mu’tazilah, maka mereka akan dihukum, bahkan tidak sedikit yang kemudian dibunuh. Meski pada akhirnya Al-Ma’mun meninggal, paham Mu’tazilah dan mihnah-nya tetap dilanjutkan pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M).

Akibat peristiwa Mihnah, orang-orang yang akan menduduki posisi penting di pemerintahan, yang berkonsekuensi penyiksaan terhadap ulama-ulama Islam yang tidak sejalan dengan akidah pemerintahan yang mu’tazilah (notabene berpola pikir filosofis dan rasional) kala itu, membuat luka hati yang dalam terhadap umat Islam, yang pada akhirnya melakukan resistensi dan perlawanan terhadap pemerintahan. Peristiwa Mihnah ini sebagai peristiwa yang mempertegas pemisahan antara negara dan institusi keagamaan, pemisahan antara istana dengan ulama.

Baca Juga:  Keluhuran Ilmu Bagi Pemiliknya

Sesudah masa khalifah Al-Watsiq, untuk tujuan politis karena masyarakat sudah melakukan resistensi dan perlawanan terhadap paham mu’tazilah, maka khalifah Al- Mutawakkil (847-861 M) kemudian membatalkan madzhab Mu’tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Lebih dari itu, akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup.

Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu’tazilah yang diusir dari Bagdad. Wajar jika kemudian Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menutup akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan rasional ditutup, karena golongan ini sebagian besar lebih berpaham Jabariyah, yang menganut fatalisme, yakni segala hal yang ada dan terjadi pada manusia lebih ditentukan oleh Tuhan. Manusia tidak punya daya dan upaya untuk dirinya sendiri sekalipun.

Meskipun paham Mu’tazilah akhirnya sempat naik kembali di zaman dinasti Buwaihi di Bagdad (945-1055 M), akan tetapi dapat ditumbangkan kembali oleh paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah pada tahun 1063 M. Khalifah yang naik memimpin kala itu adalah Alp Arselan (1063-1092 M).

Alp Arselan mengangkat Nizham al-Mulk sebagai Perdana Menteri yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa alJama’ah. Karena keberhasilan dan prestasi politiknya yang luar biasa, terutama dalam bidang pendidikan, maka Nizham al-Mulk memperluas wilayah kekuasaan Islam dan menyebarkan pahamnya dengan mendirikan banyak madrasah (notabene sebagai corong resmi pemerintah dalam menyebarkan paham Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah).

Kekuasaan Islam di zaman Nizham al-Mulk terbilang sangat luas, sehingga di hampir seluruh kekuasaannya didirikan madrasah yang serupa dengannya. Kiprah al-Ghazali dalam hal ini terbilang sangat besar dalam menyebar luaskan paham Ahlus al-Sunnah wa al-Jama’ah. Maka pantas akhirnya paham Ahlus al-Sunnah wa al-Jama’ah mendominasi di hampir seluruh wilayah Islam, yang seiring dengan sejarahnya menentang paham filosofis dan rasional.

Baca Juga:  Ilmu Perbandingan Agama (IV): Perkembangan dalam Dunia Islam dan Indonesia

Pada tahap inilah akhirnya, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang filosofis dan rasional relatif terhenti. Secara perlahan dan tanpa disadari oleh umat Islam, mereka seperti membatasi dirinya dengan ilmu-ilmu kuno (ulum al-awail) yang filosofis dan rasional, yang justru sebagai dasar perkembangan iptek. Sebagian golongan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah yang ekstrim, meragukan ilmu-ilmu filosofis-rasional itu, bahkan menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat. Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap sebagai peremehan terhadap agama dan diragukan keseluruhan akidahnya.

Perkembangan iptek yang sebelumnya pernah mencapai puncak kemajuannya pun akhirnya nyaris terhenti secara total. Sebagian umat Islam seolah mencibir, bahkan menganggap menghianati agama kepada orang-orang yang mempelajari ilmu umum. Dan akan dipandang mulia orang-orang yang mempelajari ilmu agama atau ilmu-ilmu yang bernuansa akhirat saja. Wallahu A’lam. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini