Pagi itu, Sidul bersih-bersih teras masjid bersama ki ageng Margajul. Untuk memecahkan keheningan ia mencoba ngajak ngobrol gurunya dengan melontarkan sebuah pertanyaan.
“Yi! Kira-kira keadaan saya sekarang ini sedang dicintai Tuhan, atau malah dibenci?”
“Haah!” –ki Margajul agak kaget mendengar pertanyaan muridnya “emang ada apa, Dul? Kok tiba-tiba Tanya begitu?”
“nggak ada apa-apa, yi. Bukankah Rabiah Al-adawiah yang tidak takut masuk neraka sangat takut bila tidak dicintai Allah? Mosok saya yang kawula alit tidak berhak untuk takut kalau tidak dicintai Allah?”
“oh, iya, kamu benar. Karena tujuan hidup itu kan mencari ridho Tuhan. Dan ridho tuhan itu bisa muncul ketika ia dibarengi dengan cintanya pada seorang hamba. Percuma kita ngoyo-ngoyo dalam beribadah kalau ujungnya kita malah dibenci Tuhan.
Dulu di zaman Nabi Musa, ada seorang abid, ahli ibadah, yang mengasingkan dirinya di pegunungan supaya bisa fokus dalam beribadah. Namun rupanya ketika ia tanyakan pada Nabi Musa tentang balasan apa yang ia dapatkan dari ibadahnya jawabannya sangat jauh dari harapannya.
“Wahai Musa, bisakah engkau tanyakan pada Tuhanku. Apa balasan yang patut untukku”
Nabi Musa pun bermunajat untuk menyampaikan pesan abid tadi. “wahai temanku, kata allah, balasan yang patut untukmu adalah neraka”.
Mendengar jawaban nabi Musa si abid pun menangis. Dalam tangisnya terdengar ia melantunkan sebuah doa “ya Allah! Kalau memang benar aku pantas masuk neraka. Aku mohon satu hal padamu, besarkanlah badanku sampai memenuhi neraka sehingga tak ada orang lain di neraka selainku”.
Beberapa hari setelah itu nabi Musa datang lagi kepadanya untuk menyampaikan wahyu Allah.
“Wahai saudaraku! Kata Tuhan, kini balasan yang patut untukmu adalah surga. Engkau berhak masuk ke dalamnya karena doamu. Dulu, saat kau beribadah lama-lama di pegunungan Allah tidak ridha, bahkan ia membencimu. Karena tujuanmu saat itu sebenarnya adalah menjauhi manusia agar tidak terganggu.
Tapi saat engaku berdoa supaya badanmu menjadi besar sehingga tidak seorang pun yang masuk neraka ridha Tuhan muncul. Ia beralih mencintaimu. Karena engkau sangat peduli pada makhluk Allah.”
Sejak itu si Abid pun beribadah dan bersosial dengan baik sehingga ia terus dicintai Allah.”
Ki ageng Margajul menghembuskan nafas besar. Ia bergumam dalam hatinya, “Rupanya sekarang muridku sudah suka tadabbur (merenungi) hal yang ndakik-ndakik, njlimet”.
“Nah, jawaban yang mengarah pada soalku mana, yi?” –kata Sidul.
Ki Margajul terbelalak. “kita selesaikan dulu bersih-bersihnya! Baru kita bahas soalmu, itu” –balas beliau.
Mereka berdua lalu meneruskan nyapu masjid hingga bersih. Selesainya mereka berdua duduk dan bercengkerama di pojok masjid sambal ngopi dan ngudud.
Untuk membuka percakapan ki margajul menyetir sebuah hadist riwayat Muslim yang redaksinya kalau diterjemahkan ke Indonesia kira-kira begini.
“Apabila Allah sedang mencintai hambanya maka ia memanggil jibril dan berfirman “aku mencintai si fulan, maka cintailah dia!”. Jibril pun mencintainya dan mengumumkan cintanya di langit. “Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia!” –ujarnya.
Para penduduk langit lalu berbondong-bondong mencintainya. Setelah itu diturunkanlah “penerimaan’ terhadapnya di bumi. (dalam redaksinya dituliskan yudha’u lahul qobulu fil ardhi)
Sedangkan bila Allah sedang membenci hambanya ia berfirman pada Jibril “aku membenci si fulan, maka bencilah dia!”. Jibril lalu mengumumkan kebenciannya di langit “Alllah membenci si fulan, maka bencilah dia!”. Hingga akhirnya ia menjadi dibenci di langit sekaligus di bumi.”
Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari hadist tersebut? Cinta dan kebencian Tuhan terhadap hambanya bisa diindikasi dari keadaan hamba tersebut di muka bumi.
Bila di bumi ia dicintai banyak orang –mungkin karena kebaikannya- maka bisa diartikan ia sedang dicintai Tuhan. Lihat saja para guru kita! Bukankah kita senang jika bertemu dengannya, bahkan kerap kali kita berebut mencium tangannya. Mengapa demikian? Karena kemungkinan besar ia sedang dicintai Allah sebab pengorbanannya yang besar dalam mendidik muridnya.
Juga sebaliknya, bila ia di bumi dibenci banyak orang –bisa saja karena perangainya yang buruk- maka bisa dindikasikan ia sedang dibenci Tuhan. Lihat saja para koruptor! Bagaimana perasaanmu bila mendengar ada pejabat yang korupsi? Bencikah, atau justru senang? Tentu saja kamu akan menjawabnya “benci”.
Mengapa demikian? Karena kemungkinan besar ia juga sedang dibenci Allah sebab perbuatannya yang tidak memanusiakan manusia.
Lalu bagaimana dengan Sidul? Adakah ia sedang dicintai Allah atau justru dibenci? Ingat! Pagi itu ia sedang bersih-bersih masjid.