Wak Darko dan Hartanya

Wak Darko, teman Mbah Kandar, dulu itu kaya harta. Rumahnya magrong -magrong. Kalo gak salah rumahnya tingkat tiga, meski yang di atas Cuma buat pemean. Hidupnya mewah banget, bagaikan Zhao Gongming, si dewa harta yang dipuja masyarakat China.

Tapi setelah tobat dia hidup sederhana. Seolah tak punya ambisi lebih dalam mengejar kekayaan duniawi layaknya teman-teman dan saudara Chinanya. Ia hanya mencari rejeki ala kadarnya. Yang penting cukup buat makan sehari-harilah.

Kehidupannya yang demikian menarik simpati warga untuk mengorek laku spiritual yang membawanya pada level seperti itu. Menjadikan rejeki hanya untuk kebutuhan. Istilahnya zuhud. Orang Jawa kalo bilang, gak kedonyan.

Karena sangat sering ditanya maka wak Darko terpaksa bercerita. Katanya, dulu saat masih kaya ia sangat kikir. Tapi ia gemar melakukan pemborosan. Berpesta pora. Menyewa perempuan. Dan mengundang sejumlah tamu istimewa yang merupakan rekan bisnisnya.

Baginya, pemborosan seperti itu bukanlah sebuah pemborosan. Sebab dengan itu ia akan dihujani pujian. Mungkin bisa dibilang, ia membeli pujian dan kekaguman dengan uang.

Hingga suatu malam setelah pesta besar, ia didatangi seorang kakek tua bercelana cingkrang yang mengaku muridnya syeikh Subakir. Seorang ulama pertapa dari negeri Persia yang menumbali tanah Jawa. Dari penampilannya ia memang kelihatan semrawut. Tapi saat berkata-kata wibawa dan jiwa inteleklnya mulai keliatan. Dalam kalimat-kalimatnya yang keluar, terselip ejekan kecut, tanpa tedeng aling-aling. Rupanya ini bukan satire.

“Ko, apa kamu gak sumpek hidup dalam penjara yang kamu bangun sendiri ini?”
“Hah, penjara?”
“Harta yang tak pernah dizakati itu penjara. Kamu gak merasakannya! Hatimu tumpul! Hartamu yang menumpulkannya”
“Heh, siapa tuan, dan mengapa tiba-tiba mengataiku demikian?”
“Apa saya keliru?”
Wak Darko deg-degan hatinya. Hatinya mereka-reka tanya “siapa sebenarnya orang ini?”.

Baca Juga:  Cerpen Lelayu

Layaknya di cerita-cerita sufi, wak Darko langsung punya niatan untuk mengubah jubah kekayaannya dengan selimut kefakiran agar kelak bisa tenang kala menapaki jalan menuju tuhan. Ia ingin mengembara sebagai si miskin, yang kelak kata Nabi dekat dengannya.

Tapi sekali lagi, ia tak bisa lepas dari kritik kakek tua yang mengaku murid syekh Subakir itu.

“Meninggalkan kekayaan belum tentu merupakan penyucian jiwa”
“Apa maksud tuan?”
“Hartamu itu juga makhluk Allah. Sama kayak kamu. Kalau kamu tinggalkan, berarti kamu menyalahkan harta, dong. Tanpa menengok sedikit pun pada jiwamu. Dengan demikian, apakah jiwamu sudah bersih?”

Setelah berkata demikian, kakek tua itu pergi tanpa beban. Sedangkan wak Darko masih celingukan merenungi perkataannya. Karena bingung, ia lalu sujud -entah, sujud apa- dan bermunajat pada Tuhannya.
“Ya Allah, engkau yang tidak pernah tidur. Jangan lepaskan hamba dari lindunganmu sedetik pun. Hamba takut lalai padamu ya, Allah”.

Perasaan hatinya berubah. Ia kini menjadi tenang. Tapi masih ada yang mengganjal di benaknya. Yakni, perkataan kakek tua tentang harta. Tapi Alhamdulillah, sejenak setelah ia membatin, berdoa minta jawaban, ada suara tak berwujud yang memberinya pencerahan. Suara seperti ini dalam ilmu tasawuf kerap disebut dengan istilah “hatif” atau suara tanpa wujud.

“Hei Darko. Benar apa yang dikatakan kakek tua tadi. Harta memang tidak salah. Karena yang salah adalah sikapmu. Kau terlalu serakah dan rakus. Padahal sikap adalah penentu baik buruknya seseorang. Kalau kamu buruk dalam menyikapi hartamu maka kamu akan jadi buruk pula. Tapi kalau sikapmu baik maka kamu juga akan baik”.

Selanjutnya Darko hidup sederhana dan amat dermawan.
Sikap itu penting. Makanya ia harus dijaga betul saat menjalani sesuatu.

Baca Juga:  Kepercayaan

Sekali lagi, penilaian seseorang lahir bukan dari apa yang kita miliki. Tetapi pada sikap kita terhadap apa yang kita miliki. Bukankah kita sering mencaci orang kaya yang suka menghamburkan hartanya, dan memuji habis-habisan para dermawan yang memberikan hartanya untuk nyumbang masjid?

Ahmad Miftahul Janah
Mahasiswa fakultas syariah Al-Azhar Mesir, alumni pondok pesantren Annur 2 Al-Murtadlo dan Al-Munawwir Krapyak.

Rekomendasi

Berita

Jalan Syubhat

Sangat boleh jadi sesuatu yang beracun itu bukan disebabkan oleh esensi bendanya, tetapi ...

Tinggalkan Komentar

More in Cerpen