Pesantren.id-Kepemimpinan perempuan selalu menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Meskipun dalam realitas kehidupan sehari-hari sudah banyak perempuan yang menduduki jabatan tertinggi, seperti komunitas, organisasi, pemerintahan, maupun sosial politik lainnya. Akan tetapi, polemik boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin, masih menjadi hambatan bagi perempuan.
Salah satunya disebabkan oleh kepercayaan umat Islam mengenai sejumlah dasar hukum yang dipahami bahwa perempuan tidak boleh memimpin. Seperti dalam surat An-Nisa ayat 34.
“Laki-laki adalah qawwam bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Annisa:34)
Sebagian ulama menegaskan bahwa, ayat ini menjadi dasar larangan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Akan tetapi, ulama lain secara keras menolak pernyataan tersebut. Sebab, ayat ini tidak sedang berbicara mengenai kepemimpinan laki-laki, namun mengenai norma tanggung jawab yang harus diemban oleh mereka yang memiliki kapasitas, kemampuan, dan harta yang cukup.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menopang perempuan. Karena biasanya secara sosial, merekalah yang memiliki kapasitas dan kemampuan. Setidaknya, laki-laki lebih awal memiliki harta karena faktor tertentu.
Namun dalam praktiknya, ada juga perempuan yang memiliki kapasitas, kemampuan, dan harta yang cukup. Maka mereka pun memiliki tanggung jawab yang sama untuk menopang dan menolong orang-orang yang lemah dan tidak berkecukupan. Baik dari keluarga sendiri maupun domestik.
Artinya, ayat ini (qiwamah) bukan berbicara tentang kepemimpinan. Melainkan tanggung jawab orang kuat terhadap orang yang lemah, yang berilmu kepada yang tidak berilmu, yang memiliki harta pada yang tidak memiliki harta. Dan secara normatif, tanggung jawab ini bukan berkaitan jenis kelamin, melainkan dengan kapasitas dan kemampuan.
Selain itu, rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.
Di satu sisi, ada juga hadis yang dijadikan pedoman bahwa perempuan tidak layak memimpin.
“Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (HR. Al-Bukhari, an-Nasa’i, Al-Tirmidzi, Ahmad).
Periwayatan hadis ini diterima sebagian besar ulama lebih karena kredibilitas Imam Bukhari telah teruji. Namun pemaknaan hadis ini perlu dikaji ulang. Menurut Hibah Rauf Izzat, aktivis muslimah dari Mesir, hadis ini tidak bisa dimaknai sebagai pelarangan terhadap kepemimpinan politik atau publik perempuan, karena hadis ini tidak dinyatakan untuk itu. Ketika memaknainya, harus dikelompokkan dengan hadist-hadist lain (yang juga sahih dan diriwayatkan Imam Bukhari) yang berbicara tentang Kerajaan Kisra Persia dan interaksi mereka dengan komunitas Nabi Muhammad Saw.
Pertama, ada hadis yang mengisahkan bahwa ketika utusan Nabi Saw datang membawa surat ke Kisra Persia, ia menyobek-nyobek surat tersebut, sehingga utusan Nabi Saw pulang ke Madinah. Setelah itu Nabi Saw meramalkan kehancuran kerajaan Kisra.
Kedua, pengabaran Nabi Saw bahwa Kaisar Romawi dan Kisra Persia akan hancur, dan masyarakatnya akan tunduk pada jalan Allah. Kedua hadis inilah yang mengawali pernyataan Nabi Saw tentang kehancuran kepemimpinan perempuan. Perempuan yang dimaksud seperti dalam teks hadis adalah perempuan penguasa Kisra Persia, yaitu Bawran binti Syayruyah bin Kisra.
Dari kisah tersebut, hadis ini sama sekali tidak bisa digeneralisasi untuk larangan kepemimpinan perempuan di manapun dan kapan pun. Hadis ini khusus mengenai bangsa Persia dan pemimpin perempuan saat itu.
Meskipun hadis tersebut bukan menyangkut larangan kepemimpinan, namun anggapan bahwa perempuan adalah makhluk sempit akal dan kurang agama, masih tetap melekat di masyarakat. Sehingga kedudukan pemimpin perempuan masih menjadi hambatan.
Padahal sejatinya, Islam tidak membeda-bedakan derajat seseorang berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan untuk bersama-sama menyebarkan rahmat serta menjadi khalifah di bumi. Keduanya memiliki kelayakan penuh atas hak dan tanggung jawab dalam segala hal.
Pemimpin Perempuan dalam Islam
Sejarah mencatat bahwa pemimpin hebat tidak hanya berasal dari kaum laki-laki. Pada zaman dahulu ada Cleopatra, Corie Aquino, Margareth Theacher, Benazir Butho, atau Ratu Balqis yang bisa membawa kemakmuran bagi negaranya, sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman as. Sampai-sampai kehebatannya diabadikan dalam Alquran.
Bahkan dikisahkan juga, isteri-isteri nabi, seperti Aisyah, tingkat kecerdasannya diakui oleh para sahabat. Aisyah sendiri pernah memimpin perang Jamal, Ummu Hani, al-Syifa seorang perempuan yang pandai menulis ditugaskan oleh Khalifah Umar ibn Khatab sebagai petugas yang menangani pasar Kota Madinah.
Melihat kesuksesan perempuan-perempuan zaman dahulu dalam memimpin, tidak bisa dikatakan bahwa perempuan sempit akal dan kurang agama serta tidak layak menjadi pemimpin. Karena realitasnya, banyak sekali perempuan yang memiliki kecakapan spiritualitas, intelektualitas, serta kecakapan memimpin pada wilayah sosial dan politik.
Selain itu, pada hakikatnya yang perlu diperdebatkan bukan masalah kepemimpinan perempuan atau laki-laki. Namun kepemimpinan yang mashlahah ‘ammah, yang memastikan kebijakan-kebijakan publik yang diambil, memberikan kemaslahatan yang maksimal kepada masyarakat secara umum, menjamin kesejahteraan, dan mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh. Terutama, dengan mempertimbangkan dan memprioritaskan mereka yang memiliki kondisi khusus, terpinggirkan, marginal, lemah, dan miskin.
Untuk itu, sejatinya perempuan juga boleh menjadi pemimpin dan menduduki jabatan tertinggi setara dengan laki-laki. Keduaya merupakan subjek setara yang harus diberikan kesempatan yang sama. Dengan tuntutan, dapat bertanggung jawab memberikan kemaslahatan yang maksimal bagi rakyatnya. (IZ)