Apakah Diamnya Seorang Gadis Saat di Khitbah Merupakan Sebuah Bentuk Persetujuannya?

Pernah nggak sih kamu menemukan permasalahan di lingkungan sekitarmu, perihal seorang wanita ketika ditanya tentang ketersediaannya untuk menikah namun dia hanya diam saja?

Tulisan dibawah ini merupakan keresahan dari penulis ketika ada seorang wanita yang dilamar oleh seorang pria, namun ketika wanita tersebut di mintai izin oleh kedua orang tuanya ia hanya diam saja. Diamnya wanita ini diartikan sebagai indikasi dari ke ridlannya terhadap lamaran dari pihak laki-laki. Namun pada realitanya pernikahan yang diharapkan sakinah, mawaddah warahmah tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.

Karena ini penulis ingin membahas tentang Relevansi Diamnya Seorang Gadis Sebagai Indikasi Persetujuan Izin Menikah. Persepsi ini pada mulanya berasal dari hadits yang merupakan catatan dari Imam at-Tirmidzi yang berbunyi:

عن ابن عباس أنّ رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الأيّم أحق بنفسها من وليّها والبكر تُستأذنُ في نفسها و إذنُها صمتها

Artinya: Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW., bersabda: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya. (HR. Tirmidzi)

Menurut pemaknaan tekstual hadits tersebut bahwa memang dibenarkan jika diamnya seorang gadis ketika di khitbah merupakan bentuk dari persetujuannya. Namun, alangkah baiknya jika kita melakukan pemaknaan dalam sebuah dalil tidak hanya memahami secara tekstualnya saja, namun juga aspek lain seperti halnya aspek historis.

Sikap dari diamnya seorang gadis yang dipahami pada masa Rasulullah SAW., dapat dilihat dalam beberapa riwayat dibawah ini:

Diriwayatkan dari ‘Atha’, dia berkata, “Rasulullah SAW. biasa meminta izin kepada putri-putrinya yang akan dinikahkan. Rasulullah biasanya meminta putrinya untuk duduk di balik tirai dan menanyakan pendapatnya tentang lamaran seseorang atas dirinya. Jika putri beliau menggerakkan tirai maka beliau tidak akan menikahkannya. Dan jika diam saja maka Rasulullah menikahkannya.”

Baca Juga:  Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 235-237 tentang Khitbah dan Hak Mahar Istri

Dari ‘Umar bahwa jika Rasulullah SAW. hendak menikahkan salah seorang perempuan, apakah itu anggota keluarganya sendiri atau kerabat keluarga terdekatnya, beliau akan menjumpai perempuan tersebut dari balik tirai sembari mengatakan, “Wahai putriku, sesungguhnya si fulan telah meminangmu. Jika kamu tidak menyukai, katakan tidak. Jika kamu mau maka sikap diam mu merupakan bentuk persetujuanmu.”

Dari beberapa riwayat di atas, diketahui bahwa sikap diam perempuan tidak bisa digeneralisir sebagai bentuk persetujuan. Karena diam yang dimaksud dalam hadits riwayat al-Nasa’i di atas lebih dikonotasikan sebagai diam secara fisik dan sangat simbolik, sesuai dengan kebudayaan Arab.

Dalam HR. Buhkori Nomor 5137 juga dijelaskan, bahwa Sayyidah Aisya r.a. berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau Rasulullah SAW., menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.”

Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa wanita pada zaman dahulu, malu untuk mengungkapkan pendapatnya. Lain halnya dengan zaman sekarang dimana seorang wanita cenderung lebih berani mengungkapkan pendapatnya.

Murtadha Mutahhari juga menjelaskan bahwa diamnya seseorang boleh jadi menandakan persetujuannya. Akan tetapi perlu diingat bahwa ketika Rasulullah menikahkan Sayyidah Fatimah ada proses komunikasi antara beliau dengan putrinya tentang penggunaan simbol tertentu untuk menunujukkan persetujuan. Selain itu, kondisi psikologis yang ditunjukkan melalui perubahan sikap juga mendapat perhatian.

Memilihkan jodoh yang terbaik untuk anak pada dasarnya diperbolehkan dalam agama, akan tetapi perlu dipertimbangkan pandangan anak, bagaimana sikap lahir dan batinnya, karena diam bukanlah satu-satunya indikator persetujuan. Diam hanya salah satu isyarat, yang mana menurut Marcel Danesi bisa berbeda penggunaannya dari satu daerah dengan daerah yang lain, tergantung budayanya.

Baca Juga:  Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 235-237 tentang Khitbah dan Hak Mahar Istri

Dalam hal ini, menurut penulis banyak cara yang dapat dilakukan untuk memunculkan sikap suka rela. Diantaranya melalui musyawarah antara anak dengan orang tua. Melalui komunikasi yang intensif dan dibangun dalam suasana kekeluargaan para pihak yang bersangkutan, maka akan lebih mudah untuk menjalankan sebuah pernikahan bagi anak yang hendak dinikahkan. Dimana pernikahan tidak hanya melibatkan dua mempelai. Melainkan juga melibatkan dua keluarga besar. Selain itu jika sudah ada ke-suka relaan antara kedua belah pihak, maka tujuan dari pernikahan itu dapat dengan mudah ter-realisasikan. []

Siti Ruchilah
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Fii Ushul al-Fiqh Kajen, Pati

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini