Membaca Lebih dalam Gagasan ‘Kiri Islam’ dari Hassan Hanafi

Selama ini, istilah ‘kiri’ selalu diidentikkan dengan hal-hal yang negatif. Bukan hanya dalam segi ideologi, hal tersebut juga berlaku di seluruh lini kehidupan. Sebagai contoh, sering orang tau berkata pada anaknya seperti ini, “Kalau makan pakai tangan bagus, ya!”. Frasa ‘tangan bagus’ tersebut tentu mengarah pada tangan kanan. Kasus ini jelas berdampak pada antonimnya. Bila tangan kanan disebut ‘tangan bagus’, maka tangan kiri adalah ‘tangan buruk’. Berangkat dari hal tersebut, tentu tak mengherankan bila terdapat banyak orang yang berpikir negatif ketika baru mendengar istilah ‘Kiri Islam’.

Kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah ‘Kiri Islam’ jelas mengundang perlawanan. Tak sedikit yang menyanggah bahwa dalam Islam tidak terdapat Kiri maupun Kanan. Islam itu satu, memiliki Tuhan yang satu, dan adalah kewajiban umat Islam untuk bersatu. Mereka lantas menyebut bahwa penggunaan istilah Kiri dan Kanan merupakan bagian dari permainan kata-kata yang bertujuan untuk memecah-belah umat. Fenomena tersebut sebenarnya bisa dibaca sebagai implikasi penjajahan kultural dalam aspek istilah-istilah  bahasa dan pola pemikiran. Dampaknya adalah masyarakat tak lagi akrab dengan istilah ‘Kiri’ yang bermakna demokrasi, kebebasan, kerakyatan, atau perjuangan.

Sosok yang menjadi penggagas dari Kiri Islam adalah Hassan Hanafi. Ia dilahirkan di Kairo, Mesir pada tanggal 13 Februari 1935 M. ketika menduduki bangku Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha” di usianya yang ke-13 tahun, Hassan Hanafi mulai aktif mengikuti diskusi yang diadakan kelompok Ikhwan al-Muslimin. Pada 1952, ia melanjutkan studinya ke Universitas Kairo dengan mengambil jurusan filsafat. Studinya tersebut berhasil dirampungkan pada tahun 1956 dengan gelar sarjana muda. 10 tahun setelahnya, tepatnya tahun 1966, Hassan Hanafi meraih gelar doktor dari Universitas Sorbone, Prancis.

Baca Juga:  Post Tradisionalisme Islam: Suatu Diskursus Kaum Intelektual Muda NU

Berdasarkan kiprah intelektualnya tersebut, dalam diri Hassan Hanafi terkandung 2 corak pemikiran, yakni [1] corak pemikiran Timur yang didapat di Universitas Kairo, dan [2] corak pemikiran Barat yang diperoleh di Universitas Sorbone. Hassan Hanafi lantas mengombinasikan dua tipologi pemikiran tersebut untuk menghadapi problematika realitas sosial dunia Timur saat itu. Hassan Hanafi melihat bahwa dunia Timur kala itu penuh dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ironisnya lagi, hal tersebut ditambah dengan dominasi dunia Barat terhadap dunia Timur dalam aspek politik, pendidikan, ekonomi, hingga kultur. Kegelisihan Hassan Hanafi ini kemudian melahirkan gagasan ‘Kiri Islam’. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa makna ‘Kiri’ di sini merupakan representasi konotasi akademik, bukan aliran politik.

Hassan Hanafi mengungkapkan bahwa salah satu tugas Kiri Islam adalah memulangkan posisi Barat pada batas-batasnya semula dan mengakhiri mitos sifat global (mendunia)-nya. Metode yang digunakan Hassan Hanafi ialah memakai corak pengetahuan Barat untuk menyingkap wajah peradaban Barat yang sebenarnya. Ia banyak mencatat asal usul Barat. Hal tersebut lantas ia jadikan bahan diskusi untuk mengungkap mana bagian-bagian yang berisi sikap barbarian, disposisi (kelainan watak) materialistik, keliaran, rasisme, juga sikap-sikap lain yang terkandung dalam ekspansi-ekspansi kolonialismenya. Upaya tersebut adalah sebuah keniscayaan untuk membendung Erosentrisme (pandangan dunia yang condong terhadap peradaban Barat) yang telah nyata menguasai masyarakat dunia. Di sisi lain, upaya tersebut juga merupakan bentuk penebusan terhadap kejahatan orientalisme yang telah dengan sengaja memperburuk citra Timur (khususnya Islam).

Lantaran Kiri Islam, tercetuslah sebuah ilmu sosial baru yang disebut ‘Oksidentalisme’. Secara harfiah, kata accident bermakna ‘arah matahari terbenam’. Prof. Dr. Burhanuddin Daya mendeskripsikan oksidentalisme sebagai, “Sebuah paham yang melakukan pengkajian akademik terhadap dunia Barat, biasanya dilakukan oleh para cendekiawan Timur dan dengan perspektif Timur”. Hassan Hanafi menyatakan bahwa lahirnya oksidentalisme bukan untuk mengungguli orientalisme, ia lebih cenderung sebagai antitesis dari orientalisme. Ia berkata, “Jika orientalisme merupakan pandangan tentang ‘kita’ (Islam dan Timur) melalui kacamata ‘mereka’ (Barat), maka oksidentalisme dimaksudkan untuk menyingkap ambiguitas sejarah antara ‘kita’ dan ‘mereka’ serta pergulatan antara kelemahan ‘kita’ dengan keunggulan ‘mereka’.”

Oksidentalisme sebenarnya hanya menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, tidak lebih. Tuntutan tersebut lahir dari anggapan bahwa Barat merupakan satu-satunya kiblat dalam setiap aspek kehidupan. Hal itu jelas secara tidak langsung merupakan bentuk penjajahan terhadap Timur (Islam). Kendati demikian, Hassan Hanafi juga tak menafikan kelemahan yang selama ini menempel pada umat Islam. Salah satu kelemahan tersebut bisa dilihat dari adanya celah dalam pemikiran tradisonal Islam dalam menganalisis masyarakat. Celah yang dimaksud yakni pemikiran tradisional Islam terlalu mengandalkan otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks ke dalam realitas.

Baca Juga:  Sejarah dan Makna Perintah Jihad dalam Islam

Hassan Hanafi memberikan kritik terhadap hal tersebut, kritik lebih detailnya yakni.

  1. Teks bukanlah realitas. Memang benar ia merupakan ekspresi linguistik yang mendeskripsikan realitas, tapi tetap saja ia bukan realitas itu sendiri. Teks tidak dapat dijadikan bukti tanpa melihat kembali landasan realitasnya.
  2. Teks membutuhkan keyakinan yang selaras dengan rasio atau pengalaman manusia.
  3. Dalam banyak kasus, teks hanya menjadi yang berasal dari realitas luar (realitas lain).
  4. Teks membutuhkan penafsiran terhadap realitas (peristiwa) yang ditunjuknya. Sebab, tanpa hal tersebut teks justru menjadi tak bermakna dan bisa menimbulkan misinterpretasi teks di luar apa yang dimaksudkannya.
  5. Tek sering kali dijadikan tumpuan pilihan yang berkaitan dengan untung-rugi. Hal ini membuat kelompok kapitalis memilih teks yang menguntungkan kelompok mereka. Kelompok sosialis pun juga melakukan hal yang sama. Kerunyaman ini terjadi bukan karena teksnya, melainkan pilihan para penafsirnya.
  6. Teks kerap kali dihadapkan pada keyakinan umat, bukan kenyataan yang dihadapi umat.
  7. Teks cenderung membela Islam sebagai sebuah prinsip, alih-alih membela muslim sebagai umat. []

 

Sumber Rujukan

Rihlasyita, Wilda. “Kiri Islam Hasan Hanafi dan Oksidentalisme”, Jurnal Al-Yasini, vol. 4, no. 2. November 2019.

Shimogaki, Kazuo. 2004. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz & M. Jadul Maula. Yogyakarta: LKiS.

Zuhry, H. Muhammad Syaifuddien. “Tawaran Metode Penafsiran Tematik Hassan Hanafi”, Jurnal al-Taqaddum, vol. 6, no. 2. November 2014.

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini