Kedatangan Islam Nusantara bukan untuk merubah doktrin Islam, akan tetapi hanya ingin mencari metode bagimana melabuhkan Islam dalam konteks beragamnya budaya masyarakat lokal. Islam Nusantara ini juga tidak memadukan agama jawa dan Islam atau upaya sinkretisme, namun kesadaran budaya dalam melaksanakan strategi dakwah seperti yang telah di contohkan oleh para Walisongo.[1]
Sejalan dengan perkembangan budaya Nusantara dapat kita lihat betapa nilai-nilai kebudayaan Islam telah melebur dengan nilai-nilai budaya lokal di beberapa daerah di Indonesia, baik berwujud tradisi, seni budaya, hingga peninggalan fisik. Corak atau perilaku keislaman di Nusantara tentunya sangat berbeda dengan jenis atau corak keislaman di timur tengah. Hal tersebut dikarenakan, selain letak geografis yang berbeda, tanah bumi Timur Tengah dan bumi Nusantra mempunyai peradaban dan kebudayaan masing-masing yang tidak dapat di sama ratakan satu sama lain.
Dengan begitu jangan heran jika kelompok yang bertujuan meng-arabkan Nusantara tidak akan menemukan keberhasilan, karena kebudayaan yang melekat pada suatu wilayah tidak mudah untuk di hapuskan. Kehadiran Islam ini seiring berkembangnya zaman, secara terus-menerus berdialog dengan budaya masyarakat lokal yang kemudian menciptakan simbol-simbol khas Nusantara yang tentunya tidak sama dengan kawasan Timur Tengah.[2]
Contoh produk simbol-simbol keislaman khas Nusantara, salah satunya tradisi yang lumrah sekali dapat dengan mudah di temukan, salah satunya fenomena kebiasaan para santri dan Kyai mengenakan sarung. Selain berfungsi untuk menutup aurat, sarung juga tidak pernah di teladankan oleh Nabi Muhammad saw pada zaman dahulu. Akan tetapi Nabi mengadopsi pakaian tradisi bangsa Arab yaitu mengenakan jubah. Saat ini perlu kita ketahui bahwa sarung kini menjadi symbol keislaman yang secara kultural telah melekat sebagai identitas Muslim Nusantara.
Hingga kini, tradisi mengenakan sarung oleh kalangan santri dan juga masyarakat Nahdliyin terus di lestarikan. Bahkan, Nahdlatul Ulama sendiri sering kali di sebut dengan Organisasi Kaum Sarungan. [3] Hal yang perlu di perhatikan juga adalah kadar penerimaan masyarakat Indonesia terhadap hadirnya Islam tidaklah semua sama. Sebagaian masyarakat ada yang menerima Islam secara keseluruhan, dan ada juga yang menerima hadirnya Islam ini secara setengah-setengah.
Dampak dari tidak samanya tingkat kadar penerimaan tersebut, maka nantinya akan menyebabkan Islam Nusantara pun tidaklah bersifat tunggal.[4] Juga perlu diketahui bahwa tingkat penerimaan Islam terhadap budaya yang tersebar di Indonesia begitu beragam, tentunya tidak dapat disamakan. Menurut Azyumardi Azra, ia menjelaskan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap Islam pada suatu wilayah tidak hanya tergantung kapan pengenalan Islam itu terjadi, tetapi juga tergantung dari watak setiap wilayah masyarakat yang di hadapi Islam itu sendiri.
Berangkat dari sinilah yang nantinya menghasilkan produk ekspresi keislaman yang dibilang plural. Ada Islam Minang, Islam Sasak, Islam Jawa, Islam bugis dan Islam lainnya yang menunjukkan kebhinekaan dari Islam Nusantara. Hingga saat ini, Islam Nusantara mengalami perkembangan yang berbeda, tercatat sekurangnya terdapat empat model perkembangan dan pertumbuhan Islam Nusantara di Indonesia menurut Taufik Abdullah, yakni model Minang, model Jawa, model Goa dan model Aceh.
Nampaknya keberhasilan perkawinan antara Islam dan tradisi lokal sangat serasi sekali yang menghasilkan berbagai produk kearifan lokal (local wisdom) dapat dengan mudah di temui dalam kehiduapan masyarakat Muslim di Nusantara. Produk yang di hasilkan dari perkawinan ini dapat kita temui adalah berbagai model bangunan masjid yang mengenakan model tradisi lama yang di padukan dengan unsur keislaman.
Contoh: bangunan masjid Agung Kudus yang telah menjadi saksi betapa Hindu dan Islam bisa saling berasimilasi tanpa harus saling menjatuhkan satu sama lain. Bentuk menara masjid nampaknya di desain sedemikian rupa hingga menyerupai bangunan candi. Begitupun jua masjid yang dibangun oleh para Walisongo yaitu Masjid Agung Demak, yang memadukan antara ruh Islam dan lokalitas kebudayaan jawa. Perkawinan antara Islam dan budaya ini bisa di bilang seksi sekali, sampai hari ini pun tetap eksis dan menjadi simbol ciri khas kesilaman tersendiri dari Islam Nusantara.
Kawasan Islam Nusantara nampaknya termasuk salah satu dari delapan ranah religio-ciltural Islam. Tujuh ranah agama-budaya Islam lainnya yaitu Turki, Persia/Iran, Arab, Anak Benua India, Afrika Hitam, Dunia Barat dan Sino Islamic. Kedelapan ranah tersebut, selain memegang prinsip pokok ajaran Islam yang sama dalam unsur ibadah dan akidah, akan tetetapi dari setiap ranah tersebut memiliki corak keberagamaan dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
Ma’ruf Amin juga angkat bicara mengenai Islam Nusantara, beliau mengemukakan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam Ahl Sunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah yang di anut oleh ormas Islam terbesar di Indonesia dan bahkan dunia yaitu Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, Islam Nusantara ini mencakup beberapa pendekatan yaitu: aspek gerakan, pemikiran dan amaliyah.
Adapun yang di maksud aspek pemikiran dari warga Nahdlatul Ulama yaitu bersifat (tawasuth) moderat, tidak liberal, tidak tekstual dan bersifat dinamis. Pendekatan yang menggunakan apa saja yang di mata masyarakat di anggap baik boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syara’. Seperti halnya ritual keagamaan tahli, maulid nabi, halal bihalal dan hal lainnya.
Ciri khas yang lain yang mewakili Islam Nusantara yaitu adanya model khas terhadap manuskrip-manuskrip tentang dinamika Islam dan masyarakat Islam lokal yang selain di tulis menggunakan bahasa Arab, juga terdapat penulisan yang menggunakan bahasa lokal seperti Batak, Bali, Aceh, Jawa Kuno, Madura, Melayu, Bugis, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda,[5] Sunda kuno, Ternate, Walio, beberapa bahasa Indonesia Timur, bahasa Sumsel dan Kalimantan.[6]
Sehingga, dalam memahami manuskrip Islam Nusantara nantinya sama saja dengan menempuh jalan pintas untuk mengetahui beberapa pola hasil dari dialog atau interaksi dan pertemuan budaya lokal Nusantara dan Islam.[7] Perlu ditegaskan kembali bahwa yang dimaksud Islam Nusantara di sini adalah model pemahaman, pemikiran serta pengamalan nilai-nilai kesilaman yang dikemas dengan tradisi atau juga dengan budaya yang berkembang di wilayah Nusantara. []
[1] Khabibi Muhammad Luthfi, “ Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”, Shahih, vol. 1, no. 1, Januari-Juni 2016, 7.
[2] Abd Moqsith, “Tafsir Atas Islam Nusantara: Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi Islam Nusantara”, Jurnal Multikultural & Multireligius, vol. 15, no. 2, Mei – Agustus 2016, 22.
[3] Ibid., 22.
[4] Ibid., 22.
[5] Ibid., 229.
[6] Khabibi Muhammad Luthfi, “Kontekstualisasi Filologi dalam Teks-teks Islam Nusantara”, Ibda: Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 14, no. 1, Januari 2016, 113.
[7] Parhan Hidayat, “Menjadi Juru Kunci Islam Nusantara: Peran Perpustakaan dalam Melestarikan Naskah Islam Nusantara”, Al-Turas, vol. XXI, no. 2, Juli 2015, 272.