Kondisi ideal sebuah negara akan muncul, manakala terciptanya suatu tatanan interaksi sosial antara warga negara yang memiliki kesatuan visi dalam memandang komunitasnya sebagai sub system dari system kenegaraan. Sikap yang demikian diistilahkan Ibn Khaldun dengan sikap ashabiyah (solidaritas golongan). Dalam tataran ini, konsep ashabiyah yang dikembangkannya, pada proses awal dimaknai sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah atau pertalian kesukuan. Perasaan yang demikian akan mengikat mereka dalam sebuah solidaritas kolektif. Menurutnya, proses ini muncul secara alamiah. Dengan adanya ashabiyah dalam komunitas manusia, maka akan timbul rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya, bahkan berupaya untuk senantiasa mempertahankannya.
Melalui perasaan cinta dalam komunitasnya tersebut, maka akan tumbuh perasaan senasib sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan saling membantu antara satu dengan yang lain. Pertalian ini akan menimbulkan persatuan dan pergaulan yang harmonis antar komunitas yang ada. Pertalian ashabiyah yang demikian pada tahap selanjutnya membentuk nasab umum; perasaan yang mengikat berbagai nasab dalam sebuah persaudaraan atau solidaritas kolektif. Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa.
Hubungan harmonis antara kedua macam nasab diatas akan menimbulkan kesatuan cita-cita dan tujuan. Sikap ini pada gilirannya akan melahirkan suatu sikap positif terhadap eksistensi sebuah negara. Dalam hal ini, Ibn Khaldun lebih mengelaborasi pengertian ashabiyah dalam bentuk makna kedua, yaitu ashabiyah yang tidak lagi sebatas hubungan nasab, akan tetapi hubungan antar kelompok manusia yang memiliki kesatuan tujuan bernegara. Interaksi antar nasab ini secara luas terjadi melalui berbagai bentuk, melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penaklukan, dan lain sebagainya.
Tatkala sikap ini terbentuk secara harmonis, maka pada waktu bersamaan – menurut Khaldun; eksistensi al-mulk (kepala negara) diperlukan. Hal ini diwujudkan sebagai konsekuensi terhadap tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya perlindungan, keamanan, dan terpeliharanya berbagai kepentingan masyarakat lainnya. Untuk mewujudkan tuntutan kolektivitas tersebut, seorang kepala negara dituntut untuk memiliki superioritas intelektual dan kepribadian yang lebih dari rakyatnya. Dengan sikap ini, seorang kepala negara akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, objektif, adil, dan amanah. Jika sikap ini justeru terabaikan pada seorang pemimpin, maka eksistensinya akan menjadi bumerang bagi terlaksananya roda pemerintahan yang seyogyanya mengayomi masyarakat luas.
Tak hanya itu, menurut Khaldun, hanya negara yang memiliki ashabiyah yang kuat akan mampu menciptakan sebuah peradaban umat manusia yang tinggi. Akan tetapi, jika rasa ashabiyah pudar dan hanya dipahami secara sempit, maka yang ada hanyalah nepotisme absolut yang membuat hancurnya sebuah negara. Konsep ashabiyah yang dimaksud Ibn Khaldun dalam makna luas, bila ditarik pada dataran kehidupan berbangsa-bernegara disebut dengan solidaritas dan dukungan rakyat terhadap pemerintahan. Semakin besar dukungan rakyat, maka akan semakin kuat suatu negara. Akan tetapi, bila dukungan rakyat semakin kecil, maka semakin lemah bahkan terpecahlah suatu negara.
Menyadari bahwa eksistensi negara merupakan sebuah institusi yang memiliki tanggungjawab yang cukup besar dalam mengayomi seluruh kepentingan rakyatnya, maka Ibn Khaldun mencoba mengetengahkan konsep Negara dalam pemikiran politiknya, secara universal dan fleksibel. Ibn Khaldun tidak menyebutkan bentuk negara secara riil dan transparan. Dalam konteks ini, Ibn Khaldun memberikan kebebasan kepada setiap komunitas untuk menentukan bentuk negaranya, sesuai dengan cita-cita suatu bangsa yang bersangkutan. Melihat pemikirannya di atas, terkesan bahkan Ibn Khaldun sepertinya terwarnai oleh pandangan Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa; negara merupakan sesuatu yang diperlukan bagi menegakkan perintah agama.
Eksistensi merupakan alat belaka, bukan lembaga yang masuk pada institusi ajaran keagamaan secara intrinsik. Oleh karena itu, manusia diberikan kebebasan untuk menentukan konsep dan bentuk alat yang ingin digunakan, sesuaidengan situasi, kondisi, dan kesepakatan komunitas manusia pada suatu negara. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah bagaimana konsep atau bentuk alat tersebut mampu mewujudkan cita-cita dan menjamin terciptanya kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Dalam memaparkan konsep negara, Ibn Khaldun hanya memberikan rambu-rambu universal bentuk negara ideal, yaitu bentuk Khalifah dan Imamah. Namun demikian, batasan ini tidaklah perlu dipahami secara etimologis, sebagaimana konsep negara Khilafah secara tekstual, dimana sosok kepala negara berfungsi ganda; kepala negara dan keagamaan, atau konsep Imamah yang dipahami kelompok Syiah. Konsep yang ditawarkan Ibn Khaldun perlu dipahami dalam batasan filosofis. Batasan ini memberikan makna, bahwa kepala negara di samping sebagai pemimpin yang berfungsi memelihara kesejahteraan kehidupan duniawi seluruh rakyat, eksistensinya juga merupakan pemimpin yang seluruh tindakannya (moralitas) merupakan pedoman dan contoh tauladan yang senantiasa menjadi acuan bagi seluruh rakyatnya.
Mencermati model asli pemimpin ideal dalam pemikiran Ibn Khaldun diatas, sepertinya akan terwakili bila pemimpin memiliki kepribadian filosof yang memiliki sisi kebijaksanaan yang maksimal. Pendekatan idealistik yang dilakukan Ibn Khaldun merupakan sebuah kewajaran. Pemikirannya tentang konsep negara banyak dipengaruhi oleh ajaran Plato, terutama tentang konsep raja filosof. Negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkepribadian filosof. Dengan kepribadian tersebut, maka seorang pemimpin akan mampu memenuhi kriteria pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia sebagai manifestasi khalifah fi al-ardh yang membawa payung rahmatan lil alamin. Karena itu menurut Ibn Khaldun, agar penguasa muslim mampu menjadi seorang politikus dan kepala negara yang baik, maka harus berusaha terlebih dahulu menjadi manusia yang arif dan bijaksana, serta tidak tenggelam dalam kemewahan dan keserakahan duniawiyah.
Agar pemilihan kepala negara benar-benar mampu mengayomi fungsi ideal di atas secara serasi dan seimbang, maka proses pemilihan harus proporsional. Proses tersebut dilakukan melalui ahl al-hal wa al-aqd yang independen, objektif dan adil, tanpa bias subjektivitas kelompok manapun. Dewan ini merupakan sekumpulan ahli yang menonjol dalam berbagai kapasitasnya, baik keluasan ilmu, kehartawanan, kedudukan di tengah-tengah masyarakat, berakhlaq alkarimah, dan lainnya. Mereka pada umumnya merupakan kelompok yang memiliki kelebihan dan dipandang cakap untuk melakukan proses musyawarah dalam rangka mengangkat kepala negara. Komunitas mereka bukan merupakan wakil dari masing-masing kelompok atau daerah. Eksistensinya merupakan perwujudan dari miniatur seluruh rakyat.
Kedudukan ahl al-hal wa al-aqd, secara horizontal merupakan pengemban amanah masyarakat luas. Dewan ini kemudian melimpahkan Amanah operasional kenegaraan kepada kepala negara untuk menerapkan semua kebijaksanaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan secara vertikal, lembaga ini merupakan pemegang amanah Allah untuk mampu memilih pemimpin yang terbaik bagi umat. Di bahu mereka warna dan bentuk negara ditentukan. Adapun kriteria kepala negara yang ideal, di antaranya adalah memiliki pengetahuan yang luas, adil dan objektif, memiliki kemampuan manajemen pemerintahan, berbadan sehat, berakhlaq al-karimah, dan taat dalam beragama.
Bagi Ibn Khaldun, kepala negara bukan seorang diktator yang dengan kekuasaannya berusaha untuk memperkaya diri dan memaksanakan kehendaknya atas orang lain, melainkan kepala negara merupakan pemimpin umat yang bertugas melaksanakan tanggungjawab sosial dan agama agar manusia bisa hidup tenteram. Kepala negara yang baik adalah kepala negara yang menyadari hakikat eksistensinya sebagai pemegang amanah rakyat dan Allah. Untuk itu, seorang pemimpin akan senantiasa bersikap adil, lemah lembut, bijaksana, jujur, dan memberlakukan hukum sebagaimana mestinya. Bila pemimpin memiliki sikap yang demikian, maka mereka akan bisa hidup bersama rakyat secara harmonis dan bersmasama membangun negara dan peradabannya.
Menurut al-Maududi, munculnya pandangan Ibn Khaldun di atas merupakan sintesa Islam terhadap bentuk dan system pemerintahan monarkhi-absolut atau kepausan (Nasrani) yang menempatkan kepala negara pada posisi yang tinggi dengan kedaulatan mutlak. Akibatnya, kebijaksanaan kepala negara tidak bisa disentuh oleh hukum yang berlaku. Oleh karena itu, Ibn Khaldun menawarkan bentuk demokrasi khilafah yang memiliki perwujudan tugas kekhalifahan manusia di muka bumi yang terbatasi oleh hukum Ilahiah dan sosial kemasyarakatan.
Karena itu menurut Ibn Khaldun, membentuk negara dan pengangkatan kepala negara
merupakan suatu kewajiban. Wacana ini didasarkan pada dua alasan, yaitu Pertama, alasan syar’i yang berdasarkan kitab suci dan ijma’ sahabat. Kedua, alasan kemanusia; yaitu manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki diferensiasi individual dan memerlukan sosok pemimpin yang adil. Tujuan praktis yang dikembangkan Khaldun melalui pemikiran politiknya
tentang negara, sesungguhnya merupakan pantulan konsep moral sebagaimana yang diperlihatkan dalam sejarah sosial Islam, terutama pada masa kepemimpinan Rasulullah. Acuan moral ini merupakan pedoman bagi pemimpin muslim dalam melaksanakan kebijakan politik kenegaraan. Dengan pijakan tersebut, negara akan mampu berfungsi secara ideal, yaitu mengaktualisasikan eksistensinya sebagai wadah keadilan bagi terciptanya kebahagiaan dan nilai kerahmatan bagi seluruh masyarakat.
Menurut Ibn Khaldun, terciptanya sebuah negara yang ideal, paling tidak perlu ditunjang oleh empat kriteria sosiologis yaitu Pertama, lingkungan yang sehat, udara, air, maupun tata letak bangunannya. Kedua, secara geografis terletak pada tempat yang strategis serta menjadi lalu lintas perdagangan dan perkembangan kebudayaan. Ketiga, terciptanya solidaritas sosial yang kental; ikatan suku, agama, bahasa, wilayah, maupun rasa kebersamaan senasib. Keempat, terletak pada geografis yang subur dan kaya akan hasil buminya.
Jika keempat kriteria tersebut didukung oleh kepemimpinan kepala negara yang ideal, maka kondisi tersebut akan mempercepat munculnya kemakmuran rakyat dan terbinanya kebudayaan yang tinggi. Ide dasar pandangan Ibn Khaldun tentang negara ideal, setidaknya terbias dari pengalaman hidupnya di Mesir yang demikian kondusif bagi terlaksananya sebuah pemerintahan ideal. Suasana kondusif tersebut dapat terlihat dari untaian bait-bait syairnya: burung jatuh ditempat bijian di lempar, Rumah orang-orang mulia dikerumuni.
Syahdan, jika dilihat pemikiran politik Khaldun diatas, maka dapat dikatakan bahwa ia telah memiliki warna politik yang jelas dan bernuansa filosofis tentang konsep negara, baik tentang konsep khilafah, ashabiyah, dan proses pemilihan kepala negara. Ketika aspek-aspek ini dikembangkan secara rinci, maka dapat disimpulkan bahwa berbagai lompatan politik yang pernah dilakukannya, bukan merupakan sikap arogansi atau kemunafikan terhadap politik. Tindakan yang dilakukan sesungguhnya mencerminkan kejeniusan dan kearifannya. Hal ini dapat dilihat dalam melakukan politiknya, secara sosiologis ia mengacu pada teori sosial (logika realistik). Ia mencoba mencermati kondisi pemerintahan waktu itu yang kurang kondusif bagi membumikan pesan ideal al-Qur’an dan hadits dalam kehidupan politik praktis. Konsepnya tentang negara merupakan pemikiriannya yang genuine dan sekaligus membedakan pemikiran politiknya dengan pemikiran ilmuan lain, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dari sin bisa melihat bahwa, inti pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep politik dan negara merupakan upaya menciptakan tatanan negara yang bernuansa religius yang menjamin kemashlahatan umat manusia. Bentuk negara yang ditawarkannya perlu dipahami secara “majazi-historis” dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan keinginan masyarakat. Manakala manusia berada pada kehidupan sosial yang demikian mengglobal, maka manusia perlu mendasarkan tindakannya pada logika realistik-religius, bukan emosional dan egosentrisnya. Jika tidak, maka semua ide tentang konsep negara ideal yang mereka inginkan akan hancur berkeping-keping. karenanya, jika kita melihat sikap politik Ibn Khaldun yang terkesan mendua lewat loncatan politiknya, sesungguhnya yang demikian merupakan suatu keniscayaan dalam rangka membumikan ide-ide politiknya di tengah-tengah dinamika, dan kegalauan politik umat Islam saat ini. []